‘BEREBUT’
DESA[1]
Oleh:
Sutaryono[2]
Setahun
lalu, saat terbitnya UU 6/2014 tentang Desa muncul harapan baru sekaligus
kekhawatiran yang terartikulasi menjadi ‘UU Desa: Berkah atau Musibah’ (KR, 6-3-2014). Terbentuknya Kementerian
Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi pada Kabinet Kerja
memberikan harapan baru akan fokusnya pemerintah mengurus desa. Namun,
lagi-lagi harapan itu tertunda lagi dengan tengah ‘diperebutkannya’ urusan desa
oleh Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Desa. Persoalan yang kemudian
mengemuka adalah bagaimana mungkin desa mampu berkembang menjadi kuat, maju,
mandiri dan demokratis dalam melaksanakan pemerintahan dan pembangunan apabila
pemerintah pusat masih bersikukuh ‘mengendalikan’ desa, yang saat ini nampak
dari kerasnya tarik menarik kewenangan terhadap desa oleh dua kementerian di
atas.
Selama
ini desa cenderung dipandang sebagai entitas yang penuh
ketidakberdayaan, kemiskinan, dan keterbelakangan, sehingga desa dianggap tidak
mempunyai masa depan. Bahkan selama ini pula, pembangunan desa diurus oleh
paling tidak 13 kementerian yang berbeda- yang menjadikan desa jauh dari kata
‘mandiri’. Nah, kelahiran UUDesa membawa harapan baru, dimana desa dipandang
sebagai sebuah entitas yang mampu memandirikan diri dengan mengembangkan
aset-asetnya sebagai sumber penghidupan. Dalam konteks ini desa dianggap mampu
melakukan pengelolaan kebijakan, perencanaan, keuangan, dan melakukan pelayanan
dasar bagi warga masyarakat dalam rangka mempercepat peningkatan kesejahteraan dan
kemandirian. Agar desa mampu memainkan peran dalam mempercepat kesejahteraan
dan kemandirian, maka ‘intervensi’ oleh banyak kementerian perlu dikurangi atau
bahkan dihilangkan.
Dalam konteks ini perebutan kewenangan
untuk mengurus desa tidak perlu terjadi, apabila kembali pada semangat
pengaturan desa melalui UUDesa. Perebutan kewenangan mengurus desa antar
kementerian hanya dipandang sebagai upaya mengontrol desa melalui kewenangan
mengatur dana desa yang jumlahnya mencapai Rp. 20 triliun pada tahun 2015 dan
bakal bertambah pada tahun-tahun berikutnya. Meskipun perebutan kewenangan
kedua kementerian tersebut telah mendapatkan penyelesaian, dimana urusan
pemerintahan berada di Kementerian Dalam Negeri sementara urusan pembangunan
dan pemberdayaan masyarakat berada pada Kementerian Desa (KR, 14-1-2015), namun dalam implementasinya dapat dipastikan menimbulkan
conflict of interest antar kedua
lembaga. Ini baru pada level pemerintahan pusat, belum pada level pemerintah provinsi
dan pemerintah kabupaten, utamanya berkenaan dengan pengelolaan aset desa.
Salah satu klausul dalam UUDesa yang
berpotensi menjadi arena perebutan baru di daerah adalah Pasal 76 ayat (5),
‘kekayaan milik desa yang telah diambil alih oleh pemerintah kabupaten/kota
dikembalikan kepada desa, kecuali yang sudah digunakan untuk fasilitas umum’.
Klausul ini mengamanahkan kepada pemerintah kab/kota untuk melakukan negosiasi
ulang berkenaan dengan aset-aset desa- utamanya tanah- yang banyak dikuasai dan
dimanfaatkan untuk kepentingan supra desa.
Hal ini menjadi sangat problematik,
ketika urusan pemerintahan desa menjadi subordinat dari pemerintahan supradesa,
mulai kecamatan, kabupaten/kota, provinsi hingga Kementerian Dalam Negeri. Padahal
urusan pemerintahan ini tidak dapat dipisahkan dengan urusan tata kelola aset
desa. Urusan pembangunan dan pemberdayaan masyarakat yang menjadi domain
kementerian desa, juga sangat terkait dengan aset desa sebagai modal bagi
peningkatan kesejahteraan masyarakat dan peningkatan pendapatan desa.
Agar perebutan kewenangan terhadap desa
tidak berimbas sampai level daerah, maka spirit kelahiran UUDesa harus
dikedepankan. Spirit
UUDesa yang berupa pengakuan dan penghormatan bagi desa atas penguasaan dan
pengelolaan aset desa yang diorientasi untuk kepentingan desa dan kesejahteraan
warganya, harus menjadi dasar dalam pengurusan dan pengaturan desa oleh
kementerian. Tidak jamannya lagi, kewenangan pengurusan dan pengaturan desa
dijadikan argumen untuk melakukan subordinasi desa dan masyarakatnya, tetapi
justru harus digunakan dalam fasilitasi penyelenggaraan pemerintahan desa,
pembangunan, pembinaan kemasyarakatan dan pemberdayaan masyarakat desa.
Pada level lokal, spirit UUDesa perlu dijadikan
dasar dalam pengembalian aset-aset desa yang selama ini dikuasai oleh institusi
supradesa yang belum tentu didasarkan atas regulasi dan hubungan hukum yang
baik. Perlu dipastikan pula bahwa pengelolaan aset
desa dilakukan secara tertib, taat azas dan berkelanjutan serta berorientasi
pada kesejahteraan masyarakat dan kemandirian desa.