Sabtu, 20 Juli 2013

My Love


Petisi Agraria



PETISI AGRARIA

Oleh: Sutaryono[1]

        Merespon konflik agraria yang eskalasinya cenderung meningkat dan belum mendapatkan penyelesaian yang baik dan berkelanjutan, sejumlah pakar, pengajar, peneliti, dan pemerhati studi agraria di Indonesia yang menyebut  sebagai Forum Indonesia untuk Keadilan Agraria, pada tanggal 7 Pebruari 2013 menulis Surat Terbuka Forum Indonesia untuk Keadilan Agraria kepada Presiden Republik Indonesia untuk Penyelesaian Konflik Agraria, yang kemudian disebut sebagai Petisi.
Petisi dimaknai sebagai usul, permohonan, atau menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia disebut sebagai (surat) permohonan resmi kepada pemerintah. Dalam hal ini petisi tersebut dimaknai sebagai surat terbuka kepada Presiden RI. Persoalannya adalah, kenapa musti ada petisi? Seolah-olah para pakar, pengajar, peneliti dan pemerhati studi agraria tersebut tidak mempunyai saluran untuk berkontribusi dalam penyelesaian konflik agraria atau karena merasa galau melihat penyelesaian konflik agraria belum dilakukan secara cepat, tepat dan berkeadilan.
Usul Forum Indonesia untuk Keadilan Agraria kepada Presiden tersebut dilandasi oleh: (1) penguasaan bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya adalah untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat; (2) fungsi legislasi, regulasi, perencanaan, dan alokasi pemanfaatan serta pengendalian pemanfaatan ruang dan penguasaan tanah dan sumberdaya alam oleh negara harus diorientasikan untuk sebesar-besarnya perlindungan terhadap hak-hak bangsa Indonesia, termasuk kelompok masyarakat rentan, yakni masyarakat hukum adat, golongan miskin, perempuan, petani dan nelayan; (3) pembangunan ekonomi yang sehat memerlukan penataan penguasaan dan pemanfaatan tanah dan sumber daya alam yang adil dan berkelanjutan; (4) reformasi hukum dan kebijakan yang komprehensif; (5)  penerbitan izin bagi usaha skala besar, perlu mengindahkan prinsip hukum dan tata kelola yang baik dan terhindar dari praktek korupsi dan terhindarnya konsentrasi penguasaan tanah pada segelintir orang/badan hukum; (6) tidak terselesaikannya konflik agraria serta tidak diatasinya kerusakan sumberdaya alam dan lingkungan hidup; (7) konflik agraria semakin tidak terdeteksi secara dini karena belum optimalnya penanganan pengaduan konflik; dan (8) pembangunan Indonesia yang berprinsip pada keseimbangan pertumbuhan ekonomi, keadilan sosial, kesetaraan, dan pelestarian fungsi lingkungan tidak akan mencapai tujuannya jika konflik agraria tidak terselesaikan.
Kedelapan hal di atas dijadikan dasar bagi forum untuk mengusulkan agenda yang harus dilaksanakan oleh presiden, yang meliputi: (1) melaksanakan seluruh arah kebijakan dan mandat Ketetapan MPR RI No. IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam secara konsisten dan memantau pelaksanaannya secara transparan, berkelanjutan dan akuntabel; (2) mengupayakan penyelesaian konflik agraria secara berkesinambungan, intensif dan terkoordinasi; (3) mengkaji ulang terhadap peraturan perundang-undangan di bidang agraria dan pengelolaan sumberdaya alam yang tumpang tindih dan bertentangan satu sama lain; (4) moratorium pemberian ijin pemanfaatan sumberdaya alam atau hak atas tanah; (5) mendukung percepatan pembentukan Undang-Undang yang mengatur tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat; (6) menyelesaikan konflik pada desa-desa di dalam, berbatasan dan sekitar kawasan hutan; (7) membentuk kementerian yang bertanggungjawab mengkoordinasikan kebijakan dan implementasi kebijakan di bidang pertanahan, sumberdaya alam dan lingkungan hidup.
            Tampak jelas bahwa petisi tersebut merupakan wujud keprihatinan pihak-pihak yang peduli terhadap persoalan agraria di negeri ini, yang nota bene sudah cukup jauh meninggalkan ‘ruh’ negara agraris. Ketimpangan atas penguasaan sumberdaya agraria, meluasnya eskalasi konflik agraria dan semakin tingginya ketergantungan pangan kepada negara lain adalah wujud nyata ketidakpedulian pengambil kebijakan pada masalah agraria.
Terlepas dari hal diatas, secara faktual pemerintah telah mengupayakan penyelesaian berbagai konflik agraria, termasuk konflik tanah. Bahkan pada tahun 2012, BPNRI telah berhasil menyelesaikan sejumlah 4.302 kasus dari 8.307 kasus pertanahan. Kondisi ini menunjukkan bahwa pemerintah juga bekerja keras dan berusaha untuk menyelesaikan berbagai konflik agraria.
Munculnya Petisi Agraria di atas merupakan momentum yang tepat, baik bagi pemerintah maupun pengusung petisi (pakar, pengajar, peneliti dan pemerhati studi agraria) untuk secara produktif berkolaborasi menyelesaikan berbagai konflik agraria secara berkelanjutan serta memformat ulang kebijakan pengelolaan sumberdaya agraria dan sumberdaya alam untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.


[1] Dr. Sutaryono, Dosen Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional (STPN) & Prodi Pembangunan Wilayah Fakultas Geografi UGM, Deputi Direktur Matapena Institute.