PENGADAAN TANAH UNTUK BANDARA[1]
Oleh:
Sutaryono[2]
Pasca diterbitkannya Izin Relokasi Bandara Adisucipto
serta Pengelolaan Bandara Baru oleh Kementerian Perhubungan -tanpa menafikan
agenda lain- salah satu agenda yang paling krusial adalah kegiatan pengadaan
tanah. Pengadaan tanah dimaknai sebagai kegiatan menyediakan
tanah dengan cara memberi ganti kerugian yang layak dan adil kepada pihak yang
berhak. Kesuksesan dalam pengadaan tanah adalah indikasi keberhasilan proyek
bandara & keberlanjutan bisnis yang berhubungan dengan operasional bandara.
Regulasi pengadaan tanah untuk bandara (kepentingan umum),
saat ini mengacu pada UU 12/2012 jo Perpres 71/2012 dan operasionalisasinya
mendasarkan pada Peraturan Kepala BPN 5/2012 tentang Petunjuk Teknis
Pelaksanaan Pengadaan Tanah, yang secara substansial lebih memberikan ruang
pada kepentingan masyarakat terkena dampak. Berdasarkan regulasi tersebut,
proses pengadaan tanah dilakukan oleh Pelaksana Pengadaan Tanah, dalam hal ini
adalah Lembaga Pertanahan (BPN).
Tahapan pengadaan tanah yang paling krusial adalah
konsultasi publik untuk persetujuan penetapan lokasi dan musyawarah pemberian
ganti kerugian. Apabila kedua proses tersebut dapat dilalui secara lancar dan
mendapatkan kesepakatan oleh masyarakat yang akan terkena dampak, maka
terwujudnya bandara baru di Yogyakarta adalah sebuah keniscayaan.
Konsultasi publik merupakan tahapan awal dalam proses
pengadaan tanah. Kegiatan ini diorientasikan untuk mendapatkan kesepakatan
antara institusi yang membutuhkan tanah dengan masyarakat yang akan terkena
dampak, yang kemudian ditetapkan oleh Gubernur sebagai lokasi bandara. Dalam
hal ini, masyarakat dimungkinkan untuk mengajukan keberatan terhadap rencana proyek.
Apabila keberatan masyarakat diterima Gubernur, maka lokasi proyek yang
direncanakan harus pindah ke lokasi lain. Jadi dalam konteks kekinian, proses
pengadaan tanah dapat dilanjutkan apabila masyarakat yang terkena dampak
menyetujui lokasi proyek yang direncanakan.
Persoalan kruisal berikutnya adalah musyawarah dalam
penentuan bentuk dan besarnya ganti kerugian antara instansi yang membutuhkan
tanah dengan masyarakat pemilik tanah yang dilaksanakan oleh pelaksana
pengadaan tanah. Bentuk ganti kerugian tidak harus berbentuk uang, tetapi
dimungkinkan dalam bentuk lain seperti tanah pengganti, permukiman kembali, kepemilikan
saham, atau bentuk lain yang disetujui oleh kedua belah pihak. Bentuk lain ini dapat berupa gabungan dari beberapa
bentuk yang sudah disebutkan, dengan catatan mendapat persetujuan keduabelah
pihak.
Secara khusus,
berkenaan dengan besarnya ganti kerugian tidak dapat ditetapkan secara sepihak oleh
instansi yang membutuhkan tanah, pelaksana pengadaan tanah ataupun oleh
pemerintah. Penentuan besarnya ganti kerugian didasarkan pada hasil
penghitungan oleh Penilai Independen/Penilai Publik yang telah mendapatkan izin
dari Kementerian Keuangan. Hasil penilaian disampaikan kepada Pelaksana
Pengadaan Tanah untuk dijadikan dasar musyawarah dalam menetapkan ganti
kerugian.
Penilai melakukan penilaian tidak hanya mendasarkan pada
NJOP maupun Zona Nilai Tanah belaka, tetapi Penilai melakukan penilaian untuk
ganti kerugian terhadap nilai: (a) tanah; (b) ruang atas tanah dan bawah tanah;
(c) bangunan; (d) tanaman; (e) benda yang berkaitan dengan tanah; dan/atau (f)
kerugian lain yang dapat dinilai, secara keseluruhan. Dalam hal ini NJOP dan
ZNT hanya dijadikan sebagai referensi. Penilaian yang dilakukan oleh penilai
publik dengan mempertimbangkan seluruh aspek yang berhubungan dengan kepemilikan
tanah tersebut, memberikan beberapa aspek positif yang meliputi: (a)
terwujudnya nilai tanah secara fair dan adil; (b) terlindunginya hak-hak
pemilik tanah dan terjangkaunya nilai/harga tanah yang harus dibayarkan oleh
instansi yang membutuhkan tanah; serta (c) mempersempit ruang gerak spekulan
tanah dalam ‘memainkan’ harga tanah.
Berdasarkan beberapa hal di atas, maka bagi masyarakat
pemilik tanah yang akan terkena dampak pembangunan bandara tidak perlu khawatir
berkenaan dengan besarnya ganti kerugian, mengingat regulasi yang dijadikan
dasar tidak memungkinkan penilaian ganti kerugian ditetapkan secara sepihak.
Satu hal yang harus dicermati oleh masyarakat yang akan terkena dampak adalah
ikut berpartisipasi aktif dalam menanggulangi munculnya spekulan tanah yang
hanya mencari keuntungan semata, tanpa mempedulikan kepentingan masyarakat
luas. Partisipasi aktif ini sangat menentukan keberhasilan pembangunan bandara
baru di Ngayogyakarta Hadiningrat.