MENUNGGU SIKAP POLITIK ANSOR[1]
Oleh:
Sutaryono[2]
Tanggal
24 April ini merupakan 79
tahun (1934 – 2013)
usia Gerakan Pemuda Ansor (GP Ansor). Usia yang sangat layak untuk disebut
‘dewasa’
sebagai sebuah
entitas organisasi sosial keagamaan.
Dengan demikian maka sudah selayaknya Ansor menentukan
sikap politik- dengan tetap tidak berpolitik praktis – agar keberadaan Ansor
berikut anggotanya tetap
dalam track yang solid, dan tidak
mudah terkontaminasi hasrat politik praktis yang cenderung transaksional. Hal
ini penting dilakukan, mengingat pesona dan daya tarik yang luar biasa atas diri
Ansor, utamanya
bagi kepentingan politik kekuasaan. Sikap politik ini akan sangat menentukan bagi Ansor,
anggota & simpatisannya, sebagai pegangan dalam menghadapi berbagai ‘rayuan’
pelaku politik.
Sebagai sebuah organisasi
kepemudaan sekaligus organisasi
sosial keagamaan yang lahir untuk berkhidmat pada perjuangan bangsa dalam
Negara Kesatuan Republik Indonesia menuju terwujudnya masyarakat yang
demokratis, adil, makmur dan sejahtera berdasarkan ajaran Islam Ahlussunnah wal
jama’ah, menjadikan Ansor harus menempatkan dirinya secara cerdas dan tepat
dalam pusaran kontestasi politik yang semakin sulit ditebak arahnya. Pilihan
cerdas dan tepat ini harus diwujudkan dalam Sikap Politik
yang tegas, agar cita-cita pendirian organisasi
sebagai pengawal kebhinekaan NKRI ini dapat diwujudkan.
Sikap Politik Ansor harus dilandasi dengan penguatan
pemahaman dan implementasi nilai-nilai Ahlussunah WalJama'ah menjadi sesuatu
yang urgent sekaligus emergency bagi pilihan masa depan Ansor.
Nilai tasamuh (toleransi) dalam mensikapi perbedaan, baik perbedaan
keyakinan dengan non Islam, antar umat Islam maupun antar orang muda NU sendiri
akan membawa pada sikap egaliter yang meneduhkan banyak kalangan. Nilai tawazun
(keseimbangan), dalam keyakinan, pemikiran intelektual maupun dalam praktek
kehidupan akan menuntun Ansor pada kebesaran dan kearifan. Nilai tawassuth
(moderat), akan menjadikan diakuinya eksistensi Ansor secara
berkelanjutan. Nilai-nilai utama ini
menjadikan Ansor dapat menerima perkembangan ilmu pengetahuan baru yang
mengedepankan rasionalitas dan pemikiran kontemporer, tetapi tetap menghargai
dan menerima pemahaman dan tradisi keagamaan yang lama, sepanjang memberikan
kemaslahatan, manfaat dan kesejahteraan ummat.
Sikap Politik Ansor perlu segara diwujudkan, mengingat realitas menunjukkan
telah terjadinya fragmentasi di kelembagaan Ansor. Kondisi
ini dapat dilihat secara kasat mata pada jajaran pengurus yang mencerminkan
beragam ‘bendera politik partai’, baik pada aras pusat, wilayah maupun cabang.
Cerminan tersebut pada level akar rumput ternyata mengancam soliditas organisasi berikut anggotanya. Argumen pentingnya Ansor
tidak kemana-mana tetapi berada di mana-mana, tidak cukup mampu menetralisir
pandangan anggota Ansor terhadap ‘bendera politik’ petingginya. Bahkan agenda
kerja yang dijalankan selalu dibaca sebagai penggalangan masa untuk ‘bendera
politik’ tertentu. Respon akar rumput ini kontraproduktif terhadap penguatan
kapasitas kelembagaan dan penguatan peran politik Ansor secara lebih luas.
Penguatan peran politik Ansor dalam penyemaian demokratisasi lokal, penguatan
pemahaman pluralisme dan kebhinekaan, dukungan terhadap sikap moderat &
tasamuh-nya menghadapi berbagai perbedaan, dan berbagai peran lain di
masyarakat, sering dipandang secara skeptis sebagai kampanye terselubung.
Kondisi diatas semakin
mengkhawatirkan apabila disandingkan dengan telah terfragmentasinya Ansor menjadi: (1) kelompok struktural Ansor yang elitis & eksklusif, sehingga
ruang interaksi dengan lapisan bawah menjadi terbatas; (2) kelompok politik
praktis, yang cenderung membawa & mengajak Ansor untuk memperkuat partai
politik yang diikutinya; (3) kelompok aktivis pergerakan, yakni yang aktif
dalam organisasi non pemerintah (ornop, NGO/LSM). Kelompok ini cenderung lebih
progresif dan terbuka tanpa memperhatikan keterikatan kelembagaan dengan Ansor;
(4) Banser, organ inti Ansor yang paling mudah dimobilisasi karena sistem
komandonya. Kelompok ini karena over confidence-nya, terkadang bergerak
sendiri (baik secara institusi ataupun personal) tanpa mengindahkan
kaidah-kaidah berorganisasi; (5) floating mass-nya Ansor, kelompok yang paling mudah berubah-ubah
haluan, tergantung pada situasi dan pergerakan kekuatan sosial politik yang ada
di sekitarnya.
Apabila sikap politik tidak
segera digariskan, maka perhelatan demokrasi di tahun 2014, akan semakin
memperbesar fragmentasi, menjauhkan organisasi dengan kemaslahatan umat, dan
menjadikan Ansor tetap sebagai objek & komoditas politik untuk segelintir
aktivisnya.