Rabu, 28 Januari 2015

'Berebut' Desa



‘BEREBUT’ DESA[1]
Oleh: Sutaryono[2]

Setahun lalu, saat terbitnya UU 6/2014 tentang Desa muncul harapan baru sekaligus kekhawatiran yang terartikulasi menjadi ‘UU Desa: Berkah atau Musibah’ (KR, 6-3-2014). Terbentuknya Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi pada Kabinet Kerja memberikan harapan baru akan fokusnya pemerintah mengurus desa. Namun, lagi-lagi harapan itu tertunda lagi dengan tengah ‘diperebutkannya’ urusan desa oleh Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Desa. Persoalan yang kemudian mengemuka adalah bagaimana mungkin desa mampu berkembang menjadi kuat, maju, mandiri dan demokratis dalam melaksanakan pemerintahan dan pembangunan apabila pemerintah pusat masih bersikukuh ‘mengendalikan’ desa, yang saat ini nampak dari kerasnya tarik menarik kewenangan terhadap desa oleh dua kementerian di atas.
Selama ini desa cenderung dipandang sebagai entitas yang penuh ketidakberdayaan, kemiskinan, dan keterbelakangan, sehingga desa dianggap tidak mempunyai masa depan. Bahkan selama ini pula, pembangunan desa diurus oleh paling tidak 13 kementerian yang berbeda- yang menjadikan desa jauh dari kata ‘mandiri’. Nah, kelahiran UUDesa membawa harapan baru, dimana desa dipandang sebagai sebuah entitas yang mampu memandirikan diri dengan mengembangkan aset-asetnya sebagai sumber penghidupan. Dalam konteks ini desa dianggap mampu melakukan pengelolaan kebijakan, perencanaan, keuangan, dan melakukan pelayanan dasar bagi warga masyarakat dalam rangka mempercepat peningkatan kesejahteraan dan kemandirian. Agar desa mampu memainkan peran dalam mempercepat kesejahteraan dan kemandirian, maka ‘intervensi’ oleh banyak kementerian perlu dikurangi atau bahkan dihilangkan.
Dalam konteks ini perebutan kewenangan untuk mengurus desa tidak perlu terjadi, apabila kembali pada semangat pengaturan desa melalui UUDesa. Perebutan kewenangan mengurus desa antar kementerian hanya dipandang sebagai upaya mengontrol desa melalui kewenangan mengatur dana desa yang jumlahnya mencapai Rp. 20 triliun pada tahun 2015 dan bakal bertambah pada tahun-tahun berikutnya. Meskipun perebutan kewenangan kedua kementerian tersebut telah mendapatkan penyelesaian, dimana urusan pemerintahan berada di Kementerian Dalam Negeri sementara urusan pembangunan dan pemberdayaan masyarakat berada pada Kementerian Desa (KR, 14-1-2015), namun dalam implementasinya dapat dipastikan menimbulkan conflict of interest antar kedua lembaga. Ini baru pada level pemerintahan pusat, belum pada level pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten, utamanya berkenaan dengan pengelolaan aset desa.
Salah satu klausul dalam UUDesa yang berpotensi menjadi arena perebutan baru di daerah adalah Pasal 76 ayat (5), ‘kekayaan milik desa yang telah diambil alih oleh pemerintah kabupaten/kota dikembalikan kepada desa, kecuali yang sudah digunakan untuk fasilitas umum’. Klausul ini mengamanahkan kepada pemerintah kab/kota untuk melakukan negosiasi ulang berkenaan dengan aset-aset desa- utamanya tanah- yang banyak dikuasai dan dimanfaatkan untuk kepentingan supra desa.
Hal ini menjadi sangat problematik, ketika urusan pemerintahan desa menjadi subordinat dari pemerintahan supradesa, mulai kecamatan, kabupaten/kota, provinsi hingga Kementerian Dalam Negeri. Padahal urusan pemerintahan ini tidak dapat dipisahkan dengan urusan tata kelola aset desa. Urusan pembangunan dan pemberdayaan masyarakat yang menjadi domain kementerian desa, juga sangat terkait dengan aset desa sebagai modal bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat dan peningkatan pendapatan desa.
Agar perebutan kewenangan terhadap desa tidak berimbas sampai level daerah, maka spirit kelahiran UUDesa harus dikedepankan. Spirit UUDesa yang berupa pengakuan dan penghormatan bagi desa atas penguasaan dan pengelolaan aset desa yang diorientasi untuk kepentingan desa dan kesejahteraan warganya, harus menjadi dasar dalam pengurusan dan pengaturan desa oleh kementerian. Tidak jamannya lagi, kewenangan pengurusan dan pengaturan desa dijadikan argumen untuk melakukan subordinasi desa dan masyarakatnya, tetapi justru harus digunakan dalam fasilitasi penyelenggaraan pemerintahan desa, pembangunan, pembinaan kemasyarakatan dan pemberdayaan masyarakat desa.
Pada level lokal, spirit UUDesa perlu dijadikan dasar dalam pengembalian aset-aset desa yang selama ini dikuasai oleh institusi supradesa yang belum tentu didasarkan atas regulasi dan hubungan hukum yang baik. Perlu dipastikan pula bahwa pengelolaan aset desa dilakukan secara tertib, taat azas dan berkelanjutan serta berorientasi pada kesejahteraan masyarakat dan kemandirian desa.


[1] Dimuat di SKH Kedaulatan Rakyat, 28-01-2015 hal 12
[2] Dr. Sutaryono, Badan Pengarah Forum Pengembangan Pembaharuan Desa (FPPD) dan Penulis Buku Pengelolaan Aset Desa

Berebut Desa (KR, 28-01-2015 hal 12


Senin, 12 Januari 2015

Penataan Ruang Berbasis Bencana



PENATAAN RUANG BERBASIS BENCANA[1]
Oleh:
Sutaryono[2]

“Pengurangan resiko bencana adalah investasi pembangunan, maka saat ini diperlukan mainstreaming pengurangan resiko bencana dalam pembangunan”, demikian pernyataan Kepala Pusat Data, Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), di sebuah stasiun televisi di penghujung tahun 2014. Pernyataan tersebut merespon semakin tingginya intensitas kebencanaan tanah air, khususnya bencana banjir dan tanah longsor, yang tampaknya belum diantisipasi dengan baik. Pertanyaan yang kemudian patut diajukan adalah, apa dan bagaimana bentuk investasi pembangunan yang berupa pengurangan resiko bencana serta bagaimana melakukan mainstreaming pengurangan resioko bencana?Top of FormBottom of Form
Pengurangan resiko bencana, atau lebih populer dengan mitigasi bencana adalah serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana. Pengertian ini menunjukkan bahwa pengurangan resiko bencana bersifat preventif dan harus diletakkan pada aktivitas yang berkelanjutan melalui instrumen yang mengikat bagi pelaku pembangunan. Instrumen ini berperan sebagai guidence pembangunan sekaligus memastikan bahwa secara substansial memuat rekomendasi pemanfaatan ruang yang mampu mengurangi resiko bencana. Hal ini menunjukkan bahwa investasi pengurangan resiko bencana dapat diletakkan melalui penataan ruang.
Dalam konteks Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) DIY telah mengidentifikasi sekurang-kurangnya terdapat 16 kecamatan di Kabupaten Gunung Kidul, Kulon Progo, Bantul dan Sleman dengan kategori rawan longsor. Sebagai salah satu upaya untuk mengurangi resiko bencana, BPBD pada tahun 2015 ini akan memasang sekitar 300 alat deteksi untuk mengukur pergeseran tanah atau adanya rekahan tanah sebagai gejala awal terjadinya longsor. Upaya ini merupakan investasi untuk mengurangi resiko bencana, yang diterapkan pada lokasi-lokasi yang potensi bahayanya sudah diketahui.
Upaya menempatkan pengurangan resiko bencana sebagai investasi pembangunan dalam kerangka yang lebih luas, taat azas, mengikat dan berkelanjutan adalah menempatkan substansi pengurangan resiko bencana ke dalam kebijakan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Penataan Ruang Berbasis Bencana dimaksudkan sebagai penataan ruang yang memuat pengurangan resiko bencana sebagai dasar dalam alokasi pemanfaatan ruang bagi pembangunan. Dalam hal ini, dapat diintegrasikan dengan gagasan Penataan Ruang Istimewa (KR, 12-12-2014). Jadi penataan ruang istimewa bukan sekedar penataan ruang wilayah yang mengakomodasi ruang-ruang keistimewaan, tetapi juga berbasis pada pengurangan resiko bencana.
Penataan ruang tidak hanya berkaitan dengan perencanaan dan pemanfaatan ruang, tetapi juga pengendalian pemanfaatan ruang, termasuk pengendalian terhadap kemungkinan terjadinya bencana, sehingga mampu berkontribusi dalam pengurangan resiko bencana. Hal ini dapat dilakukan melalui pengakomodasian kajian dan pemetaan zona kebencanaan sebagai salah satu dasar dalam merumuskan struktur dan pola ruang dalam RTRW. Tidak sekedar menempatkan kawasan rawan bencana sebagai salah satu zona, tetapi juga menempatkan kawasan budidaya dengan mempertimbangkan kemungkinan terjadinya bencana pada kawasan tersebut.
Dennis S Mileti, Profesor Emiritus dari University of Colorado, penulis ‘Disaster by Design’ mengemukakan bahwa ‘tidak ada pendekatan yang digunakan untuk mengurangi resiko bencana secara berkelanjutan selain manajemen penggunaan lahan (ruang) yang baik’. Statemen tersebut mengisyaratkan bahwa pengurangan resiko bencana dapat dilakukan secara efektif melalui kebijakan penatagunaan lahan- dalam konteks ke-Indonesiaan adalah kebijakan penataan ruang.   
Berkenaan dengan hal di atas, tepat kiranya bahwa momentum revisi RTRW DIY pada tahun 2015 ini digunakan untuk mewujudkan penataan ruang istimewa yang berbasis pada pengurangan resiko bencana serta menginisiasi mainstreaming pengurangan resiko bencana dalam pembangunan, disamping mainstreaming penataan ruang (KR, 12-08-2014). Hal ini penting mengingat potensi bencana, baik yang telah teridentifikasi maupun yang belum, selalu mengiringi proses kehidupan dan pembangunan di wilayah kita. Harapannya, RTRW DIY adalah tata ruang istimewa yang mampu dan berperan menjadi guidence pembangunan di DIY yang berbasiskan pada pengurangan resiko bencana. Dalam hal ini perwujudan Sistem Penataan Ruang Istimewa sebagai sistem proses perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang yang taat azas, terintegrasi dan dapat terimplementasi secara berkelanjutan di seluruh wilayah DIY, adalah sebuah keniscayaan.


[1] Dimuat di SKH Kedaulatan Rakyat, 10-01-2015 hal 14
[2] Dr. Sutaryono, Dosen pada Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional (STPN) dan Pembangunan Wilayah Fakultas Geografi UGM