Rabu, 31 Oktober 2018

Tata Ruang Vs Tata Uang


Tata Ruang Vs Tata Uang[1]
Oleh: Sutaryono[2]

Banyak orang lupa atau bahkan tidak tahu, bahwa tanggal 8 November adalah Hari Tata Ruang Nasional. Hal tersebut ditetapkan melalui Keputusan Presiden Nomor 28 Tahun 2013, yang ditandatangani oleh Susilo Bambang Yudhoyono sebagai presiden. Penetapan hari tata ruang tersebut dilakukan dengan pertimbangan perlunya upaya meningkatkan kesadaran dan peran masyarakat di bidang penataan ruang dan sosialisasi berbagai kebijakan pemerintah di bidang penataan ruang, baik di pusat maupun daerah. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah telah menyadari bahwa penataan ruang sebagai guidance pembangunan harus senantiasa disosialisasikan dan dikampanyekan agar benar-benar ditaati oleh seluruh pemangku kepentingan.
Hingga kini, realitas menunjukkan bahwa tata ruang belum menjadi mainstream (arus utama) dalam pengambilan kebijakan pembangunan. Bahkan sudah menjadi rahasia umum bahwa tata ruang yang harusnya berperan dalam pengendalian pemanfaatan ruang justru menjadi instrumen dalam ‘tata uang’. Mengapa? Proses pembangunan saat ini cenderung sarat dengan kepentingan pemodal yang menempatkan ‘uangnya’ untuk berproduksi pada ruang-ruang yang menguntungkan. Kepentingan ini menjadikan munculnya komersialisasi ruang dalam pembangunan wilayah, dimana ‘tata uang’ menjadi faktor yang dominan dalam pengambilan keputusan terhadap pemanfaatan ruang. Penataan ruang yang di dalamnya terdapat fungsi pengendalian justru bergeser mengikuti ‘tata uang’ yang dimainkan oleh pemodal.
Proyek-proyek pembangunan diluar pembangunan infrastruktur menunjukkan fenomena bermainnya ‘tata uang’. Secara kasat mata dapat dilihat betapa kebijakan pemanfaatan ruang bias kepentingan pemodal dan menimbulkan pro kontra di kalangan masyarakat. Sebut saja reklamasi di Teluk Jakarta, pembangunan Kota Baru Meikarta, pembangunan Kota Baru Manado, masifnya bangunan di kawasan Puncak Bogor, maupun berjejalnya pembangunan hotel, mall dan apartemen di Yogyakarta ataupun maraknya pembangunan perumahan di Sleman dan pembangunan fasilitas pariwisata di zona resapan air & Kawasan Rawan Bencana Merapi. Sebagian diantaranya seolah menafikan kepentingan masyarakat dan keberlanjutan lingkungan.
Perizinan yang semestinya menjadi instrumen pengendalian pemanfaatan ruang diterabas tanpa peduli kaidah-kaidah pembangunan. Kuasai tanahnya, bangun property-nya, langsung dipasarkan, perizinan dapat dilakukan kemudian. Bahkan ada pengembang yang baru menguasai sebagian tanahnya sudah langsung berani memasarkan property yang akan dibangun. Tentu praktik-praktik demikian mengabaikan azas kepatutan dalam berusaha, bahkan cenderung melakukan pelanggaran ketentuan yang diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Izin Prinsip, Izin Lokasi, Izin Pemanfatan Tanah, Izin Lingkungan dan Izin Mendirikan Bangunan yang kesemuanya didisain agar proyek pembangunan yang akan dilakukan benar-benar terjaga keberlanjutannya sekaligus terwujudnya tertib ruang menjadi tidak ada artinya ketika ‘tata uang’ mendelegitimasi seluruh proses perizinan.       
Kondisi demikian sudah selayaknya tidak terjadi lagi. Seluruh pemangku kepentingan harus benar-benar memperhatikan tata ruang dalam melakukan aktifitas pembangunan. Proyek-proyek pembangunan yang dilakukan tanpa izin atau bahkan melanggar tata ruang harus segera ditindak tegas. Pemberian kelonggaran bagi pengembang yang membangun tanpa izin atau bahkan melanggar tata ruang hanya menimbulkan preseden buruk bagi upaya penegakan maupun upaya menciptakan tertib ruang. Momentum Hari Tata Ruang Nasional ini perlu dijadikan titik tolak untuk menempatkan Rencana Tata Ruang Wilayah sebagai guidance pembangunan yang keberadaannya wajib ditaati oleh seluruh pemangku kepentingan. 
Telah secara tegas disebutkan dalam Undang-undang Penataan Ruang (UU 26/2007) bahwa pengaturan tentang penataan ruang diorientasikan untuk mewujudkan ruang yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan. Oleh karena itu mainstreaming (pengarusutamaan) penataan ruang harus dilakukan terhadap seluruh pemangku kepentingan (KR, 12-08-2014). Mainstreaming tata ruang dalam pembangunan dimaksudkan agar setiap proses pengambilan kebijakan dan implementasi kebijakan pembangunan yang mengalokasikan dan memanfaatkan ruang harus menempatkan aspek tata ruang sebagai pertimbangan utama.   
Tata ruang harus menjadi ‘jenderal’ yang mengarahkan dan men-drive pembangunan wilayah yang memanfaatkan ruang. Oleh karena itu, pemerintah dan pemerintah daerah harus segera menyempurnakan dan melengkapi berbagai regulasi tentang penataan ruang hingga tersedianya Rencana Detail Tata Ruang dan Peraturan Zonasi secara lengkap, sebagai instrumen utama pengendalian pemanfaatan ruang. Selamat Hari Tata Ruang Nasional.


[1] Dimuat pada Kolom Analisis, SKH Kedaulatan Rakyat, 9-11-2017 hal 1
[2] Dr. Sutaryono, Dosen pada Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional dan Prodi Pembangunan Wilayah Fakultas Geografi UGM

Senin, 22 Oktober 2018

Merealisasikan Reforma Agraria


Merealisasikan Reforma Agraria[1]

Oleh:
Sutaryono[2]

Tujuhbelas tahun sejak diamanatkannya agenda reforma agraria melalui Tap No. IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria Dan Pengelolaan Sumberdaya Alam, pemerintah saat ini baru secara nyata berkehendak untuk merealisasikannya. Mengapa? Meskipun reforma agraria sudah diamanatkan sejak 2001, namun pemerintah yang berkuasa belum serius berkehendak menjalankannya. Regulasi yang dipandang sebagai dasar penyelenggaraan reforma agraria tidak kunjung diterbitkan. Berbagai versi naskah yang ada hanya sampai pada Rancangan Peraturan Pemerintah maupun Raperpres. Baru pada tahun ini, tepatnya pada Hari Tani (24 September 2018), Pemerintah menerbitkan Peraturan Presiden No. 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria. Sungguh, ini regulasi yang dinanti-nantikan agar agenda reforma agraria bukan hanya sebagai jargon semata, tetapi benar-benar direalisasikan untuk menyelesaikan ketimpangan penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah.
Reforma agraria dalam perpres tersebut dimaknai sebagai penataan kembali struktur penguasaan, pemilikan, pengguasaan, penggunaan dan pemanfaatan tanah yang lebih berkeadilan melalui penataan asset dan disertai dengan penataan akses untuk kemakmuran rakyat. Adapun agenda RA ini bertujuan untuk: (a) mengurangi ketimpangan penguasaan dan pemilikan tanah; (b) menangani sengketa dan konflik agraria; (c) menciptakan kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat; (d) menciptakan lapangan kerja untuk mengurangi kemiskinan; (e) memperbaiki akses masyarakat kepada sumber ekonomi; (f) meningkatkan ketahanan dan kedaulatan pangan; dan (g) memperbaiki dan menjaga kualitas lingkungan hidup.

Menepati Janji

Terbitnya Perpres 86/2018 bukanlah suatu kebetulan, tetapi merupakan bagian pemenuhan janji politik pemerintah yang berkuasa. Janji politik presiden dalam Nawacita yang kemudian dijabarkan dalam RPJMN Tahun 2015-2019 menyebutkan bahwa untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dilakukan melalui penyediaan tanah objek Reforma Agraria sekurang-kurangnya 9 juta ha untuk diredistribusikan. Redistribusi tanah sebagai agenda utama RA, dalam pelaksanaannya jauh tertinggal dari program legalisasi asset, yang sering disebut sebagai bagi-bagi sertipikat gratis. Pelaksanaan redistribusi tanah dari target 4,5 juta hektar, saat ini baru terealisasi seluas 231.349 hektar (5,14%) yang terbagi menjadi 177.423 bidang tanah  (Ditjend Penataan Agraria, 2018). Hal ini menunjukkan bahwa prioritas ke-agraria-an pemerintah yang sudah ditetapkan, utamanya berkenaan dengan redistribusi tanah masih sebatas janji politik.
Problem utama tersendatnya agenda RA yang sering dimunculkan selama ini adalah ketiadaan dasar hukum penyelenggaraan RA. Nah, kelahiran Perpres 86/2018 ini menjawab persoalan tersebut. Artinya, tidak ada lagi alasan bagi penyelenggara Negara, khususnya Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) serta Pemerintah Daerah untuk tidak menjalankan agenda RA. 
KLHK adalah kementerian yang menguasai tanah terluas yang ditargetkan sebagai Tanah Objek Reforma Agraria (TORA). Tercatat seluas 4,1 juta hektar kawasan hutan yang diorientasikan untuk TORA melalui perubahan peruntukan kawasan hutan serta 12,7 juta hektar yang diorientasikan melalui hak pengelolaan, izin pemanfaatan, hutan adat atau dengan istilah hak kelola perhutanan sosial. Kementerian LHK mencatat bahwa terdapat 25.863 desa dari 75 ribu desa di Indonesia yang berada dalam kawasan hutan dan sekitar 50 juta petani berada di dalam dan di sekitar kawasan hutan (Sirait, 2017), dengan bentuk penguasaan tanah oleh: (a) masyarakat hukum adat; (b) pemerintah desa; (c) perorangan, baik dengan alas hak atau tidak ada alas hak; (d) badan hukum; (e) badan sosial; (f) badan pemerintahan (Safitri, 2014). Kondisi tersebut menunjukkan bahwa potensi TORA yang berasal dari kawasan hutan menjadi sangat potensial untuk segera direalisasikan.
Sementara itu Kementerian ATR/BPN adalah kementerian yang mengkoordinasikan penyelenggaraan RA dalam kelembagaan Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA) secara nasional. Pada level daerah, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten merupakan koordinator penyelenggaraan RA melalui GTRA di daerah.   
Hal-hal di atas menunjukkan bahwa, pemenuhan janji politik pemerintah yang berkuasa sekaligus menyelesaikan ketimpangan penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah di Indonesia harus segera direalisasikan. Political will sudah ada, regulasi sudah diterbitkan, kementerian/lembaga terkait serta pemda sudah siap, maka saatnya menjalankan agenda Reforma Agraria.  


[1] Dimuat dalam Opini SKH Kedaulatan Rakyat, Senin 22-10- 2018 hal 11
[2] Dr. Sutaryono, Dosen pada STPN Yogyakarta dan Prodi Pembangunan Wilayah, Fakultas Geografi UGM

Selasa, 25 September 2018

Tanah dan Ruang untuk Keadilan


Tanah dan Ruang untuk Keadilan[1]
Oleh:
Dr. Sutaryono[2]

‘Tanah dan Ruang untuk Keadilan dan Kemakmuran’, merupakan tema Hari Agraria dan Tata Ruang Nasional (Hantaru) Tahun 2018. Mengapa? Karena pemerintah menyadari bahwa tanah dan ruang sebagai satu kesatuan utuh merupakan faktor utama yang dapat memberikan keadilan dan kemakmuran dalam penggunaan dan pemanfaatannya untuk seluruh rakyat Indonesia.
Meskipun ahistori, peringatan Hantaru dimaksudkan untuk mengingat integrasi urusan pemerintahan di bidang tata ruang dan bidang keagrariaan-pertanahan ke dalam Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) yang melahirkan agenda strategis nasional di bidang agraria dan pertanahan. Rentang peringatan Hantaru dimulai tanggal 24 September hingga tanggal 8 November. Tanggal 24 September dimaksudkan sebagai peringatan kelahiran Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) sekaligus yang diperingati sebagai Hari Tani, sedangkan tanggal 8 November diperingati sebagai Hari Tata Ruang Nasional berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 28 Tahun 2013.  
Permasalahan yang Berkelindan
Terlepas dari serimoni Hantaru, hal yang lebih esensial adalah adanya pemahaman bahwa tanah dan ruang adalah satu kesatuan yang mampu memberikan keadilan dan kemakmuran. Pemahaman ini sangat penting, mengingat selama ini yang dipandang sebagai matra utama yang mampu memberikan keadilan adalah tanah. Padahal penguasaan dan pemanfaatan ruang yang mempunyai dimensi lebih luas justru sangat berpengaruh terhadap terwujudnya keadilan dan kemakmuran. Hal itu secara praksis ditunjukkan oleh berkelindannya permasalahan penataan ruang dan pertanahan. Beberapa permasalahan yang teridentifikasi antara lain (Sutaryono, 2017): (1) pengajuan pemecahan sertifikat oleh pengembang di Kawasan RTH tidak dapat diproses; (2) perpanjangan izin pemanfaatan ruang tidak dapat diproses karena pola ruangnya berbeda; (3) penguasaan tanah oleh masyarakat yang sudah turun-temurun tidak dapat diproses karena berada dalam kawasan hutan; (4) masyarakat mengusai atau memiliki tanah di kawasan ruang terbuka hijau; (5) pemanfaatan ruang sesuai dengan RTRW lama, tetapi berbeda dengan RTRW hasil perubahan; (6) terjadi pergeseran  antara pemberian izin lokasi dan IMB antara RTRW lama dan RTRW baru; (7) kawasan lindung (sesuai RTRW) yang dikuasai masyarakat dengan hak milik atau alas hak lainnya.
Berbagai permasalahan di atas menunjukkan bahwa nuansa keadilan menjadi berkurang bahkan tidak ada, akibat ketidaksinkronan antara urusan pertanahan dan tata ruang. Oleh karena itu, berbagai agenda strategis telah, sedang dan akan terus dilakukan oleh Kementerian ATR/BPN untuk memastikan bahwa tanah dan ruang adalah sumber keadilan dan kemakmuran.
Agenda Strategis

Sesuai dengan Tema Hantaru Tahun 2018, beberapa agenda strategis yang sedang dijalankan antara lain: (1) penguatan hak rakyat atas tanah melalui Pendaftaran Tanah Sistematik Lengkap (PTSL), yang ditargetkan 7 juta bidang pada tahun 2018 ini; (2) merealisasikan agenda reforma agraria melalui redistribusi 350.000 bidang tanah di berbagai wilayah; (3) percepatan pengadaan tanah untuk mendukung 245 proyek strategis nasional dan pembangunan infrastruktur untuk kepentingan umum; (4) penanganan sengketa dan konflik pertanahan dan tata ruang; (5) menjalankan perijinan secara terintegrasi melalui Online Single Submission (Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik); (6) penataan dan pengendalian penguasaan tanah dan pemanfaatan ruang secara terintegrasi; dan (7) melakukan upaya-upaya modernisasi tata kelola dan pelayanan pertanahan dan tata ruang kepada pihak-pihak yang membutuhkan. Ketujuh agenda strategis yang sedang dijalankan ini merupakan komitmen Kementerian ATR/BPN untuk menunjukkan bahwa integrasi kelembagaan pertanahan dan tata ruang dalam satu kementerian adalah langkah produktif yang mampu menyelesaikan berbagai persoalan sektoral secara terintegrasi.
Berbagai agenda strategis di atas, apabila dapat direalisasikan akan mampu: (1) menguatkan hak rakyat atas tanah; (2) meminimalkan sengketa dan konflik pertanahan /ruang; (3)  memetakan seluruh bidang tanah di Indonesia; (c) mendukung kebijakan one map policy; (3) mengatasi permasalahan batas administrasi desa/kelurahan, kecamatan, kota/kabupaten; (4) memfasilitasi penerimaan pajak yang lebih efektif; (5) mempercepat ketersediaan instrumen penataan ruang; (6) mempercepat proses perijinan; serta (7) memastikan terwujudnya keadilan dan kemakmuran dalam penggunaan, pemanfaatan, pemilikan tanah dan ruang untuk seluruh rakyat.


[1] Dimuat dalam OPINI SKH Kedaulatan Rakyat, 24-09-2018 hal 4
[2] Dosen pada STPN dan Prodi Pembangunan Wilayah, Fak Geografi UGM