Senin, 12 Juni 2017
Miskin Tetapi Sejahtera
Miskin tetapi Sejahtera[1]
Oleh:
Sutaryono[2]
“Miskin
tetapi Sejahtera”, itulah respon dan seloroh sebagian Pejabat Pemda DIY pada
berbagai kesempatan, ketika disodori data tentang angka kemiskinan dan
ketimpangan yang ada di DIY. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah benarkah
masyarakat di DIY miskin dan benarkah masyarakat di DIY sejahtera?
Apabila
ditilik dari indikator-indikator kuantitatif, dua kondisi yang berseberangan
tersebut ternyata terkonfirmasi. Angka kemiskinan di DIY menunjukkan angka yang
relatif tinggi dan berada di atas rata-rata nasional. Data BPS pada tahun 2016
mencatat angka kemiskinan di DIY mencapai 13,20%, sementara angka kemiskinan
nasional hanya 10,86%. Pada tahun yang sama, indeks GINI yang menunjukkan angka
ketimpangan, berada pada angka 0,425. Angka ini adalah angka ketimpangan
tertinggi di Indonesia. Hal ini berarti bahwa angka kemiskinan yang tinggi di
DIY dapat disebabkan oleh tingginya ketimpangan.
Namun,
ditengah tingginya angka kemiskinan dan ketimpangan, ternyata indikator
kesejahteraan yang berupa angka Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di DIY justru
termasuk kategori tinggi, mencapai 78,38 dan hampir setara dengan IPM DKI
Jakarta. Disamping itu, usia harapan hidup juga tertinggi di Indonesia, yakni
pada 74,71 tahun. Ini menunjukkan bahwa, benar masyarakat DIY pada kondisi yang
sejahtera.
Ketiadaan
Aset
Terlepas dari indikator-indikator kuantitatif
di atas, secara faktual intensitas konversi lahan pertanian dan peralihan hak
atas tanah di DIY semakin meningkat. Suburnya bisnis property di pinggiran Kota Yogyakarta menunjukkan hal tersebut.
Kondisi tersebut sudah cukup lama terjadi, bahkan alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian di wilayah yang berbatasan
langsung dengan Kota Yogyakarta (Gamping, Mlati dan Depok di Kabupaten Sleman
serta Banguntapan, Sewon dan Kasihan di Kabupaten Bantul) menyumbang alih
fungsi lahan sebesar 79,15 ha per tahun atau 73,28% dari alih fungsi lahan pertanian
rata-rata pertahun di seluruh DIY (Sutaryono, 2012). Berkenaan dengan penguasaan
lahan, rata-rata Rumah Tangga Pertanian di DIY hanya menguasai 2.802 m2. Bahkan
banyak dijumpai lahan-lahan pertanian produktif diterlantarkan karena
pemilikannya di duga sudah berada di tangan orang-orang dari luar DIY.
Terbatasnya
lahan pertanian yang menjadi penopang hidup bagian terbesar penduduk DIY tidak
terlepas dari adanya konversi lahan pertanian ke nonpertanian sebagai dampak
dari urbanisasi spasial di wilayah pinggiran. Kondisi inilah yang menjadi
penyebab ketiadaan aset bagi sebagian besar petani di DIY.
Fakta di atas terkonfirmasi oleh hasil riset Institute for Research and Empowerment
(IRE) Yogyakarta, yang ramai diberitakan di media lokal maupun nasional
beberapa pekan lalu. IRE menemukan bahwa tingginya ketimpangan dan kemiskinan
di DIY ditandai oleh problem
penguasaan aset produktif, yakni lahan pertanian. Keterbatasan aset lahan
pertanian ini mendorong masyarakat pedesaan beralih pada sektor-sektor informal
sebagai sumber penghidupan. Dalam konteks riset ini, muncul juga statemen “masyarakat
yang tinggal turun-temurun di Yogyakarta terancam menjadi tamu di daerahnya
sendiri”.
Redistribusi
Aset
Untuk
mengatasi ketiadaan aset perlu dilakukan berbagai agenda aksi yang berupa
redistribusi lahan, penguatan akses lahan bagi petani, perlindungan lahan
pertanian melalui penerapan kebijakan penyediaan Lahan Pertanian Pangan
Berkelanjutan (LP2B) serta penerapan kebijakan dan program pembangunan secara
merata dan mendorong tumbuhnya aktivitas perekonomian di pedesaan.
Dalam
rangka menciptakan lapangan kerja dan menumbuhkan aktivitas perekonomian di
desa yang muaranya mengurangi kemiskinan dan ketimpangan, redistribusi asset-
yang berupa lahan pertanian- merupakan agenda yang patut dipertimbangkan. Lahan-lahan pertanian yang dapat
diorientasikan untuk redistribusi aset adalah lahan pertanian absentee, lahan
terlantar atau lahan yang tidak didayagunakan, lahan pertanian yang berstatus
tanah desa serta lahan-lahan pesisir pantai selatan yang berstatus sebagai SG
dan PAG. Redistribusi aset ini tidak harus mengacu pada sistem land reform yang meredistribusilan lahan
untuk dikuasai dan dimiliki oleh petani, tetapi dapat dilakukan dengan model
yang berbeda. Pada prinsipnya redistribusi aset ini diorientasikan untuk memberikan
kemudahan akses bagi petani untuk dapat menguasai dan mengelola aset secara
produktif.
[1]
Dimuat dalam kolom ANALISIS, SKH Kedaulatan Rakyat, 10-06-2017
[2]
Dr. Sutaryono, Pengajar pada Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional dan Prodi
Pembangunan Wilayah Fak. Geografi UGM
Langganan:
Postingan (Atom)