Tanah Desa[1]
Oleh: Sutaryono[2]
Beberapa pekan ini
kita disuguhi dengan maraknya berbagai pemberitaan terkait dugaan
penyalahgunaan tanah desa. Sebetulnya hal ini sudah mendapatkan ‘warning’ pasca
terbitnya UU 6/2014 tentang Desa. Semakin bernilainya tanah desa serta
menguatnya peran desa, maka saatnya bagi desa dan
pemangku kepentingan terkait untuk segera merumuskan agenda pengelolaan tanah
desa, agar lebih fungsional, efisien,
terbuka, akuntabilitas, berkelanjutan serta berorientasi untuk
kepentingan dan kesejahteraan rakyat (Opini KR, 04-08-2016).
Dalam konsep tradisional,
tanah desa dibedakan dengan status penguasaan tanah individual atau kolektif
seperti tanah yasan dan tanah norowito. Tanah yasan, yasa atau yoso, merupakan tanah hak milik
perseorangan. Sedangkan tanah norowito,
gogolan, pekulen, playangan, kesikepan, dan sejenisnya, adalah tanah
pertanian milik bersama yang warga desa dapat memperoleh bagian untuk digarap,
baik secara bergilir maupun secara tetap. Selain
dua jenis tanah tersebut, dalam sistem penguasaan tanah di DIY juga mengenal konsep tanah desa. Tanah desa
meliputi tiga tipe: pertama, tanah bengkok, tanah carik atau juga disebut tanah
kelungguhan (kedudukan = pelungguh) yaitu tanah milik desa yang diperuntukkan
bagi pejabat desa yang hasilnya dianggap ‘gaji’ selama mereka menduduki jabatan
itu. Kedua, tanah pengarem-arem, yakni tanah milik desa
yang diperuntukkan bagi pensiunan pamong desa. Ketiga, tanah titisara,
bondo deso, kas desa, adalah tanah milik desa yang biasanya disewakan,
disakapkan, dengan cara dilelang kepada siapa saja yang mau menggarapnya.
Hasilnya digunakan untuk anggaran rutin ataupun pemeliharaan desa (Wiradi,
1984).
Dalam konteks nasional,
berdasarkan PP 43/2014 tentang
Peraturan Pelaksanaan UU 6/2014 Tentang Desa, pengelolaan tanah desa sebagai
kekayaan milik desa bertujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat Desa dan
meningkatkan pendapatan Desa. Dalam konteks DIY, berdasarkan Pergub DIY Nomor
34 Tahun 2017 Tentang Pemanfaatan Tanah Desa, disebutkan secara jelas bahwa
tujuan pemanfaatan Tanah Desa untuk: (a) pengembangan kebudayaan; (b)
kepentingan sosial; (c) kesejahteraan masyarakat; dan (d) penyelenggaraan
pemerintahan desa.
Berdasarkan
hal diatas maka pemanfaatan tanah desa oleh swasta untuk kepentingan komersial
dan bersifat privat (pengembangan perumahan) sebagaimana ramai diperbincangkan
tidak bisa dibenarkan.
Tanah Desa untuk Perumahan?
Pada
dasarnya pemenfaatan tanah desa untuk berbagai keperluan termasuk untuk
pembangunan perumahan dapat dibenarkan apabila berorientasi pada tujuan
pemanfaatan tanah desa. Apalagi kebutuhan (back log) perumahan di DIY
masih cukup tinggi. Angka back log perumahan di DIY tahun 2014 mencapai
100 ribu unit (KR, 21-04-2015), dan saat ini tercatat ada kekurangan rumah
mencapai 250 ribu unit. Hal ini menunjukkan bahwa kebutuhan rumah tinggal bagi
warga DIY adalah hal yang sangat urgent. Persoalan utama penyediaan
perumahan permukiman bagi warga DIY adalah keterbatasan lahan dan tingginya
harga lahan. Oleh karena itu salah satu alternatifnya adalah memanfaatkan tanah
desa untuk pembangunan perumahan.
Berdasarkan
UU 1/2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman disebutkan bahwa beberapa
kewenangan pemerintah provinsi adalah; (a) memfasilitasi peningkatan kualitas
perumahan kumuh dan permukiman kumuh; (b) mengoordinasikan pencadangan atau
penyediaan tanah untuk pembangunan perumahan bagi MBR; dan (c) menetapkan
kebijakan dan strategi penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman. Dalam
konteks ini maka pemerintah provinsi dapat mengoordinasikan penyediaan tanah
untuk pembangunan perumahan yang dapat berasal dari tanah desa.
Adapun
jenis perumahannya adalah rumah umum, yakni rumah yang diselenggarakan untuk
memenuhi kebutuhan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah, dengan bentuk
rumah susun. Berdasarkan UU 1/2011 pembangunan
untuk rumah rumah susun, dapat dilakukan di atas tanah: (a) hak milik; (b) hak
guna bangunan, baik di atas tanah negara maupun di atas hak pengelolaan; atau (c)
hak pakai. Dalam konteks ini tanah desa status hak milik kasultanan ataupun hak
pakai di atas tanah negara sangat memungkinkan untuk dialokasikan untuk
pembangunan perumahan untuk mengurangi back log hunian. Tentu gagasan
ini perlu dielaborasi lebih lanjut dan apabila memungkinkan diakomodasi dalam
perubahan Pergub 34/2017 yang tengah berlangsung.