Kamis, 25 April 2013
Jumat, 12 April 2013
Selasa, 02 April 2013
Strategisnya Perdais Pertanahan
www.facebook.com
STRATEGISNYA PERDAIS PERTANAHAN[1]
Oleh:
Dr. Sutaryono[2]
Terbitnya UU
Nomor 13 tahun 2012 tentang Undang-Undang Keistimewaan Daerah Istimewa
Yogyakarta, yang kemudian
diikuti dengan penyusunan perdais lima urusan keistimewaan- yang saat ini masih
berproses- merupakan sebuah keniscayaan sejarah yang harus berkontribusi dalam
mewujudkan pemerintahan yang demokratis, mewujudkan kesejahteraan dan
ketenteraman masyarakat, menjamin ke-bhinnekatunggalika-an, menciptakan
pemerintahan yang baik serta melembagakan peran dan tanggungjawab Kasultanan
dan Kadipaten dalam menjaga dan mengembangkan budaya Yogyakarta. Relevan dengan
itu maka penyusunan perda keistimewaan menjadi sesuatu yang urgent dan emergence bagi tujuan UU Keistimewaan. Salah satu raperdais yang menyita
perhatian publik adalah raperdais tentang pertanahan.
Dialog
Keistimewaan DIY dalam rangka Penyusunan Raperdais DIY tentang Pertanahan dan
Tata Ruang (21-03-2013), yang diselenggarakan oleh Sekretariat Daerah Pemda
DIY, menunjukkan strategisnya perdais pertanahan. Adanya kekhawatiran berbagai
elemen masyarakat terhadap identifikasi serta perubahan penguasaan dan
pemanfaatan atas SG-PAG muncul dalam forum tersebut. Berkenaan dengan
identifikasi keberadaan SG-PAG, masih belum menunjukkan adanya data tunggal.
Data yang direlease narasumber mencapai sekitar 3% dari seluruh luas wilayah
DIY. Sementara itu inventarisasi yang telah dilakukan oleh Pemerintah Daerah,
Kanwil BPN DIY dan Pihak Kraton pada tahun 1993, luas SG-PAG sekitar 1%.
Perbedaan data ini perlu segera dilakukan validasi secara menyeluruh, agar tidak
terjadi kesimpangsiuran mana yang termasuk SG-PAG dan mana yang bukan.
Berkenaan
dengan penguasaan dan pemanfaatan tanahnya, masyarakat yang selama ini
menguasai SG/PAG baik dalam bentuk magersari ataupun bukan, perlu
diidentifikasi secara tertib dengan tetap mengedepankan azas kearifan lokal,
keberpihakan pada rakyat dan diskriminasi positif sebagaimana telah disebut
dalam raperdais.
Berkenaan dengan
Tanah Kas Desa, perlu dilakukan pendalaman terhadap regulasi yang mengatur
selama ini, mengingat sebagian TKD sudah bersertipikat. Meskipun TKD
bersertipikat hak pakai, dalam hal perubahan pemanfaatan dan pelepasan harus
seijin Gubernur sesuai dengan Pergub
11/2008 tentang Pengelolaan Tanah Kas Desa. Dengan demikian maka pengaturan terhadap keberadaan TKD, perlu disesuaikan
dengan kondisi eksisting pengelolaan selama ini, tanpa harus ditarik kembali
menjadi bagian dari tanah SG/PAG sebagaimana substansi dalam raperdais.
Berkenaan dengan hak atas tanah
dan hak pemanfaatan atas tanah, dalam raperdais perlu dipisahkan secara jelas.
Hak atas tanah hanya dimiliki oleh Kasultanan dan Kadipaten sebagai subjek hak
atas tanah berdasarkan UU Keistimewaan DIY. Hak-hak turunan atas tanah SG dan
PAG hanya berupa hak pemanfaatan, bukan sebagai hak atas tanah. Dengan demikian,
berhubungan dengan pemanfaatan tanah SG/PAG pengaturannya dilakukan melalui hak
pemanfaatan atas tanah. Hal ini bermakna bahwa Hak Milik Atas Tanah
Kasultanan dan Kadipaten bersifat privat dan bersifat publik. Artinya hak milik ini terdapat kewenangan untuk
mengelola dan memanfaatkan secara sekaligus, yang ditujukan bagi sebesar-besar pengembangan
kebudayaan, kepentingan sosial, dan kesejahteraan masyarakat. Inilah keunikan hak milik atas tanah kasultanan dan
kadipaten yang jelas berorientasi pada kesejahteraan masyarakat.
Beberapa hal di atas menunjukkan bahwa betapa
strategisnya pengaturan pertanahan dalam raperda istimewa ini, yang
berimplikasi pada terakomodasinya seluruh elemen masyarakat, baik perorangan,
kelompok masyarakat, pemerintah desa maupun badan hukum yang selama ini telah
menguasai dan memanfaatkan tanah-tanah kasultanan dan kadipaten.
Mengingat secara
substansial, raperdais tentang pertanahan diorientasikan untuk kepentingan kebudayaan,
kepentingan sosial, dan/atau kesejahteraan masyarakat, maka ruh ‘Tahta untuk
Rakyat’ sebagaimana terelaborasi pada buku
yang berjudul “Takhta Untuk Rakyat: Celah-Celah Kehidupan Sultan Hamengku
Bowono IX” yang disunting oleh Atmakusumah, April 1982 yang berulangkali
dicetak kembali, betul-betul menjiwai
raperdais pertanahan ini. Terkait dengan hal ini, khsusnya tanah magersari, Ngerso Dalem Sultan telah meminta kepada masyarakat yang mengelola SG tidak perlu resah (KR,
31-08-2012), hal ini mengisyaratkan bahwa
pengaturan SG/PAG tetap memperhatikan kepentingan dan kesejahteraan rakyat,
sebagaimana telah ditunjukkan selama ini bahwa
sejatinya tanah-tanah kraton dan kadipaten telah memberikan manfaat bagi pemerintah dan masyarakat luas.
Langganan:
Postingan (Atom)