Kamis, 30 Januari 2025

Hak Atas Tanah

 

Hak Atas Tanah

Oleh: Dr. Sutaryono[1]

Dalam sepekan ini kita disuguhi polemik tentang adanya pemagaran wilayah perairan laut di Kabupaten Tangerang, Banten melalui berbagai media. Lebih mengagetkan lagi, Ketika kita ketahui bersama bahwa Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN menyampaikan bahwa di atas wilayah tersebut terdapat 266 sertipikat hak atas tanah yang berupa Hak Guna Bangunan (HGB) dan Hak Milik (HM) atas nama korporasi dan perorangan. Pertanyaan publik yang perlu mendapatkan jawaban adalah apa sih sebenarnya HGB?

Secara normatif berdasarkan UUPA, HGB merupakan salah satu hak atas tanah yakni hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri, dengan jangka waktu paling lama 30 tahun. Selain HGB, di dalam UUPA disebutkan hak-hak atas tanah lain yang meliputi: (a) hak milik; (b) hak guna-usaha; (c) hak guna-bangunan; (d) hak pakai; (e) hak sewa; (f) hak membuka tanah; (g) hak memungut hasil hutan; (h) hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut serta hak-hak yang sifatnya sementara. Selain hak-hak atas tanah sebagaimana diatur dalam UUPA, dikenal pula adanya Hak Pengelolaan (HPL). Berdasarkan Peraturan Pemerintah 18/2021 dinyatakan bahwa Hak Pengelolaan adalah hak menguasai dari negara yang kewenangan pelaksanaannya sebagian dilimpahkan kepada pemegang Hak Pengelolaan.

Terkait dengan HGB, berdasarkan PP 18/2021 dan Peraturan Menteri ATR/Kepala BPN 18/2021 tentang Tata Cara Penetapan Hak Pengelolaan dan Hak Atas Tanah, terdapat beberapa hal penting yang perlu dipahami bersama, yang meliputi subjek hak, kegiatan usaha, jangka waktu dan ketentuan penguasaan fisik atas tanah. Subjek hak yang dapat menguasai HGB adalah warga negara Indonesia maupun badan hukum yang didirikan menurut hukum dan berkedudukan di Indonesia.

Pemegang HGB hanya diperbolehkan untuk penggunaan kegiatan usaha non pertanian, seperti perumahan, perkantoran, industri, pergudangan, pertokoan, perhotelan, rumah susun, pembangkit listrik, pelabuhan atau penggunaan lainnya yang berwujud bangunan, beserta sarana pendukungnya.

HGB dapat diberikan untuk jangka waktu paling lama 3O (tiga puluh) tahun, apabila telah habis jangka waktunya dapat diperpanjang dengan waktu paling lama 20 (dua puluh) tahun. Apabila masa perpanjangan habis, dapat diperbarui untuk jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) tahun.

Disamping adanya persayaratan yang bersifat normatif sebagaimana diatur melalui Permen ATR/Kepala BPN 18/2021, pemohon yang mengajukan HGB dari tanah negara dipersyaratkan untuk membuat surat pernyataan penguasaan fisik bidang tanah dan bertanggung jawab secara perdata dan pidana yang menyatakan bahwa: (1) tanah tersebut adalah benar milik yang bersangkutan dan statusnya merupakan Tanah Negara; (2) tanah tersebut telah dikuasai secara fisik; (3) penguasaan tanah dilakukan dengan iktikad baik; (4) perolehan tanah dibuat sesuai data yang sebenarnya: (5) tidak terdapat keberatan dari pihak lain dan tidak dalam sengketa: (6) tidak terdapat keberatan dari pihak kreditur dalam hal tanah dijadikan/menjadi jaminan; (7). tanah tersebut bukan aset pemerintah atau aset BUMN/BUMD; (8) berada di luar kawasan hutan; (9) kesanggupan melaksanakan CSR apabila kegiatan usahanya dibidang sumberdaya alam; (10) bersedia untuk tidak menutup bidang tanah akses publik dan/atau jalan air; (11) bersedia melepaskan tanah untuk kepentingan umum; (12) bersedia mengelola, memelihara, dan mengawasi serta mempertahankan fungsi konservasi.

Bagaimana dengan hak atas tanah di atas perairan? Berdasarkan regulasi tersebut, Wilayah Perairan yang telah dimanfaatkan oleh pihak yang memenuhi syarat dapat diberikan Hak Pengelolaan dan/atau Hak Atas Tanah sesuai dengan ketentuan. Sebagai contoh adalah penguasaan atas tanah di atas perairan oleh Masyarakat Suku Bajo. Adapun hak atas tanah untuk kegiatan usaha di Wilayah Perairan diberikan setelah memperoleh persetujuan KKPRL atau konfirmasi KKPRL dari kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kelautan dan perikanan. Bagaimana dengan kasus HGB terkait dengan pagar laut di pesisir dan perairan laut Kabupaten Tangerang? Saat ini sudah ditangani oleh pihak-pihak yang mempunyai kewenangan.   



[1] Dr. Sutaryono, Dosen pada STPN Yogyakarta dan Prodi Pembangunan Wilayah Fak Geografi UGM

Hak Atas Tanah

 


Rabu, 12 Juni 2024

Rikat Membangun Yogya

 Dipublikasikan pada Kolom OPINI SKH Kedaulatan Rakyat, 7 Juni 2024


Rikat Membangun Yogya

Oleh: Sutaryono[1]

 Tepat pada tanggal 7 Juni 2024, Kota Yogyakarta (baca: Jogja) memperingati hari jadi ke-77, dengan tema Rikat, Rakit, Raket. Tema tersebut dimaksudkan agar Pemerintah Kota Jogja beserta seluruh komponen masyarakatnya bersama-sama bergerak dan bekerja dengan cepat (rikat), berproses, saling melengkapi dan menyempurnakan (rakit)  dengan penuh kebersamaan yang saling mendukung (raket). Sungguh, ini adalah tema yang sangat tepat di tengah dinamika Pembangunan dan kehidupan yang serba cepat serta adanya fragmentasi di tengah masyarakat pasca pemilu yang masih terasa.

Kota Jogja dengan beraneka ragam penghargaan dapat dikatakan sebagai kota terdepan di negeri ini. Kabar terbaru yang membahagiakan adalah Kota Jogja memperoleh skor Indeks Pembangunan Manusia (IPM) tertinggi secara nasional melampaui kota-kota di DKI Jakarta, dengan skor 88,61. IPM merupakan indikator penting yang menunjukkan keberhasilan dalam upaya membangun kualitas hidup sumberdaya manusia, yang meliputi usia harapan hidup, pendidikan dan standar hidup layak,

 Dari aspek birokrasi, Pemerintah Kota Jogja juga memperoleh 3 (tiga) penghargaan pada Anugerah Meritokrasi Komisi Aparatur Sipil Negara Tahun 2023, yakni: (1) Pencapaian Indeks Sistem Merit dengan skor mencapai 332.5, dengan kategori Sangat Baik. Skor ini menunjukkan pengelolaan ASN telah dilakukan secara serius dan konsisten dengan standar keadilan dan keberlanjutan; (2) Indeks Pengisian Jabatan Pimpinan Tinggi terbaik dengan skor 93.5. Ini menunjukkan bahwa proses pengisian jabatan pimpinan dilakukan secara efisien dan berdasarkan pada prinsip meritokrasi; (3) Kepatuhan Pelaksanaan Nilai Dasar Kode Etik dan Kode Perilaku ASN, dengan nilai 386, yang menunjukkan bahwa seluruh pegawai menjalankan tugas dengan profesionalis dan memegang teguh etika dan perilaku..

 Isu Strategis

         Sebagai bagian dari DIY, stigma “Miskin tetapi Sejahtera”, juga melekat bagi warga Kota Jogja (Analisis KR, 10-06-2017). Hal ini menunjukkan bahwa isu kemiskinan masih menjadi isu strategis Kota Jogja di samping isu strategis yang lain. Adapun isu strategis daerah yang perlu ditangani dan diselesaikan antara lain: Pertama, isu kemiskinan dan kesenjangan pendapatan. Pada saat ini tercatat angka kemiskinan mencapai 29,68 ribu jiwa atau sebesar 6,62%. Angka tersebut masih berada di bawah angka kemiskinan nasional dan DIY, tetapi harus mendapatkan perhatian dan penanganan secara serius. Angka ketimpangan pendapatan yang ditunjukkan dengan Indeks GINI menunjukkan angka 0,519, yang lebih tinggi dari ketimpangan secara nasional (0,381) ataupun di DIY (0,439).

Kedua, Isu Keterbatasan Lahan untuk Optimalisasi Layanan Sarana Prasarana Perkotaan. Luas penggunaan lahan saat ini didominasi oleh permukiman sebesar 2.123,21 hektar atau sekitar 65%, dengan luas lahan terbangun mencapai kurang 85% dari luas wilayah kota. Data ini  menunjukkan bahwa ketersediaan lahan tidak terbangun sangat terbatas. Begitu juga dengan luas RTH Publik yang hanya sebesar 8,05% (264,151 hektar), jauh dari yang dipersyaratkan sebesar 20% dari luas wilayah kota;

Ketiga, Isu penyediaan hunian yang layak dan terjangkau. Saat ini masih terdapat sejumlah 2.027 rumah tidak layak huni dan backlog atau kekurangan rumah tinggal lebih dari 80 ribu unit.  Disamping itu juga terdapat kawasan permukiman kumuh seluas 89,36 hektar. Keempat, Isu ketergantungan pangan terhadap daerah lain. Produksi sektor pertanian di Kota Jogja selalu mengalami penurunan seiring dengan semakin berkurangnya lahan pertanian; Kelima, isu kualitas tata ruang dan Pembangunan infrastruktur. Saat ini masih cukup banyak pemanfaatan ruang yang terindikasi tidak sesuai dengan tata ruang (12,58%), akses sanitasi yang belum layak pada 1.346 KK, kondisi jalan yang rusak (19,46%) atau sepanjang 45,49 km, kondisi drainase yang kurang lancar (12,38%) hingga kurangnya jangkauan layanan angkutan umum.Beberap isu strategis lain yang perlu mendapatkan penanganan adalah isu pengelolaan sampah dan penurunan kualitas lingkungan, penegakan hukum dan terancamnya budaya dan nilai-nilai keistimewaan Yogyakarta.   

  Momentum hari jadi ini perlu dijadikan refleksi bersama, meskipun telah menjadi kota terbaik, tetapi berbagai permasalahan dan isu strategis masih harus segera dituntaskan.


[1] Dr. Sutaryono, Pengajar pada Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional dan Prodi Pembangunan Wilayah Fak. Geografi UGM

Rabu, 10 Januari 2024

Reforma Agraria

Dipublikasikan pada Kolom ANALISIS SKH Kedaulatan Rakyat Rabu, 10 Januari 2024 halaman 1 

Reforma Agraria 
Oleh: Dr. Sutaryono 

Hiruk pikuk menuju Pemilihan Umum 2024 utamanya terkait pemilihan presiden dan calon wakil presiden intensitasnya semakin meningkat. Adu gagasan melalui penjabaran visi dan misinya mewarnai hampir seluruh media informasi, baik media cetak, media elektronik maupun media sosial. Hal ini menunjukkan bahwa perhatian masyarakat terhadap perhelatan demokrasi untuk memilih calon pemimpin bangsa sangat tinggi. Mencermati visi dan misi ketiga pasangan calon presiden dan wakil presiden, hingga berakhirnya debat Capres-Cawapres putaran ketiga, seakan ada agenda strategis bangsa yang belum secara eksplisit dan tegas disampaikan oleh ketiga paslon. Agenda strategis tersebut adalah Agenda Reforma Agraria atau sering disebut sebagai Pembaruan Agraria. Mengapa? Karena melalui agenda reforma agaria berbagai permasalahan bangsa dapat diselesaikan, seperti: (1) ketimpangan penguasaan dan pemilikan tanah; (2) kemiskinan; (3) keterbatasan lapangan kerja; (4) keterbatasan akses terhadap sumber-sumber agraria, terutama tanah; hingga (5) persoalan sengketa dan konflik. 

Reforma agraria adalah mencakup suatu proses yang berkesinambungan berkenaan dengan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan sumberdaya agraria, dilaksanakan dalam rangka tercapainya kepastian dan perlindungan hukum serta keadilan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia. Pada dasarnya agenda reforma agraria ini sudah diimplementasikan oleh pemerintah melalui 3 (tiga) RPJMN, sejak tahun RPJM Tahun 2009 – 2014. Secara eksplisit disebutkan pada RPJMN 2015 – 2019 yang dilanjutkan melalui RPJMN 2020 – 2024 bahwa untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dilakukan melalui penyediaan tanah objek Reforma Agraria sekurang-kurangnya 9 juta hektar yang terbagi ke dalam skema legalisasi asset (4,5 juta hektar) dan redistribusi tanah (4,5 juta hektar). 

Berdasarkan data dari Ditjend Penataan Agraria Kementerian ATR/BPN, realisasi reforma agraria melalui skema legalisasi asset (pensertipikatan tanah) hingga akhir tahun 2023 sungguh luar biasa. Dari target seluas 4,5 juta hektar berhasil dilegalisasi sebanyak 31.183.106 bidang dengan luas mencapai 9.312.787,72 hektar (206,99%). Realisasi reforma agraria melalui skema redistribusi tanah masih tertinggal dari skema legalisasi asset. Hingga akhir tahun 2023, skema ini menghasilkan redistribusi tanah sejumlah 2.985.868 bidang dengan luas 1.787.529,41 hektar atau mencapai 39,72%%. Realisasi tersebut berasal dari sertifikasi tanah-tanah eks HGU, tanah terlantar dan tanah negara lainnya, seluas 1.409.437,24 hektar atau 352,36% dari target. Sedangkan yang berasal dari pelepasan Kawasan hutan baru terealisasi seluas 378.092,17 hektar atau 9,22% dari target yang dicanangkan. 

Hal di atas menunjukkan bahwa agenda reforma agraria baik melalui skema legalisasi asset maupun redistribusi tanah masih perlu dijadikan agenda strategis untuk pemerintahan yang akan datang. Oleh karena itu perlu dicermati visi dan misi ketiga paslon presiden dan wakil presiden. Ternyata frasa reforma agraria sama sekali tidak ada pada visi dan misi ketiga paslon presiden dan wakil presiden. Namun demikian, kita masih bisa berharap bahwa agenda reforma agraria tetap menjadi agenda strategis bangsa pada pemerintahan ke depan. Mengapa? Karena pada misi ketiga paslon terdapat frasa kunci yang sangat terkait dengan agenda reforma agraria. Paslon 1 yang mengusung visi Adil Makmur untuk Semua dengan 8 misinya terdapat 2 (dua) frasa kunci terkait reforma agraria, yakni: (1) kemandirian pangan (misi 1); dan (2) mengentaskan kemiskinan dan menciptakan lapangan kerja (misi 2). Paslon 2 dengan visi Bersama Indonesia Maju Menuju Indonesia Emas 2045 dengan 8 misinya, terdapat 1 (satu) frasa kunci, yakni membangun dari desa untuk pertumbuhan ekonomi, pemerataan ekonomi dan pemberantasan kemiskinan sebagaima tertuang pada misi ke-6. Untuk paslon 3 yang mengusung visi Gerak Cepat Menuju Indonesia Unggul dengan 8 misinya, terdapat 1 (satu) frasa terkait agenda reforma agraria, yakni pada misi ke-4, hilangnya kemiskinan dan ketimpangan antar wilayah. Akhir kata, marilah kita kawal bersama, siapapun paslon yang terpilih tetap menempatkan agenda reforma agraria sebagai agenda strategis bangsa yang harus dilaksanakan.