Pemenuhan
Kebutuhan Pangan dan Papan[1]
Oleh:
Sutaryono*
Presiden
Jokowi pada beberapa kesempatan menyampaikan optimisme bahwa swasembada pangan
nasional dapat diwujudkan dalam waktu 3 – 4 tahun. Pemenuhan kebutuhan dasar
yang lain, yakni papan (perumahan), dilakukan melalui program pembangunan 1
juta rumah setiap tahun. Apabila terealisasi, pada tahun 2019 akan terpenuhi 5
juta rumah, yang berarti mengurangi jumlah backlog (kekurangan tempat tinggal) dari 7,6 juta
menjadi 2,6 juta rumah tinggal (RPJMN 2015-2019). Kedua upaya pemenuhan
kebutuhan dasar tersebut membutuhkan tanah untuk merealisasikannya, dan ada
kecenderungan saling berlawanan, mengingat pemenuhan kebutuhan papan seringkali
mengurangi ketersediaan tanah untuk pangan. Pertanyaan yang muncul kemudian
adalah, bagaimana strategi mewujudkan swasembada pangan dan pemenuhan kebutuhan
papan secara bersama-sama, ketika alih fungsi tanah pertanian berjalan secara
masif dan ketersediaan tanah semakin terbatas?
Langkah yang akan dilakukan oleh
pemerintah untuk mencapai swasembada pangan adalah mempercepat penyediaan
infrastruktur pendukung pertanian, seperti: (a) terbangunnya
dan meningkatnya layanan jaringan irigasi 1 juta hektar; (b) terlaksananya rehabilitasi 3 juta ha jaringan irigasi untuk
mengembalikan layanan irigasi; (c)
beroperasinya dan terpeliharanya jaringan irigasi 7,3 juta Ha; (d) terbangunnya 115 ribu hektar jaringan tata air tambak untuk
mendukung pengembangan ekonomi maritim dan kelautan; (e) terbangunnya 49 waduk baru.
Agenda penyediaan infrastruktur pertanian di atas, di
lapangan akan berhadapan dengan relaitas yang menunjukkan bahwa petani sebagai
produsen pangan tidak memiliki tanah yang cukup untuk dikelola. Data BPS tahun
2013 menunjukkan bahwa Indonesia memiliki lebih dari 28 juta rumah tangga
petani (RTP) dengan rata-rata pemilikan tanah 0,36 hektar (petani gurem).
Terdapat 6,1 juta RTP di Jawa dan 5 juta di luar Jawa yang tidak memiliki tanah
pertanian (tuna kisma). Total saat ini terdapat 32 juta jiwa petani Indonesia
adalah buruh tani. Kondisi ini menunjukkan bahwa penguasaan dan pemilikan tanah
di Indonesia pada kondisi yang sudah mengkhawatirkan. Indeks GINI yang
menunjukkan ketimpangan penguasaan tanah di Indonesia, dari tahun ke tahun
selalu mengalami peningkatan. Indeks GINI pada tahun 1999 mencapai angka 0,308
dan meningkat menjadi 0,35 pada tahun 2008, kemudian meningkat lagi menjadi
0,413 pada tahun 2013. Di samping itu, laju penyusutan tanah pertanian akibat
alih fungsi mencapai angka 1,935 juta ha selama 15 tahun, atau rata-rata
129.000 ha/tahun (lebih 353 ha/hari tanah pertanian hilang). Setiap hari
sebanyak 1.408 rumah tangga terpaksa kehilangan dan meninggalkan tanah dan
sawahnya (BPS, 2013)
Berkenaan dengan
pemenuhan kebutuhan papan, pemerintah telah mencanangkan Program 1 juta rumah melalui pengembangan kampung
deret dan rumah susun bersubsidi. Operasionalisasinya pemerintah menyediakan
anggaran pembangunan dan pemerintah daerah menyediakan tanah dan sarana
pendukungnya termasuk perijinan.
Sulit dipahami bahwa swasembada pangan dan
pemenuhan kebutuhan papan secara nasional akan tercapai dengan keterbatasan tanah.
Meskipun UU 19/2013
tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani telah memberikan jaminan
kesejahteraan kepada petani untuk tetap berproduksi dan memberikan 2 hektar tanah
untuk petani guram, tetapi ternyata strategi, instrumen dan lembaga yang mengimplementasikan
belum tersedia secara memadai. Demikian pula dengan harapan mengatasi backlog rumah sejumlah 7,6 juta secara
nasional, pasti terkendala penyediaan tanah yang menjadi tanggungjawab
pemerintah daerah.
Untuk menyelesaikan persoalan keterbatasan tanah
pertanian dan papan perumahan sebagaimana di atas, maka perlu dilakukan satu terobosan
kebijakan yang bersifat lintas sektor dan berkelanjutan. Kebijakan strategis
yang mampu menjawab permasalahan tanah di atas dan permasalahan bangsa yang
lain, taat azas dan sudah ada landasan politiknya adalah pembaruan agraria. Ketetapan MPRRI IX/MPR/2001, menyebutkan
bahwa pembaruan agraria mencakup suatu
proses berkesinambungan berkenaan dengan penataan kembali penguasaan,
pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan sumberdaya agraria, dilaksanakan dalam rangka tercapainya kepastian dan
perlindungan hukum serta keadilan dan
kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia. Penguasaan dan pemilikan tanah yang
timpang, penggunaan dan pemanfaatan tanah yang tidak berpihak pada masyarakat
luas dapat diselesaikan melalui kebijakan ini, termasuk dalam pemenuhan
kebutuhan pangan dan papan bagi seluruh masyarakat bangsa ini.
Apabila hal ini dapat direalisasikan, maka
pemenuhan kebutuhan pangan akan beriringan dengan pemenuhan kebutuhan papan,
yang keduanya merupakan tanggungjawab negara terhadap seluruh warga negara.
Semoga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar