Kamis, 02 April 2015
Rumah Susun Vs Apartemen
Rumah Susun Vs Apartemen[1]
Oleh:
Sutaryono[2]
Lembaga Ombudsman Daerah Istimewa Yogyakarta (LO
DIY), Rabu (25-3-2015) menyelenggarakan diskusi terfokus tentang ‘Antisipasi
Permasalahan Hunian Vertikal’. Disamping diorientasikan untuk mendorong
terwujudnya tatakelola pemerintahan yang bersih dan tatakelola usaha swasta
yang beretika, agenda LO DIY ini merupakan respon atas semakin bertambahnya
jumlah penduduk, tingginya kebutuhan hunian yang berakibat pada tingginya konversi
lahan, banyaknya aduan masyarakat berkenaan dengan hunian vertikal, baik hotel
maupun apartemen serta belum memadainya regulasi yang mengaturnya.
Konversi lahan pertanian ke nonpertanian untuk
pemenuhan kebutuhan perumahan permukiman semakin tidak terelakkan. Kondisi
demikian terjadi di hampir seluruh wilayah di Indonesia tanpa kecuali, termasuk
DIY. Kecepatan konversi lahan pertanian di DIY yang mencapai 153 hektar/tahun dan
meningkatnya kebutuhan untuk hunian perlu mendapatkan perhatian serius.
Pertanyaan yang kemudian mengedepan adalah, apakah hunian vertikal sudah
dibutuhkan di DIY? Apabila memang sudah saatnya, apa bentuk hunian vertikal
yang menjawab kebutuhan hunian tetapi tetap terjaga kelestarian lingkungan
termasuk harmoni sosial di masyarakat?
Dalam diskusi di LO DIY tersebut, dapat dikatakan
sebagian besar sepakat dengan hunian vertikal berupa rumah susun, tetapi
berkeberatan dengan apartemen. Argumen yang diajukan adalah: (1) adanya
realitas menurunnya muka air tanah (muncul isu ‘Jogja Asat’); (2) apartemen
dikonotasikan sebagai proyek pro kapital, elitis, hanya untuk kalangan atas dan
konsumennya bukan orang Jogja; (muncul isu ‘Jogja Ora Didol’); dan (3) kekhawatiran
meningkatnya pencemaran, kemacetan dan timbulnya
disparitas sosial (muncul isu ‘Jogja Berhenti Nyaman’). Argumen ini
diartikulasikan dalam bentuk protes dan perlawanan terhadap pembangunan
apartemen di berbagai wilayah.
Secara normatif tidak ada pengertian apartemen
dalam UU 20/2011 tentang Rumah Susun, sehingga apartemen dikategorikan sebagai
salah satu jenis rumah susun. Dalam UU 20/2011 rumah susun dimaknai sebagai
bangunan gedung bertingkat yang dibangun dalam suatu lingkungan yang terbagi
dalam bagian-bagian yang distrukturkan secara fungsional, baik dalam arah
horizontal maupun vertikal dan merupakan satuan-satuan yang masing-masing dapat
dimiliki dan digunakan secara terpisah, terutama untuk tempat hunian yang
dilengkapi dengan bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama. Berdasarkan
jenisnya rumah susun terdiri dari rumah susun umum, rumah susun khusus, rumah
susun negara dan rumah susun komersial. Dalam hal ini pembangunan rumah susun
umum, rumah susun khusus, dan rumah susun negara merupakan tanggung jawab
pemerintah, sedangkan pembangunan rumah susun komersial dapat dilaksanakan oleh
setiap orang. Pembangunan
rumah susun komersial inipun diwajibkan menyediakan rumah susun umum
sekurang-kurangnya 20% (dua puluh persen) dari total luas lantai rumah susun
komersial yang dibangun.
Disisi lain, secara tegas disebutkan bahwa penyelenggaraan
rumah susun bertujuan untuk: (a) terwujudnya rumah susun yang layak huni dan
terjangkau dalam lingkungan yang sehat, aman, harmonis, dan berkelanjutan serta
menciptakan permukiman yang terpadu guna membangun ketahanan ekonomi, sosial,
dan budaya; (b)meningkatkan efisiensi dan efektivitas pemanfaatan ruang dan
tanah, serta menyediakan ruang terbuka hijau dengan memperhatikan prinsip
pembangunan berkelanjutan; (c) mengurangi luasan dan mencegah timbulnya
perumahan dan permukiman kumuh; (d) mengarahkan pengembangan kawasan yang
serasi, seimbang, efisien, dan produktif; (e) memenuhi kebutuhan sosial dan
ekonomi yang menunjang kehidupan penghuni dan masyarakat, terutama bagi MBR;
(f) memberdayakan para pemangku kepentingan di bidang pembangunan; (g) terpenuhinya
kebutuhan rumah susun yang layak dan terjangkau bagi MBR; dan (h) memberikan
kepastian hukum dalam penyediaan, kepenghunian, pengelolaan, dan kepemilikan
rumah susun.
Berdasarkan realitas dan regulasi tentang rumah
susun, maka kebijakan dan pemberian ijin terhadap pembangunan rumah susun perlu
dicermati kembali, apakah untuk memenuhi kebutuhan hunian bagi masyarakat dalam
lingkungan yang sehat, aman, harmonis, dan berkelanjutan atau untuk kepentingan
komersial yang berorientasi pada keuntungan semata yang mengabaikan kebutuhan
masyarakat dan keberlanjutan lingkungan? Tentu pilihan itu seyogyanya dilandasi
oleh filosofi hamemayu hayuning bawana. Untuk ini inisiatif LO DIY dalam upaya
mengantisipasi permasalahan hunian vertikal perlu ditindaklanjuti oleh semua
pemangku kepentingan.
Langganan:
Postingan (Atom)