Dipublikasikan pada Kolom OPINI SKH Kedaulatan Rakyat, 7 Juni 2024
Rikat Membangun Yogya
Oleh: Sutaryono[1]
Kota Jogja
dengan beraneka ragam penghargaan dapat dikatakan sebagai kota terdepan di
negeri ini. Kabar terbaru yang membahagiakan adalah Kota Jogja memperoleh skor
Indeks Pembangunan Manusia (IPM) tertinggi secara nasional melampaui kota-kota
di DKI Jakarta, dengan skor 88,61. IPM merupakan indikator penting yang
menunjukkan keberhasilan dalam upaya membangun kualitas hidup sumberdaya
manusia, yang meliputi usia harapan hidup, pendidikan dan standar hidup layak,
Dari aspek birokrasi, Pemerintah Kota Jogja
juga memperoleh 3 (tiga) penghargaan pada Anugerah Meritokrasi Komisi Aparatur Sipil Negara Tahun 2023,
yakni: (1) Pencapaian Indeks
Sistem Merit dengan skor mencapai 332.5, dengan kategori Sangat Baik. Skor ini
menunjukkan pengelolaan ASN telah dilakukan secara serius dan konsisten dengan
standar keadilan dan keberlanjutan; (2) Indeks Pengisian Jabatan Pimpinan
Tinggi terbaik dengan skor 93.5. Ini menunjukkan bahwa proses pengisian jabatan
pimpinan dilakukan secara efisien dan berdasarkan pada prinsip meritokrasi; (3)
Kepatuhan Pelaksanaan Nilai Dasar Kode Etik dan Kode Perilaku ASN, dengan nilai
386, yang menunjukkan bahwa seluruh pegawai menjalankan tugas dengan
profesionalis dan memegang teguh etika dan perilaku..
Sebagai bagian dari DIY, stigma “Miskin tetapi Sejahtera”, juga melekat bagi warga Kota Jogja (Analisis KR, 10-06-2017). Hal ini menunjukkan bahwa isu kemiskinan masih menjadi isu strategis Kota Jogja di samping isu strategis yang lain. Adapun isu strategis daerah yang perlu ditangani dan diselesaikan antara lain: Pertama, isu kemiskinan dan kesenjangan pendapatan. Pada saat ini tercatat angka kemiskinan mencapai 29,68 ribu jiwa atau sebesar 6,62%. Angka tersebut masih berada di bawah angka kemiskinan nasional dan DIY, tetapi harus mendapatkan perhatian dan penanganan secara serius. Angka ketimpangan pendapatan yang ditunjukkan dengan Indeks GINI menunjukkan angka 0,519, yang lebih tinggi dari ketimpangan secara nasional (0,381) ataupun di DIY (0,439).
Kedua,
Isu Keterbatasan Lahan
untuk Optimalisasi Layanan Sarana Prasarana Perkotaan. Luas penggunaan lahan saat
ini didominasi oleh permukiman sebesar 2.123,21 hektar atau sekitar 65%, dengan
luas lahan terbangun mencapai kurang 85% dari luas wilayah kota. Data ini menunjukkan bahwa ketersediaan lahan tidak
terbangun sangat terbatas. Begitu juga dengan luas RTH Publik yang hanya
sebesar 8,05% (264,151 hektar), jauh dari yang dipersyaratkan sebesar 20% dari
luas wilayah kota;
Ketiga, Isu penyediaan hunian
yang layak dan terjangkau. Saat ini masih terdapat sejumlah 2.027 rumah tidak
layak huni dan backlog atau kekurangan rumah tinggal lebih dari 80 ribu
unit. Disamping itu juga terdapat kawasan
permukiman kumuh seluas 89,36 hektar. Keempat, Isu ketergantungan pangan
terhadap daerah lain. Produksi sektor pertanian di Kota Jogja selalu mengalami
penurunan seiring dengan semakin berkurangnya lahan pertanian; Kelima, isu
kualitas tata ruang dan Pembangunan infrastruktur. Saat ini masih cukup banyak
pemanfaatan ruang yang terindikasi tidak sesuai dengan tata ruang (12,58%),
akses sanitasi yang belum layak pada 1.346 KK, kondisi jalan yang rusak
(19,46%) atau sepanjang 45,49 km, kondisi drainase yang kurang lancar (12,38%)
hingga kurangnya jangkauan layanan angkutan umum.Beberap isu strategis lain
yang perlu mendapatkan penanganan adalah isu pengelolaan sampah dan penurunan
kualitas lingkungan, penegakan hukum dan terancamnya budaya dan nilai-nilai
keistimewaan Yogyakarta.
[1] Dr. Sutaryono, Pengajar pada Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional dan
Prodi Pembangunan Wilayah Fak. Geografi UGM
Tidak ada komentar:
Posting Komentar