Rabu, 24 Juli 2013
Sabtu, 20 Juli 2013
Petisi Agraria
PETISI AGRARIA
Oleh:
Sutaryono[1]
Merespon
konflik agraria yang eskalasinya cenderung meningkat dan belum mendapatkan
penyelesaian yang baik dan berkelanjutan, sejumlah pakar, pengajar, peneliti,
dan pemerhati studi agraria di Indonesia yang menyebut sebagai Forum Indonesia untuk Keadilan Agraria, pada tanggal 7
Pebruari 2013 menulis Surat Terbuka Forum Indonesia untuk Keadilan Agraria kepada
Presiden Republik Indonesia untuk Penyelesaian Konflik Agraria, yang kemudian
disebut sebagai Petisi.
Petisi dimaknai sebagai usul,
permohonan, atau menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia disebut sebagai (surat)
permohonan resmi kepada pemerintah. Dalam hal ini petisi tersebut dimaknai
sebagai surat terbuka kepada Presiden RI. Persoalannya adalah, kenapa musti ada
petisi? Seolah-olah para pakar, pengajar, peneliti dan pemerhati studi agraria
tersebut tidak mempunyai saluran untuk berkontribusi dalam penyelesaian konflik
agraria atau karena merasa galau melihat penyelesaian konflik agraria belum
dilakukan secara cepat, tepat dan berkeadilan.
Usul Forum Indonesia
untuk Keadilan Agraria kepada Presiden tersebut dilandasi oleh: (1) penguasaan bumi, air dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya adalah untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat; (2) fungsi
legislasi, regulasi, perencanaan, dan alokasi pemanfaatan serta pengendalian
pemanfaatan ruang dan penguasaan tanah dan sumberdaya alam oleh negara harus
diorientasikan untuk sebesar-besarnya perlindungan terhadap hak-hak bangsa
Indonesia, termasuk kelompok masyarakat rentan, yakni masyarakat hukum adat,
golongan miskin, perempuan, petani dan nelayan; (3) pembangunan ekonomi yang
sehat memerlukan penataan penguasaan dan pemanfaatan tanah dan sumber daya alam
yang adil dan berkelanjutan; (4) reformasi hukum dan kebijakan yang komprehensif;
(5) penerbitan izin bagi usaha skala
besar, perlu mengindahkan prinsip hukum dan tata kelola yang baik dan terhindar
dari praktek korupsi dan terhindarnya konsentrasi penguasaan tanah pada
segelintir orang/badan hukum; (6) tidak terselesaikannya konflik agraria serta
tidak diatasinya kerusakan sumberdaya alam dan lingkungan hidup; (7) konflik
agraria semakin tidak terdeteksi secara dini karena belum optimalnya penanganan
pengaduan konflik; dan (8) pembangunan Indonesia yang berprinsip pada keseimbangan
pertumbuhan ekonomi, keadilan sosial, kesetaraan, dan pelestarian fungsi
lingkungan tidak akan mencapai tujuannya jika konflik agraria tidak terselesaikan.
Kedelapan hal di atas dijadikan dasar bagi forum untuk
mengusulkan agenda yang harus dilaksanakan oleh presiden, yang meliputi: (1) melaksanakan
seluruh arah kebijakan dan mandat Ketetapan MPR RI No. IX/MPR/2001 tentang
Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam secara konsisten dan memantau
pelaksanaannya secara transparan, berkelanjutan dan akuntabel; (2) mengupayakan
penyelesaian konflik agraria secara berkesinambungan, intensif dan
terkoordinasi; (3) mengkaji ulang terhadap peraturan perundang-undangan di
bidang agraria dan pengelolaan sumberdaya alam yang tumpang tindih dan bertentangan
satu sama lain; (4) moratorium pemberian ijin pemanfaatan sumberdaya alam atau
hak atas tanah; (5) mendukung percepatan pembentukan Undang-Undang yang
mengatur tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat; (6) menyelesaikan
konflik pada desa-desa di dalam, berbatasan dan sekitar kawasan hutan; (7) membentuk
kementerian yang bertanggungjawab mengkoordinasikan kebijakan dan implementasi
kebijakan di bidang pertanahan, sumberdaya alam dan lingkungan hidup.
Tampak jelas bahwa petisi tersebut merupakan wujud keprihatinan pihak-pihak yang peduli terhadap persoalan agraria di negeri ini, yang nota bene sudah cukup jauh meninggalkan ‘ruh’ negara agraris. Ketimpangan atas penguasaan sumberdaya agraria, meluasnya eskalasi konflik agraria dan semakin tingginya ketergantungan pangan kepada negara lain adalah wujud nyata ketidakpedulian pengambil kebijakan pada masalah agraria.
Tampak jelas bahwa petisi tersebut merupakan wujud keprihatinan pihak-pihak yang peduli terhadap persoalan agraria di negeri ini, yang nota bene sudah cukup jauh meninggalkan ‘ruh’ negara agraris. Ketimpangan atas penguasaan sumberdaya agraria, meluasnya eskalasi konflik agraria dan semakin tingginya ketergantungan pangan kepada negara lain adalah wujud nyata ketidakpedulian pengambil kebijakan pada masalah agraria.
Terlepas dari hal diatas, secara faktual
pemerintah telah mengupayakan penyelesaian berbagai konflik agraria, termasuk
konflik tanah. Bahkan pada tahun 2012, BPNRI telah berhasil menyelesaikan
sejumlah 4.302 kasus dari 8.307 kasus pertanahan. Kondisi ini menunjukkan bahwa
pemerintah juga bekerja keras dan berusaha untuk menyelesaikan berbagai konflik
agraria.
Munculnya Petisi Agraria di atas merupakan
momentum yang tepat, baik bagi pemerintah maupun pengusung petisi (pakar,
pengajar, peneliti dan pemerhati studi agraria) untuk secara produktif
berkolaborasi menyelesaikan berbagai konflik agraria secara berkelanjutan serta
memformat ulang kebijakan pengelolaan sumberdaya agraria dan sumberdaya alam
untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
[1] Dr. Sutaryono,
Dosen
Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional (STPN) & Prodi Pembangunan Wilayah
Fakultas Geografi UGM, Deputi Direktur Matapena Institute.
Langganan:
Postingan (Atom)