ECOTOURISM
LERENG MERAPI PASCA KONSOLIDASI[1]
Oleh:
Sutaryono[2]
Konsolidasi Tanah di wilayah Cangkringan pasca
erupsi Merapi akan dijadikan model penataan pertanahan dan pengembangan wilayah
pasca bencana. Pensertifikatan tanah sebanyak 1.687 bidang sebagai produk akhir
konsolidasi tanah di lereng Merapi, di samping untuk menata penguasaan,
pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah juga diorientasikan untuk
meningkatkan konservasi (KR, 7-3-2015).
Kondolidasi Tanah merupakan
kebijakan mengenai penataan kembali penguasaan dan penggunaan tanah sesuai RTRW
serta usaha pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan guna peningkatan
kualitas lingkungan hidup dengan partisipasi masyarakat. Hal ini menunjukkan
bahwa konsolidasi tanah memiliki tiga agenda sekaligus, yakni: (a) penataan
kembali penguasaan dan penggunaan tanah; (b) pengadaan tanah untuk kepentingan
pembangunan; serta (c) dilakukan dengan melibatkan masyarakat secara
partisipatif. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah bagaimana setelah
konsolidasi dan pensertifikatan tanah dilakukan, mengingat lokasi konsolidasi
tanah berada pada kawasan rawan bencana yang tidak diperbolehkan untuk hunian?
Sebagai kawasan yang sejak awal
merupakan kawasan wisata yang berdampingan dengan Taman Nasional Gunung Merapi,
berada pada Kawasan Rawan Bencana dan merupakan recharge area bagi Yogyakarta maka kelestarian dan keberlanjutan
wilayah ini adalah sebuah keharusan. Keharusan yang demikian, perlu
disandingkan dengan fungsi kawasan tersebut sebagai sumber penghidupan
masyarakat. Disisi lain, berdasarkan Peraturan Bupati Sleman No.20/2011 tentang
Kawasan Rawan Bencana Gunung Api Merapi, wilayah tersebut hanya boleh digunakan
untuk: (a) pengembangan kegiatan penanggulangan bencana, pemanfaatan sumberdaya
air, hutan, pertanian lahan kering, konservasi, ilmu pengetahuan, penelitian,
dan wisata alam; (b) tidak untuk hunian; dan (c) land coverage ratio paling banyak sebesar 5%.
Berdasarkan realitas di atas, hal
yang paling logis sekaligus prospektif adalah menjadikan lereng Merapi pasca
konsolidasi tanah menjadi kawasan ecotourism.
Ecotourism atau sering disebut
ekowisata ini merupakan pariwisata bertanggungjawab yang dilakukan pada
tempat-tempat alami, memberi kontribusi terhadap kelestarian alam dan
peningkatan kesejahteraan masyarakat (Unesco, 2009). Perwujudan dan
pengembangan ecotourism di lereng
Merapi ini memberi kesempatan pada masyarakat untuk meningkatkan kemampuannya
dalam memanfaatkan potensi alam, ekonomi, sosial, dan budaya yang ada. Ecotourism ini juga memberi kesempatan
pada masyarakat untuk belajar dari kondisi lingkungannya, sehingga pemikiran,
sikap, tindakan, dan perilakunya menjadi lebih ramah terhadap lingkungannya.
Berdasar bentuknya pasar wisata
terdiri dari wisata budaya, wisata rural
(perdesaan), wisata alam, dan wisata kesehatan (Stradas, 2001). Dalam konteks
ini ekowisata di lereng Merapi pasca konsolidasi tanah sangat berpeluang untuk
terwujudnya wisata alam, wisata perdesaan sekaligus wisata budaya. Berkenaan
dengan wisata alam, tidak ada lagi yang menyangsikan eksotisme dan keunikan
Merapi. Keunikan inilah yang menjadikan Merapi
mempunyai pesona yang luar biasa, baik bagi para peneliti kegunungapian maupun
para pelancong yang ingin menikmati keindahan Merapi dan kesejukan yang
melingkupinya. Nuansa wisata perdesaan saat ini secara nyata telah
dikombinasikan dengan lava tour oleh
pelaku pariwisata. Sedangkan wisata budaya termanifestasikan melalui
‘petilasan’ Mbah Maridjan, tradisi labuhan, dan berkembangnya seni tradisi
lereng Merapi.
Apabila ecotourism di lereng Merapi pasca konsolidasi tanah dapat
direalisasikan maka strategi penghidupan baru telah muncul pada kawasan rawan
bencana. Dalam konteks ini penghidupan (livelihood)
dimaknai sebagai kemampuan, aset, dan kegiatan yang diperlukan untuk menjalani
kehidupan. Tidak sekedar pendapatan dan kesempatan kerja, tetapi meliputi
hubungan yang kompleks antara kemampuan, aset, kegiatan ekonomi dan dinamika
masyarakat terkait dengan sumberdaya yang dimiliki dan kondisi lingkungannya
(Baiquni, 2007). Sebagai sebuah strategi penghidupan, ecotourisme sangat memungkinkan dikembangkan pada wilayah yang
mempunyai keunikan, pesona alam dan kondisi sosial budaya yang khas, baik pada
kawasan budidaya, kawasan lindung maupun pada kawasan rawan bencana.
Setelah penataan pertanahan
selesai dengan konsolidasi tanah, kini saatnya warga masyarakat lereng Merapi
beserta seluruh stake holders yang
terlibat untuk bahu membahu mewujudkan strategi penghidupan baru yang berupa ecotourism. Terwujudnya ecotourism pada kawasan pasca bencana
Merapi, sungguh merupakan keistimewaan Jogja yang memang istimewa. Semoga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar