QUOVADIS INTEGRASI
AGRARIA & TATA RUANG[1]
Oleh: Sutaryono
Pengajar Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional
Integrasi urusan agraria-pertanahan dengan penataan ruang
dalam satu kementerian bukanlah ahistoris, tetapi telah mendasarkan pada amanat
konstitusi dan relevan dengan kebijakan politik pemerintahan saat ini.
Penyelenggaraan urusan pemerintahan di bidang agraria-pertanahan dan penataan
ruang, selama ini merupakan urusan yang terpisah, meskipun satu sama lain sangat
terkait. Regulasi yang mengaturnya, kebijakan politik yang menaunginya serta
kelembagaan yang menanganinya juga berbeda. Kabinet Joko Widodo – Jusuf Kalla, mengintegrasikan
keduanya dalam satu kementerian, yakni Kementeriaan Agraria dan Tata
Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN). Namun demikian, hampir 2 tahun
kementerian ini terbentuk, kebijakan dan bentuk integrasi kedua urusan ini belum
menampakkan wujudnya. Atau jangan-jangan salah satu pertimbangan pergantian
menteri ATR/BPN ini adalah kegagalan atau belum berhasilnya mengintegrasikan
kedua urusan dalam satu kementerian.
Urgensi
Integrasi
Penyatuan bidang keagrariaan, tata ruang dan pertanahan dapat
dibaca sebagai upaya menata kelembagaan yang berlandaskan pada konstitusi dan
regulasi dalam pengelolaan agraria dan sumberdaya alam, visi dan misi pemerintah
serta kebutuhan dalam menjalankan tugas pemerintahan di bidang keagrariaan-pertanahan
dan tata ruang. Pengintegrasian BPN dengan Ditjend Penataan Ruang Kementerian PU menjadi Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan
Pertanahan Nasional merupakan perubahan paradigma dalam melihat
sumberdaya agraria. Jika awalnya agraria-pertanahan dipahami sebagai persil-persil tanah, maka melalui
kelembagaan yang baru dipahami sebagai kondisi,
status, dan fungsi hubungan antar persil yang membentuk sebuah poligon
yang saling mempengaruhi yang kemudian disebut sebagai ruang. Sumberdaya agraria dengan matra utama tanah merupakan ruang hidup bagi penduduk. Untuk itu pengaturan penguasaan dan pemilikan atas agraria-tanah
harus selaras dan serasi dengan penggunaan dan pemanfaatan ruang.
Berkaitan dengan konsep ruang dan agraria, ternyata ‘agraria’
dalam UUPA
hakikatnya sama dengan pengertian ‘ruang’ dalam UU Penataan Ruang (Hutagalung,
2015). Bumi, air dan kekayaan alam adalah makna agraria secara konstitusi, yang inherent dengan makna ruang dalam UU Penataan Ruang.
Dalam perspektif land
management, terintegrasinya land
tenure, land use, land value dan land
development yang didukung dengan land
information infrastructures dan dibingkai melalui land policy yang tepat merupakan prasyarat terwujudnya sustainable development (Enemark, et al,
2005). Dalam konteks ini, terintegrasinya agraria-pertanahan dengan tata ruang
adalah prakondisi menuju pembangunan berkelanjutan.
Instrumen Integrasi
Urusan keagrariaan-pertanahan yang meliputi pengukuran dan
pemetaan kadastral, penatagunaan tanah, pengaturan hubungan hukum subjek dan
objek hak, penguatan hak dan pemberdayaan masyarakat, landreform, pendaftaran
tanah hingga penyelesaian sengketa dan konflik selama ini ‘hanya’ memperhatikan
dan mempertimbangkan tata ruang. Sementara itu, penyelenggaraan penataan ruang
baik pada level perencanaan, pemanfaatan hingga pengendalian pemanfaatan ruang
masih menafikan aspek-aspek keagrariaan-pertanahan utamanya penguasaan dan
pemilikan tanah.
Makna yang inherent
antara ‘agraria’ dan ‘ruang’ merupakan entry point dalam integrasi pengaturan
penguasaan dan pemilikan tanah (land
tenure) dengan penggunaan dan pemanfaatan ruangnya. Titik masuk ini perlu
diakselerasi melalui beberapa instrumen yang dapat digunakan untuk
mengintegrasikan urusan agraria-pertanahan dan tata ruang.
Pertama, One Map Policy. Kebijakan satu peta multiguna musti berupa
Informasi Geospasial Dasar yang berbasiskan persil-persil tanah (parcel based). Informasi spatial dan
tekstual berkenaan bidang-bidang tanah mampu mengumpan terintegrasinya urusan
agraria-pertanahan dengan tata ruang untuk berbagai keperluan pembangunan. Kedua,
Neraca Penatagunaan Tanah, yakni
perimbangan antara ketersediaan tanah dan kebutuhan penguasaan, penggunaan dan
pemanfaatan tanah menurut fungsi kawasan RTRW. Neraca ini meliputi neraca
perubahan, neraca kesesuaian penggunaan tanah terhadap RTRW, dan prioritas
ketersediaan tanah. Instrumen ini sangat representatif untuk digunakan dalam
berbagai urusan pembangunan wilayah, yang mensyaratkan terintegrasinya urusan
agraria-pertanahan dan tata ruang. Ketiga,
Konsolidasi Tanah, merupakan instrumen yang dapat digunakan untuk penataan
penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah yang sekaligus berperan
dalam penataan kawasan. Apabila ini diimplementasikan, maka secara otomatis
konten pertanahan dan tata ruang akan terintegrasi, mengingat penataan kawasan
ini berbasiskan pada informasi spatial dan tekstual bidang-bidang tanah.
Ketiga instrumen di atas dapat dioperasionalisasikan dan
dipatuhi oleh pemerintah dan pemerintah daerah (yang mempunyai otoritas dalam
penataan ruang) apabila dibingkai dalam regulasi setingkat peraturan presiden.
Dalam hal ini Kementerian ATR/BPN akan secara apik memerankan dua kakinya, satu
kaki untuk urusan pertanahan yang dioperasionalisasikan oleh Kanwil BPN dan
Kantor Pertanahan dan satu kaki untuk urusan tata ruang yang menjadi otoritas
pemerintah daerah. Apabila ini dapat dilakukan, integrasi urusan
agraria-pertanahan dan tata ruang akan segera diwujudkan demi pembangunan
berkelanjutan. Pergantian Menteri ATR/Kepala BPN merupakan momentum yang tepat
untuk membumikan integrasi agraria-pertanahan dan tata ruang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar