Jumat, 24 Februari 2017
Percepatan Sertifikasi Tanah
Percepatan Sertifikasi
Tanah[1]
Oleh:
Sutaryono[2]
“Program
Proyek Operasi Nasional atau Prona ini sudah berjalan 35 tahun, dan sampai
sekarang belum beres-beres juga urusan sertifikat. Ngurus
sertifikat masih lama, bener ndak? Ngurus
sertifikat masih berbelit-belit, bener ndak? Ini
yang akan kita selesaikan, ini yang akan kita benahi, ini yang akan kita
perbaiki, sehingga masyarakat nanti akan terjamin hak-hak kepemilikannya dan
penguasaan rakyat atas tanah”, demikian Petikan Sambutan Presiden pada saat
penyerahan sertifikat tanah di Gunung Kidul pada akhir tahun lalu.
Komitmen
Presiden untuk menyelesaikan, membenahi, memperbaiki sekaligus menjamin hak-hak
kepemilikan dan penguasan rakyat atas tanah diwujudkan dalam kebijakan
percepatan sertifikasi tanah, yang dituangkan dalam Peraturan Menteri
ATR/Kepala BPN Nomor 35 Tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Pendaftaran
Tanah Sistematis Lengkap. Regulasi tersebut diorientasikan untuk percepatan
pendaftaran tanah lengkap di seluruh wilayah Republik Indonesia dalam rangka
memberikan jaminan kepastian hukum dan perlindungan hukum hak atas tanah rakyat
secara adil dan merata, serta mendorong pertumbuhan ekonomi. Persoalan yang
muncul merespon kebijakan di atas adalah apakah urgensi percepatan sertifikasi
tanah dan bagaimana mengimplementasikannya?
Urgensi Sertifikasi Tanah
Sudah 71 tahun
Indonesia Merdeka, saat ini baru tercatat 46 juta bidang tanah yang
bersertifikat, dari sekitar 110 juta bidang tanah di luar kawasan hutan.
Apabila tidak ada agenda percepatan, dibutuhkan waktu 100 tahun lagi agar semua bidang tanah di
Indonesia bersertifikat. Namun demikian, komitmen pemerintah untuk mempermudah
dan mempercepat sertifikasi sehingga pada 2025 seluruh tanah di Indonesia sudah
bersertifikat perlu didukung. Untuk mewujudkan hal tersebut sertifikasi tanah
pada tahun 2017 ditargetkan sejumlah 5 juta bidang, 7 juta bidang di tahun
2018, 9 juta bidang di tahun 2019 dan sisanya diselesaikan hingga tahun 2025.
Secara
normatif percepatan sertifikasi tanah dilakukan melalui Pendaftaran Tanah
Sistematik Lengkap (PTSL), yakni kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali
yang dilakukan secara serentak yang meliputi semua obyek pendaftaran tanah yang
belum didaftar dalam satu wilayah desa/kelurahan atau nama lainnya yang
setingkat dengan itu.
Sertifikasi tanah
menjadi sangat krusial ketika kebutuhan tanah semakin meningkat, harganya
semakin mahal dan semakin banyak pihak yang berkepentingan. Akibatnya muncul
banyak spekulan tanah, mafia tanah, calo tanah dan pihak-pihak yang mengambil
keuntungan dari komodifikasi tanah (memperlakukan tanah sebagai komoditas). Hal
inilah yang menjadikan sertifikasi tanah menjadi suatu yang urgent untuk segera diselesaikan. Tujuan
utamanya jelas, yakni: (a) memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum
kepada pemegang hak; (b) menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang
berkepentingan termasuk Pemerintah agar dengan mudah dapat memperoleh data yang
diperlukan dalam mengadakan perbuatan hukum mengenai bidang-bidang tanah; dan
(c) terselenggaranya tertib administrasi pertanahan.
Partisipasi
Seluruh Pemangku Kepentingan
Argumen utama
percepatan sertifikasi tanah adalah untuk memberikan jaminan kepastian hukum
dan perlindungan hukum hak atas tanah secara adil dan merata, serta mendorong
pertumbuhan ekonomi negara dan ekonomi rakyat. Terealisasinya agenda percepatan
sertifikasi ini tidak bisa dibebankan kepada Kementerian ATR/BPN saja, tetapi
membutuhkan partisipasi aktif seluruh pemangku kepentingan terhadap tanah.
Pemegang hak
harus aktif mengelola tanahnya sesuai peruntukannya, termasuk memastikan tanda
batasnya. Pemerintah Desa harus memelihara dokumen-dokumen pertanahan dan
secara aktif mencatat setiap perbuatan hukum atas tanah-tanah yang belum bersertifikat.
Pemerintah Daerah harus secara terus-menerus mendorong percepatan sertifikasi
tanah melalui berbagai fasilitasi maupun bantuan pembiayaan. Sebagai contoh,
Gubernur Jawa Tengah pada bulan ini telah membuat surat edaran yang ditujukan
kepada Bupati dan Walikota agar memfasilitasi pemerintah desa/kalurahan untuk
menyusun perda yang mengatur tentang pembiayaan Sertifikasi Prona yang
dibebankan kepada masyarakat berdasarkan rembug desa, agar terhindar dari
kutipan yang membebani.
Jajaran
Kementerian ATR/BPN harus secara aktif dan responsif melakukan pelayanan
sertifikasi tanah dengan azas sederhana, aman, terjangkau, mutakhir dan terbuka.
Apabila hal ini dapat dilakukan, maka percepatan sertifikasi tanah adalah
sebuah keniscayaan yang berujung pada kepastian hak atas tanah.
Selasa, 21 Februari 2017
Langganan:
Postingan (Atom)