Kamis, 09 Januari 2020
Jumat, 03 Januari 2020
Mencegah Banjir
Cegah Banjir[1]
Oleh:
Dr. Sutaryono[2]
Dalam dua hari ini kita disuguhi berita tetang banjir di
wilayah Jabodetabek yang cakupannya semakin meluas. Bahkan dikabarkan bahwa
banjir dalam dua hari ini adalah banjir terparah dalam 7 tahun terakhir. Disamping
curah hujan yang tinggi, penyebab banjir adalah tidak mampunya sungai menampung
aliran air dan air hujan yang berasal dari hulu. Oleh karena itu, dapat
dipastikan bahwa wilayah terdampak banjir adalah wilayah-wilayah yang berada di
sekitar aliran sungai.
Berkaca
dari banjir tersebut, Kota Yogyakarta
yang dialiri oleh tiga sungai harus mengantisipasinya. Badan Nasional
Penanggulangan Bencana menyatakan bahwa sempadan ketiga sungai di Yogyakarta
(Winongo, Code dan Gajah Wong) mempunyai tingkat kerentanan bahaya banjir yang
tinggi (BNPB, 2018). Salah satu agenda yang dapat mengurangi bahaya banjir dan
longsor di sempadan sungai adalah mengembalikan hak air atas tanahnya. Hak
air atas tanah di
daerah sempadan sungai untuk bisa mengalir secara wajar telah diambil oleh masyarakat
untuk rumah tinggal dan tempat pembuangan sampah (Opini KR, 22-4-2016).
Kondisi Eksisting
Dalam
Dokumen Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) RTRW Kota Yogyakarta 2018,
teridentifikasi sebanyak 268 titik di 13 kecamatan dengan luas 269,93 hektar
adalah kawasan kumuh. Kondisi ini menunjukkan hal yang cukup memprihatinkan,
mengingat 13 kecamatan dari 14 kecamatan di Yogyakarta terdapat kawasan kumuh.
Secara administratif, kawasan kumuh berupa permukiman terdapat di 33 Kelurahan,
yang sebagian besar ada di permukiman pinggiran sungai.
Untuk
menyelesaikan kondisi di atas, salah satu isu strategis dalam RPJMD Kota
Yogyakarta yang dirumuskan adalah penataan kawasan bantaran sungai. Hal ini
menunjukkan bahwa Pemerintah Kota Yogyakarta telah berkomitmen untuk
menyelesaikan permasalahan permukiman kumuh yang sebagian besar ada di sempadan
sungai dengan kerentanan bahaya banjir yang tinggi.
Dalam
konteks ini sempadan sungai adalah garis maya di kiri dan kanan palung sungai
yang ditetapkan sebagai batas perlindungan sungai (Permen PUPR NOMOR
28/PRT/M/2015). Untuk sungai-sungai yang melintas di Kota Yogyakarta, dapat
dikategorikan sebagai sungai bertanggul. Garis sempadan sungai bertanggul di
dalam kawasan perkotaan ditentukan paling sedikit berjarak 3 meter dari tepi
luar kaki tanggul sepanjang alur sungai. Sempadan sungai ini merupakan kawasan
lindung, mengingat kawasan ini melindungi fungsi sungai dari aktifitas yang
berkembang di sekitarnya dan menjaga kelestarian
fungsi sungai.
Strategi Penataan
Untuk
mencegah banjir sekaligus menyelesaikan permasalahan kawasan kumuh di sempadan
sungai perlu dilakukan agenda strategis yang melibatkan banyak pihak dan
dilakukan secara partisipatif. Strategi penataan kawasan sempadan di Yogyakarta melalui Konsep Mundur, Munggah,
Madhep Kali (M3K) yang
sudah dicanangkan sejak tahun 2016 (KR, 16-03-2016),
hingga saat ini belum dapat diimplementasikan secara tuntas. Hal ini muncul
saat Diskusi Terfokus ‘Pencegahan Sengketa Tanah Di Kawasan Bantaran Sungai di
Yogyakarta beberapa waktu yang lalu. Oleh karena itu, untuk mengakselerasi
kebijakan M3K ini perlu didorong dengan penggunaan strategi baru, yakni M3K
Berbasis Konsolidasi Tanah Partisipatif.
Kondolidasi Tanah merupakan
kebijakan mengenai penataan kembali penguasaan dan penggunaan tanah sesuai RTRW
serta usaha pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan guna peningkatan
kualitas lingkungan hidup dengan partisipasi masyarakat. Hal ini menunjukkan
bahwa konsolidasi tanah memiliki tiga agenda sekaligus, yakni: (a) penataan
kembali penguasaan dan penggunaan tanah; (b) pengadaan tanah untuk kepentingan
pembangunan; serta (c) dilakukan dengan melibatkan masyarakat secara
partisipatif.
Agenda penataan
kawasan sempadan sungai dengan M3K Berbasis Konsolidasi Tanah Partisipatif,
paling tidak terdiri dari tiga tahapan penting yakni: (a) identifikasi kawasan
yang akan ditata, baik objeknya (tanah dan bangunannya) maupun subjek-nya
(pemilik, penghuni ataupun yang menguasai tanah/bangunannya) yang dilakukan
secara partisipatif; (b) penguatan kapasitas masyarakat dan kelembagaan yang
menjadi sasaran; (c) penguatan komitmen pemerintah, baik dalam penyelenggaraan
konsolidasi tanahnya, pembangunan sarana dan prasarananya, termasuk menyediakan
hunian sementara untuk masyarakat yang tanahnya di tata maupun pembangunan
hunian pasca konsolidasi tanah.
Langganan:
Postingan (Atom)