UUPA & UU Keistimewaan,
Pro Rakyat[1]
Oleh:
Sutaryono[2]
Pekan
ini, tepat
24 September 2015 adalah 55
tahun kelahiran Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) yang sekaligus juga
diperingati sebagai Hari Tani Nasional. Lebih dari setengah abad, Indonesia
sebagai nation state telah
memproklamirkan diri sebagai negara agraris yang melahirkan kebijakan yang pro
rakyat. UUPA
terlahir dengan
membawa misi: (1) perombakan hukum agraria; (2) pelaksanaan land
reform; (3) penataan penggunaan tanah; (4) likuidasi hak-hak asing dalam bidang
agraria; dan (5) penghapusan sisa-sisa feudal dalam bidang agraria. Kelima misi ini merupakan
bukti nyata bahwa kelahiran UUPA dicita-citakan untuk mewujudkan hukum agraria nasional,
menatakembali penguasaan dan pemilikan tanah demi keadilan dan kesejahteraan
masyarakat. Inilah yang dimaknai bahwa UUPA untuk rakyat. Bagaimana dengan UUKeistimewaan
DIY, yang seringkali ‘dibaca’ bertentangan dengan UUPA? Apakah UUK juga untuk
rakyat?
Secara
normatif UU 13/2012 tentang Keistimewaan DIY bertujuan untuk: (1) mewujudkan
pemerintahan yang demokratis; (2) mewujudkan kesejahteraan dan ketenteraman
masyarakat; (3) mewujudkan tata pemerintahan dan tatanan sosial yang menjamin
ke-bhineka-tunggal-ika-an dalam kerangka NKRI; (4) menciptakan pemerintahan
yang baik; dan (5) melembagakan peran dan tanggungjawab Kasultanan dan
Kadipaten dalam menjaga dan mengembangkan budaya yang merupakan warisan budaya
bangsa. Lebih lanjut disebutkan bahwa penyelenggaraan kewenangan dalam urusan
Keistimewaan, didasarkan pada nilai-nilai kearifan lokal dan keberpihakan
kepada rakyat.
Hal-hal
di atas menunjukkan bahwa pada dasarnya ‘spirit’ UUKeistimewaan tidak berbeda
dengan UUPA, yakni untuk kesejahteraan rakyat. Hal ini juga termasuk dalam kewenangan
Kasultanan dan Kadipaten dalam pengelolaan dan pemanfaatan tanah keistimewaan,
yang ditujukan untuk sebesar-besarnya pengembangan kebudayaan, kepentingan
sosial dan kesejahteraan masyarakat. Dengan demikian, maka eksistensi UUPA dan
UU Keistimewaan DIY tidak perlu diperdebatkan lagi, tetapi didukung dan dikawal
agar implementasi kedua regulasi di atas benar-benar diorientasikan untuk
kesejahteraan rakyat.
Problematika
Keagrariaan-Pertanahan
Perlu
dicatat bahwa, meskipun umur UUPA telah lebih dari setengah abad, tetapi ternyata
cita-cita luhurnya belum sepenuhnya terealisasi. Bahkan berbagai persoalan
keagrariaan-pertanahan masih menggelayuti bangsa ini seperti: (1) tumpang tindihnya berbagai peraturan
perundang-undangan di bidang keagrariaan dan pertanahan;
(2) terbatasnya akses masyarakat terhadap penguasaan dan pemilikan tanah; (3) banyaknya tanah
terlantar ataupun diterlantarkan oleh pemegang hak; (4) belum terselesaikannya
pendaftaran tanah di wilayah Indonesia; (5) tingginya ketimpangan penguasaan
dan pemilikan tanah; (6) lambatnya penyelesaian sengketa, konflik dan perkara
agraria – pertanahan;
(7) belum memadainya perlindungan terhadap
hak-hak atas tanah bagi masyarakat, termasuk hak ulayat masyarakat hukum adat
dan hutan adat; dan (8) belum tersedianya peta tunggal untuk mewujudkan visi one map on policy.
Ternyata
cukup banyak problematika yang berhubungan dengan implementasi UUPA, yang
berakibat pada dipertanyakannya komitmen negara dan pemerintah dalam
menjalankan UUPA. Tidak berbeda dengan UUPA, implementasi UU Keistimewaan yang
baru berumur 3 tahun-pun sudah mulai dipertanyakan, bahkan diragukan. Munculnya
berbagai pro kontra terhadap implementasi UU Keistimewaan, utamanya berkenaan dengan
pengelolaan dan pemanfaatan tanah keistimewaan menunjukkan bahwa masyarakat
menaruh harapan yang tinggi terhadap kemanfaatan dan kemaslahatan regulasi ini
untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Energi
Positif untuk Perdais
Pro kontra dalam pengelolaan dan pemanfaatan tanah
keistimewaan dan kekhawatiran diambilalihnya SG-PAG yang selama ini
didayagunakan oleh masyarakat, termasuk Tanah Kas Desa, merupakan problematika
implementasi UU Keistimewaan. Teridentifikasinya berbagai problematika tersebut
merupakan energi positif yang dapat digunakan untuk memperkuat pengaturan
pengelolaan dan pemanfaatan tanah keistimewaan. Hal ini menjadi produktif
apabila penyusunan perdais pertanahan betul-betul sesuai dengan ‘spirit’
lahirnya UU Keistimewaan, yakni untuk kesejahteraan masyarakat.
Momentum hari agraria dan hari tani ini perlu
dijadikan media refleksi untuk mewujudkan pengelolaan agraria-pertanahan untuk sebesar-besar
kesejahteraan rakyat. Esensi hamemayu hayuning bawana dan
tahta untuk rakyat sebagaimana telah ditunjukkan Ngersodalem Sultan
dalam pengelolaan pertanahan selama ini perlu dijadikan dasar dalam pengambilan
kebijakan pertanahan, baik secara nasional maupun dalam konteks keistimewaan
sesuai dengan undang-undang yang pro rakyat. Semoga.