Senin, 13 Januari 2014
Kamis, 09 Januari 2014
Diskusi Klas Perpetaan: Pemberdayaan
DISKUSI KELEMBAGAAN
PENGENDALIAN PERTANAHAN DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT
Pengalaman penulis ketika mendiskusikan terminologi pengendalian pertanahan
dan pemberdayaan masyarakat dengan Direktur Pengendalian Pertanahan (Alm.
Riptono Sri Mahodo, pada saat penyusunan silabus dan satuan acara perkuliahan
untuk mata kuliah Pengendalian Pertanahan dan Pemberdayaan masyarakat),
tampaknya ada sesuatu yang perlu didiskusikan ulang. Terminologi pengendalian
pertanahan dan pemberdayaan masyarakat seolah-olah dimaknai sebagai satu
kesatuan yang tidak terpisahkan. Pemaknaan ini didasarkan pada logika sederhana
yang menyatakan bahwa pihak-pihak yang mempunyai akses berlebih terhadap tanah
perlu dikendalikan dan pihak-pihak yang miskin atau tidak punya akses terhadap
tanah perlu diberdayakan. Pemaknaan ini terlihat sebagai upaya mensimplifikasi makna
sebenarnya.
Belum solidnya kelembagaan di daerah mengindikasikan bahwa tugas pokok dan
fungsi bidang pengendalian pertanahan dan pemberdayaan masyarakat ini belum optimal. Bahkan agenda kerja yang
disusun banyak bersinggungan atau malah overlaping
dengan bidang lain. Hal ini juga didorong oleh adanya program yang diagendakan
kelembagaan di pusat belum membumi dan cenderung masih sebatas wacana. Kalau
toh sudah berupa program kerja, implementasinya masih banyak dipertanyakan,
terutama terkait tupoksi, personel dan pendanaan.
Memprihatinkan juga ketika penulis mendengar berbagai statemen tentang
bidang, seksi ataupun subseksi pemberdayaan masyarakat di berbagai kantor
pertanahan maupun kantor wilayah BPN sebagai bidang, seksi atau subseksi yang
“kering”, tidak memberikan kontribusi pada pelayanan pertanahan, sumberdaya
manusianya adalah orang buangan, program kerjanya tidak jelas dan sudah ada di
seksi lain, struktur yang mengada-ada, bukan tugas pokok dan fungsi (tupoksi)
BPN, dan beberapa statemen minor lainnya. Bahkan pada level direktorat,
pemberdayaan masyarakat dimaknai ’hanya’ sebatas pada sertifikasi bidang tanah
pada sektor Usaha Menengah, Kecil dan Mikro (UMKM) yang bekerjasama dengan
pihak perbankan ataupun koperasi.
Hal-hal tersebut penulis tangkap pada saat berkesempatan mengunjungi
beberapa daerah di Jawa, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara,
Sulawesi Barat, Nusa Tenggara Timur dan Nusa Tenggara Barat maupun pada saat
terlibat penelitian dan Focus Group
Discussion (FGD) di Pusat Penelitian dan Pengembangan (Puslitbang) BPN.
Kelembagaan Pemberdayaan Masyarakat (direktorat, bidang, seksi dan sub
seksi) di lingkungan BPN mestinya bisa menjadi entry point bagi eksistensi BPN untuk menjalankan tugas pertanahan
yang bersifat nasional, regional maupun sektoral. Tidak jamannya lagi BPN
sebagai lembaga vertikal mengambil jarak dengan pemerintah daerah (provinsi dan
kabupaten/kota). Persoalan otonomi pertanahan mestinya sudah selesai dengan
Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional Di Bidang
Pertanahan maupun Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian
Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, Dan
Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota. Pada saat ini BPN dengan Perpres
10/2006-nya harus mulai membuka diri, melakukan kolaborasi dengan berbagai stake holder dan institusi yang
berkompeten terhadap sumberdaya tanah. Peran kehumasan dan negosiasi dengan
pihak eksternal inilah yang harus dimainkan oleh lembaga Pemberdayaan
Masyarakat di BPN. Artinya, lembaga Pemberdayaan Masyarakat di berbagai
tingkatan di BPN harus menjadi leading
sector-nya pembangunan pertanahan.
Sebagai contoh, percepatan pendaftaran tanah tidak akan berjalan dengan
baik tanpa pelibatan pemerintah daerah dan masyarakat. Dalam contoh ini sub
seksi Pemberdayaan Masyarakat di kantor kertanahan harus mampu menjembatani
kantor pertanahan dengan pemda maupun dengan masyarakat, sehingga resources yang ada di pemerintah daerah
dan masyarakat dapat digunakan untuk mengurangi dan menyelesaikan permasalahan
yang timbul yang berada di luar kewenangan kantor pertanahan. Contoh lain
adalah Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN). Dalam program ini sudah
sepantasnyalah lembaga Pemberdayaan Masyarakat dalam segala tingkatan berperan
dalam mengagregasi dan mengartikulasikan keseluruhan stake holder yang terlibat dalam program tersebut.
Fokus diskusi kita adalah, bagaimana mendudukkan kelembagaan pengendalian
pertanahan dan pemberdayaan masyarakat dalam bingkai Kelembagaan BPNRI, yang
berorientasi pada kesejahteraan masyarakat ?
Diskusi Klas Manajemen: Pemberdayaan
DISKUSI KELEMBAGAAN
PENGENDALIAN PERTANAHAN DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT
Pengalaman penulis ketika mendiskusikan terminologi pengendalian pertanahan
dan pemberdayaan masyarakat dengan Direktur Pengendalian Pertanahan (Alm.
Riptono Sri Mahodo, pada saat penyusunan silabus dan satuan acara perkuliahan
untuk mata kuliah Pengendalian Pertanahan dan Pemberdayaan masyarakat),
tampaknya ada sesuatu yang perlu didiskusikan ulang. Terminologi pengendalian
pertanahan dan pemberdayaan masyarakat seolah-olah dimaknai sebagai satu
kesatuan yang tidak terpisahkan. Pemaknaan ini didasarkan pada logika sederhana
yang menyatakan bahwa pihak-pihak yang mempunyai akses berlebih terhadap tanah
perlu dikendalikan dan pihak-pihak yang miskin atau tidak punya akses terhadap
tanah perlu diberdayakan. Pemaknaan ini terlihat sebagai upaya mensimplifikasi makna
sebenarnya.
Belum solidnya kelembagaan di daerah mengindikasikan bahwa tugas pokok dan
fungsi bidang pengendalian pertanahan dan pemberdayaan masyarakat ini belum optimal. Bahkan agenda kerja yang
disusun banyak bersinggungan atau malah overlaping
dengan bidang lain. Hal ini juga didorong oleh adanya program yang diagendakan
kelembagaan di pusat belum membumi dan cenderung masih sebatas wacana. Kalau
toh sudah berupa program kerja, implementasinya masih banyak dipertanyakan,
terutama terkait tupoksi, personel dan pendanaan.
Memprihatinkan juga ketika penulis mendengar berbagai statemen tentang
bidang, seksi ataupun subseksi pemberdayaan masyarakat di berbagai kantor
pertanahan maupun kantor wilayah BPN sebagai bidang, seksi atau subseksi yang
“kering”, tidak memberikan kontribusi pada pelayanan pertanahan, sumberdaya
manusianya adalah orang buangan, program kerjanya tidak jelas dan sudah ada di
seksi lain, struktur yang mengada-ada, bukan tugas pokok dan fungsi (tupoksi)
BPN, dan beberapa statemen minor lainnya. Bahkan pada level direktorat,
pemberdayaan masyarakat dimaknai ’hanya’ sebatas pada sertifikasi bidang tanah
pada sektor Usaha Menengah, Kecil dan Mikro (UMKM) yang bekerjasama dengan
pihak perbankan ataupun koperasi.
Hal-hal tersebut penulis tangkap pada saat berkesempatan mengunjungi
beberapa daerah di Jawa, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara,
Sulawesi Barat, Nusa Tenggara Timur dan Nusa Tenggara Barat maupun pada saat
terlibat penelitian dan Focus Group
Discussion (FGD) di Pusat Penelitian dan Pengembangan (Puslitbang) BPN.
Kelembagaan Pemberdayaan Masyarakat (direktorat, bidang, seksi dan sub
seksi) di lingkungan BPN mestinya bisa menjadi entry point bagi eksistensi BPN untuk menjalankan tugas pertanahan
yang bersifat nasional, regional maupun sektoral. Tidak jamannya lagi BPN
sebagai lembaga vertikal mengambil jarak dengan pemerintah daerah (provinsi dan
kabupaten/kota). Persoalan otonomi pertanahan mestinya sudah selesai dengan
Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional Di Bidang
Pertanahan maupun Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian
Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, Dan
Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota. Pada saat ini BPN dengan Perpres
10/2006-nya harus mulai membuka diri, melakukan kolaborasi dengan berbagai stake holder dan institusi yang
berkompeten terhadap sumberdaya tanah. Peran kehumasan dan negosiasi dengan
pihak eksternal inilah yang harus dimainkan oleh lembaga Pemberdayaan
Masyarakat di BPN. Artinya, lembaga Pemberdayaan Masyarakat di berbagai
tingkatan di BPN harus menjadi leading
sector-nya pembangunan pertanahan.
Sebagai contoh, percepatan pendaftaran tanah tidak akan berjalan dengan
baik tanpa pelibatan pemerintah daerah dan masyarakat. Dalam contoh ini sub
seksi Pemberdayaan Masyarakat di kantor kertanahan harus mampu menjembatani
kantor pertanahan dengan pemda maupun dengan masyarakat, sehingga resources yang ada di pemerintah daerah
dan masyarakat dapat digunakan untuk mengurangi dan menyelesaikan permasalahan
yang timbul yang berada di luar kewenangan kantor pertanahan. Contoh lain
adalah Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN). Dalam program ini sudah
sepantasnyalah lembaga Pemberdayaan Masyarakat dalam segala tingkatan berperan
dalam mengagregasi dan mengartikulasikan keseluruhan stake holder yang terlibat dalam program tersebut.
Fokus diskusi kita adalah, bagaimana mendudukkan kelembagaan pengendalian
pertanahan dan pemberdayaan masyarakat dalam bingkai Kelembagaan BPNRI, yang
berorientasi pada kesejahteraan masyarakat ?
Senin, 06 Januari 2014
Jogja 'BERHENTI' Nyaman
JOGJA ‘BERHENTI’ NYAMAN[1]
Oleh:
Sutaryono[2]
Penghujung
tahun 2013 hingga awal 2014, bertepatan dengan liburan sekolah, natal dan tahun
baru sungguh merupakan berkah bagi pelaku pariwisata dan institusi
kepariwisataan di Yogyakarta. Betapa tidak, Yogyakarta yang Istimewa, bak
magnet yang menarik dengan kuatnya para wisatawan, baik wisatawan manca negara
maupun domestik. Terlebih dengan julukan sebagai Kota Ternyaman di Indonesia (The
Most Liveable
City) dan sebagai Kota Pusaka, Yogyakarta semakin kukuh
sebagai Kota Istimewa yang menjadi tujuan utama wisata di Indonesia. Tepat
kiranya slogan Yogyakarta Berhati Nyaman (bersih, sehat, asri dan nyaman)
dijadikan trade mark (merek dagang)
untuk ‘menjual’ Yogyakarta. Namun demikian, persoalan yang muncul dari berkah
pariwisata tersebut adalah hal yang sangat paradoks. Jogja ‘Berhenti’ Nyaman adalah
sebuah Kerisauan seorang kawan yang menginspirasi tulisan ini. Mengapa?
Kemacetan yang luar biasa pada
beberapa pekan ini, penggenangan di sana-sini saat hujan, sampah visual yang
semakin tidak karuan, tindak kriminal yang membuat was-was warga dan
ketidakjelasan penataan ruang kota ke depan merupakan fakta yang
mengindikasikan terganggunya kenyamanan Kota Yogyakarta bagi warganya. Apabila
kondisi demikian tidak segera mendapatkan perhatian sekaligus aksi untuk
menyelesaikannya maka Jogja ‘berhenti’ nyaman adalah sebuah keniscayaan.
Satu dekade yang lalu dalam konteks
penataan ruang kota, Pemda DIY telah memunculkan gagasan tentang Greater Yogyakarta, dimana kawasan
tumbuh cepat di DIY yang melibatkan Sleman, Bantul dan Kota Yogyakarta dipandang sebagai satu kawasan perkotaan. Strategi
pengembangannya dilakukan melalui pembangunan: (1) New international airport
dan Fish Port di Kulon Progo; (2) Jogja – Bawen dan Jogja – Solo Toll Road; (3)
Jogja outer Ring Road; (4) Bus Rapid Transit di Jombor; (5) Multimoda Terminal
di Kota Yogyakarta; (6) Southern Highway di Pantai Selatan (Pansela) ; dan (7)
Tunnel Toll antara Parangtritis dan Baron. Dari tujuh agenda besar tersebut,
pembangunan yang sudah terealisasi (meskipun fungsinya belum optimal) adalah terminal
bus di Jombor dan jalur lintas selatan di Pansela. Bandara internasional dan
fish port di Kulon Progo sudah mulai berproses, dan yang lainnya tampaknya
belum ada tindaklanjutnya. Kondisi ini menunjukkan bahwa perhatian terhadap
masa depan Greater Yogyakarta seakan
terlupakan. Bahkan beberapa gagasan dan permasalahan pada Kawasan Perkotaan
Yogyakarta dewasa ini belum juga mendapatkan alternatif solusinya. Misal,
pembangunan area parkir di eks Bioskop Indra masih belum dapat diwujudkan,
gagasan revitalisasi Stasiun Tugu dan pembangunan parkir di bawah alun-alun
terhenti di tengah jalan serta masih adanya tumpang-tindihnya penataan ruang
kota antara Pemerintah Kota dan Pemda DIY.
Ternyata untuk mengukuhkan Yogyakarta
Berhati Nyaman sebagai salah satu ikon keistimewaan tidak cukup dengan
terbitnya UU 13/2012 tentang
Keistimewaan DIY dan diterapkannya prinsip dan filosofi hamemayu hayuning bawana, sangkan paraning dumadi, manunggaling kawula lan Gusti, serta tahta untuk rakyat. Tetapi
lebih dari itu, untuk mewujudkan kesejahteraan dan keberlanjutan seluruh
masyarakat Ngayogyakarta Hadiningrat-
yang salah satunya adalah terwujudnya Yogyakarta Berhati Nyaman secara
berkelanjutan- dibutuhkan strategi penataan ruang yang secara makro mampu
mengakomodasi kebutuhan ruang pada kawasan Greater
Yogyakarta dan secara mikro mampu membentuk tata kota dan tata bangunan
yang mendukung terwujudnya kota pusaka, mendisain rekayasa transport yang mampu
mengurai kemacetan, mengendalikan menjamurnya sampah visual di seluruh
sudut-sudut kota, mengefektifkan saluran drainase dan ruang terbuka hijau untuk
antisipasi genangan dan banjir serta mampu menumbuhkan partisipasi masyarakat
dalam penanggulangan ancaman kriminalitas.
Hal-hal di atas hanya
dapat terwujud apabila semua pemangku kepentingan terhadap masa depan
Yogyakarta sebagai daerah istimewa, duduk bersama untuk menentukan kebijakan
strategis dan menyelenggarakannya secara
bersama-sama, tanpa saling menafikan satu dengan yang lainnya. Strategi
penataan ruang dan pembangunan wilayah yang dulu pernah ada perlu dicermati
kembali agar ada ketersambungan kebijakan. Hal ini harus segera dilakukan agar
agenda keistimewaan Yogyakarta dapat berproses secara produktif tanpa adanya
kekhawatiran munculnya istilah Jogja ‘Berhenti’ Nyaman.
Langganan:
Postingan (Atom)