JOGJA ‘BERHENTI’ NYAMAN[1]
Oleh:
Sutaryono[2]
Penghujung
tahun 2013 hingga awal 2014, bertepatan dengan liburan sekolah, natal dan tahun
baru sungguh merupakan berkah bagi pelaku pariwisata dan institusi
kepariwisataan di Yogyakarta. Betapa tidak, Yogyakarta yang Istimewa, bak
magnet yang menarik dengan kuatnya para wisatawan, baik wisatawan manca negara
maupun domestik. Terlebih dengan julukan sebagai Kota Ternyaman di Indonesia (The
Most Liveable
City) dan sebagai Kota Pusaka, Yogyakarta semakin kukuh
sebagai Kota Istimewa yang menjadi tujuan utama wisata di Indonesia. Tepat
kiranya slogan Yogyakarta Berhati Nyaman (bersih, sehat, asri dan nyaman)
dijadikan trade mark (merek dagang)
untuk ‘menjual’ Yogyakarta. Namun demikian, persoalan yang muncul dari berkah
pariwisata tersebut adalah hal yang sangat paradoks. Jogja ‘Berhenti’ Nyaman adalah
sebuah Kerisauan seorang kawan yang menginspirasi tulisan ini. Mengapa?
Kemacetan yang luar biasa pada
beberapa pekan ini, penggenangan di sana-sini saat hujan, sampah visual yang
semakin tidak karuan, tindak kriminal yang membuat was-was warga dan
ketidakjelasan penataan ruang kota ke depan merupakan fakta yang
mengindikasikan terganggunya kenyamanan Kota Yogyakarta bagi warganya. Apabila
kondisi demikian tidak segera mendapatkan perhatian sekaligus aksi untuk
menyelesaikannya maka Jogja ‘berhenti’ nyaman adalah sebuah keniscayaan.
Satu dekade yang lalu dalam konteks
penataan ruang kota, Pemda DIY telah memunculkan gagasan tentang Greater Yogyakarta, dimana kawasan
tumbuh cepat di DIY yang melibatkan Sleman, Bantul dan Kota Yogyakarta dipandang sebagai satu kawasan perkotaan. Strategi
pengembangannya dilakukan melalui pembangunan: (1) New international airport
dan Fish Port di Kulon Progo; (2) Jogja – Bawen dan Jogja – Solo Toll Road; (3)
Jogja outer Ring Road; (4) Bus Rapid Transit di Jombor; (5) Multimoda Terminal
di Kota Yogyakarta; (6) Southern Highway di Pantai Selatan (Pansela) ; dan (7)
Tunnel Toll antara Parangtritis dan Baron. Dari tujuh agenda besar tersebut,
pembangunan yang sudah terealisasi (meskipun fungsinya belum optimal) adalah terminal
bus di Jombor dan jalur lintas selatan di Pansela. Bandara internasional dan
fish port di Kulon Progo sudah mulai berproses, dan yang lainnya tampaknya
belum ada tindaklanjutnya. Kondisi ini menunjukkan bahwa perhatian terhadap
masa depan Greater Yogyakarta seakan
terlupakan. Bahkan beberapa gagasan dan permasalahan pada Kawasan Perkotaan
Yogyakarta dewasa ini belum juga mendapatkan alternatif solusinya. Misal,
pembangunan area parkir di eks Bioskop Indra masih belum dapat diwujudkan,
gagasan revitalisasi Stasiun Tugu dan pembangunan parkir di bawah alun-alun
terhenti di tengah jalan serta masih adanya tumpang-tindihnya penataan ruang
kota antara Pemerintah Kota dan Pemda DIY.
Ternyata untuk mengukuhkan Yogyakarta
Berhati Nyaman sebagai salah satu ikon keistimewaan tidak cukup dengan
terbitnya UU 13/2012 tentang
Keistimewaan DIY dan diterapkannya prinsip dan filosofi hamemayu hayuning bawana, sangkan paraning dumadi, manunggaling kawula lan Gusti, serta tahta untuk rakyat. Tetapi
lebih dari itu, untuk mewujudkan kesejahteraan dan keberlanjutan seluruh
masyarakat Ngayogyakarta Hadiningrat-
yang salah satunya adalah terwujudnya Yogyakarta Berhati Nyaman secara
berkelanjutan- dibutuhkan strategi penataan ruang yang secara makro mampu
mengakomodasi kebutuhan ruang pada kawasan Greater
Yogyakarta dan secara mikro mampu membentuk tata kota dan tata bangunan
yang mendukung terwujudnya kota pusaka, mendisain rekayasa transport yang mampu
mengurai kemacetan, mengendalikan menjamurnya sampah visual di seluruh
sudut-sudut kota, mengefektifkan saluran drainase dan ruang terbuka hijau untuk
antisipasi genangan dan banjir serta mampu menumbuhkan partisipasi masyarakat
dalam penanggulangan ancaman kriminalitas.
Hal-hal di atas hanya
dapat terwujud apabila semua pemangku kepentingan terhadap masa depan
Yogyakarta sebagai daerah istimewa, duduk bersama untuk menentukan kebijakan
strategis dan menyelenggarakannya secara
bersama-sama, tanpa saling menafikan satu dengan yang lainnya. Strategi
penataan ruang dan pembangunan wilayah yang dulu pernah ada perlu dicermati
kembali agar ada ketersambungan kebijakan. Hal ini harus segera dilakukan agar
agenda keistimewaan Yogyakarta dapat berproses secara produktif tanpa adanya
kekhawatiran munculnya istilah Jogja ‘Berhenti’ Nyaman.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar