‘GANTI
UNTUNG’ TANAH UNTUK BANDARA
Reaksi sebagian
masyarakat yang menentang pembangunan bandara di Kulon Progo yang diwujudkan
melalui pencabutan patok titik koordinat tanah calon lokasi bandara, perlu
disikapi secara arif dan tidak emosional. Masyarakat mempunyai hak untuk
mengetahui informasi detail berkenaan dengan wilayah yang akan dijadikan
kawasan bandara, bahkan masyarakat mempunyai hak untuk mengajukan keberatan
terhadap lokasi yang diajukan oleh instansi yang membutuhkan tanah. Hak-hak
tersebut sesuai dengan azas keadilan, keterbukaan, kesepakatan dan
keikutsertaan sebagaimana diamanahkan dalam
UU No. 2/2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan
Umum.
Melalui
pendekatan secara persuasif yang ‘nguwongke’, menyampaikan secara gamblang
berkenaan dengan hak dan kewajiban serta wilayah terdampak, termasuk urgensi
pembangunan bandara untuk masa depan Ngayogyakarta Hadiningrat dan
masyarakatnya, maka keberlanjutan pengadaan tanah untuk bandara di Kulon Progo
ini perlahan tetapi pasti akan segera terealisasi, mengingat Ijin Penetapan
Lokasi (IPL) sudah diterbitkan (KR, 21-1-2014). Penetapan Lokasi inilah yang
menjadi dasar dalam pengadaan tanah untuk bandara, yang pelaksanannya dilakukan
oleh lembaga pertanahan.
Tahapan pengadaan tanah yang paling krusial adalah
musyawarah dalam penentuan bentuk dan besarnya ganti kerugian antara instansi
yang membutuhkan tanah dengan masyarakat pemilik tanah. Perlu disadari bersama
bahwa ganti
kerugian adalah penggantian yang layak
dan adil kepada pihak yang berhak dalam proses pengadaan tanah. Layak dan adil adalah kata kuncinya, atau dapat dikatakan sebagai standar
minimal dalam pemberian ganti kerugian. Bahkan apabila memungkinkan, masyarakat
yang terkena dampak justru merasa mendapatkan ‘ganti untung’ bukan ganti rugi.
‘Ganti Untung’ ini sangat mungkin diperoleh oleh masyarakat terkena dampak,
apabila tanah yang dibebaskan memberikan implikasi pada tetap terjaminnya: (a)
rumah tinggal untuk hunian; (b) sumber penghidupan secara berkelanjutan; serta
(c) relasi sosial kemasyarakatan dengan kerabat dan handai taulan.
Berkenaan dengan hal tersebut, maka perlu dicarikan
solusi cerdas agar nilai ganti kerugian dari instansi yang membutuhkan tanah mampu
memberikan makna sebagai ‘ganti untung’ bagi masyarakat terkena dampak. Dalam
hal ini bentuk ganti kerugian tidak harus berbentuk uang- yang bisa jadi dalam
waktu yang tidak terlalu lama akan habis untuk kebutuhan konsumsi masyarakat
terdampak. Ganti kerugian dalam bentuk lain yang diperbolehkan dalam peraturan
perundang-undangan dapat berupa tanah pengganti, permukiman kembali,
kepemilikan saham, atau bentuk lain yang disetujui oleh kedua belah pihak. Bentuk
lain ini dapat berupa gabungan dari beberapa bentuk yang sudah disebutkan,
dengan catatan mendapat persetujuan keduabelah pihak.
Gagasan Pemkab Kulon Progo untuk merelokasi masyarakat
terdampak ke dalam satuan rumah susun, sebagaimana telah terpublikasi melalui
media ini beberapa waktu lalu perlu mendapatkan apresiasi dan ditindaklanjuti
dengan kajian lebih mendalam agar feasibilitasnya dapat diketahui. Apabila
satuan rumah susun ini merupakan jaminan untuk hunian sekaligus jaminan
terjaganya relasi sosial antar warga masyarakat, maka yang perlu dipikirkan
adalah jaminan penghidupan secara berkelanjutan.
Apabila masyarakat terdampak adalah petani, maka peluang
yang dapat dilakukan untuk memberikan jaminan penghidupan dengan tetap taat
azas adalah memberikan tanah pertanian pengganti dan atau memberikan ganti
kerugian dalam bentuk kepemilikan saham pada instansi yang membutuhkan tanah,
dalam hal ini adalah pihak Angkasa Pura. Pemberian tanah pertanian pengganti
memungkinkan masyarakat terdampak untuk melanjutkan kehidupan dan
penghidupannya sebagai petani, sedangkan pemberian pengganti dalam bentuk kepemilikan
saham memungkinkan masyarakat terdampak mendapatkan sumber penghidupan baru
sekaligus memiliki sense of belonging
terhadap keberadaan bandara.
Gagasan di atas dan gagasan
lain yang memungkinkan berdasarkan regulasi
yang berlaku, perlu dipertimbangkan untuk direalisasikan dengan tetap
memperhatikan aspirasi masyarakat terdampak, kelayakan dan kemampuan instansi
yang akan memberikan ganti kerugian serta terjaganya suasana kondusif dalam
semua tahapan pengadaan tanah. Prinsip dan filosofi hamemayu
hayuning bawana, sangkan paraning
dumadi, dan manunggaling kawula lan
Gusti, perlu dijadikan landasan dalam setiap tahapan pengadaan tanah untuk
bandara di wilayah istimewa ini.