Mungkinkah
SWASEMBADA
PANGAN TANPA REFORMA AGRARIA?[1]
Oleh:
Sutaryono[2]
Optimisme Presiden
Jokowi untuk merealisasikan swasembada pangan nasional dalam waktu 3 – 4 tahun
akan dilakukan melalui percepatan penyediaan infrastruktur pendukung pertanian.
Betul, infrastruktur pendukung pertanian mutlak diperlukan untuk mewujudkan
swasembada pangan, tetapi agenda penataan kembali penguasaan, pemilikan,
penggunaan dan pemanfaatan tanah secara lebih berkeadilan- sering disebut
sebagai pembaruan agraria atau reforma agraria- adalah prasyaratnya. Mengapa?
Data BPS menunjukkan bahwa rata-rata pemilikan tanah oleh petani saat ini hanya
0,36 hektar dan terdapat lebih dari 11 juta rumah tangga petani tidak memiliki
tanah. Indeks GINI yang menunjukkan ketimpangan penguasaan tanah di Indonesia,
dari tahun ke tahun selalu mengalami peningkatan, terakhir mencapai angka 0,413.
Pertanyaan yang muncul kemudian adalah, bagaimana mungkin swasembada pangan
dapat diwujudkan ‘hanya’ dengan penyediaan infrastruktur pertanian tanpa agenda
mendasar yang berupa reforma agraria?
Amanat konstitusi yang menyatakan
bahwa "Bumi, air dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat", harus ditindaklanjuti dengan
memastikan bahwa struktur penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan
sumber-sumber agraria lebih berkeadilan dan berorientasi untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat. Inilah yang dimaknai sebagai reforma agraria.
Nawacita yang
dicita-citakan oleh Jokowi–JK, paling tidak memuat tiga agenda yang bertautan
sangat kuat dengan reforma agraria, yakni: (1) memberikan jaminan kepastian hukum hak kepemilikan atas
tanah, penyelesaian sengketa
tanah dan menentang
kriminalisasi penuntutan kembali hak tanah masyarakat; (2) peningkatan
kesejahteraan masyarakat dengan mendorong landreform
dan program kepemilikan tanah seluas 9 juta hektar; serta (3) mewujudkan kedaulatan pangan melalui
perbaikan jaringan irigasi dan pembukaan 1 juta hektar sawah baru. Ketiga
agenda ini sudah pasti membutuhkan kelembagaan yang secara khusus, kuat dan legitimate dalam operasionalisasinya.
Secara
operasional cita-cita di atas telah tertuang di dalam RPJMN Tahun 2015-2019. Sasaran
program dalam peningkatan kesejahteraan rakyat marjinal melalui Program
Indonesia Kerja adalah: (a) Penyediaan
sumber Tanah Objek Reforma Agraria (TORA) dan melakukan redistribusi tanah dan
legalisasi aset, melalui identifikasi kawasan hutan yang akan dilepaskan sedikitnya
sebanyak 4,1 juta ha dan identifikasi
tanah hak, termasuk di dalamnya tanah HGU akan habis masa berlakunya, tanah
terlantar, dan tanah transmigrasi yang belum bersertifikat, yang berpotensi
sebagai TORA sedikitnya sebanyak 1 juta ha; dan (b) pengelolaan aset tanah (reforma aset) yang meliputi redistribusi
tanah dan legalisasi aset sebanyak 9 juta ha dengan rincian: (i) redistribusi
tanah sedikitnya sebanyak 4,5 juta ha yang meliputi tanah pada kawasan hutan
yang dilepaskan, dan tanah hak, termasuk di dalamnya tanah HGU akan habis masa
berlakunya dan tanah terlantar; dan (ii) legalisasi aset sedikit-nya sebanyak
4,5 juta ha, yang meliputi tanah transmigrasi yang belum dilegalisasi dan
legalisasi aset (sertifikasi) masyarakat dengan kriteria penerima reforma
agraria.
Hal di atas menunjukkan bahwa komitmen pemerintah saat ini
telah ditunjukkan melalui penetapan sebagian agenda reforma agraria melalui RPJM
Nasional yang menjadi guidence
pembangunan dalam 5 tahun ke depan. Namun demikian, ketika landasan konstitusi
dan politik serta arah kebijakan pembangunan sudah digariskan, tetapi struktur
kelembagaan pada level kementerian belum secara eksplisit menampungnya, maka
pertanyaan yang muncul kemudian adalah siapa yang akan urus reforma agraria
untuk mendukung perwujudan terwujudnya swasembada pangan tersebut?
Reforma agraria mencakup proses yang berkesinambungan berkenaan dengan penataan kembali penguasaan, pemilikan,
penggunaan dan pemanfaatan sumberdaya agraria, dilaksanakan dalam rangka
tercapainya kepastian dan perlindungan hukum serta keadilan dan kemakmuran bagi
seluruh rakyat Indonesia. Reforma Agraria dimaknai juga sebagai landreform + access reform (Joyo Winoto,
2007), yang bertujuan untuk: (1) menata
kembali ketimpangan struktur penguasaan dan penggunaan tanah; (2) mengurangi
kemiskinan; (3) menciptakan lapangan kerja; (4) memperbaiki akses rakyat kepada
tanah; (5) mengurangi sengketa dan konflik pertanahan; (6) memperbaiki dan
menjaga kualitas lingkungan hidup, serta (7) meningkatkan ketahanan pangan dan
ketahanan energi nasional.
Sulit dipahami bahwa swasembada pangan secara
nasional akan tercapai dengan kondisi penguasaan rata-rata lahan pertanian
kurang dari 0,5 ha per RT Petani, alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian
tetap tinggi dan belum adanya kebijakan yang jelas terhadap penyelamatan lahan
pertanian. Meskipun UU
19/2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani telah memberikan jaminan
kesejahteraan kepada petani untuk tetap berproduksi dan memberikan 2 hektar
lahan untuk petani gurem, tetapi ternyata strategi, instrumen dan lembaga yang mengimplementasikan
belum tersedia secara memadai. Padahal redistribusi lahan 9 juta hektar
sebagaimana tertuang dalam nawacita,
hanya dapat dilakukan melalui agenda reforma agraria- yang hingga saat ini
belum jelas siapa yang harus menjalankannya.
Dalam konteks ini, apabila presiden serius berupaya
mewujudkan swasembada pangan secara nasional, maka agenda reforma agraria perlu
segera dijalankan. Apabila organ yang menjalankan reforma agraria dalam level
kementaerian belum jelas, maka alternatif kelembagaan extra ordinary perlu segera dilakukan. Rekomendasi Konferensi
Nasional Reforma Agraria (KNRA, 2014) tentang pembentukan Komite Nasional
Pembaruan Agraria (KNPA) perlu ditengok kembali. Komite ini diusulkan langsung berada
di bawah dan bertanggungjawab kepada Presiden, mempunyai tugas melakukan
langkah-langkah persiapan dalam pelaksanaan reforma agraria serta dikukuhkan
dengan peraturan presiden. Apabila ini dapat dilakukan, maka upaya perwujudan swasembada
pangan secara nasional telah mulai.