Senin, 30 Oktober 2017
Tanah Indonesia
Tanah Indonesia[1]
Oleh:
Sutaryono[2]
Momentum Sumpah Pemuda mengingatkan kita pada Putusan Konggres
Pemuda-Pemuda Indonesia tanggal 28 Oktober 1928 yang mendeklarasikan Sumpah
Pemuda. Butir pertama Sumpah Pemuda adalah “Kami
Poetra dan Poetri Indonesia Mengakoe Bertoempah Darah Jang Satoe, Tanah
Indonesia”. Sumpah tersebut menunjukkan bahwa founding fathers kita menyadari sepenuhnya bahwa esensi kebangsaan
itu adalah tanah (baca: tanah air), yang mampu menjadi bingkai perekat
persatuan Indonesia. Oleh karena itu, tepat kiranya statemen yang menyatakan
bahwa keadilan agraria (tanah) adalah basis Persatuan Indonesia (KR, 5-11-2015). Sumpah tersebut
merupakan nasionalisme ke-Indonesiaan yang luarbiasa,
mengandung daya ikat dan patriotisme kebangsaan bagi seluruh anak bangsa. Refleksi yang dapat kita lakukan dalam konteks sumpah pemuda adalah
apakah kebijakan dan pengelolaan tanah selama ini sudah mencerminkan semangat
nasionalisme menuju Persatuan Indonesia?
Makna
Tanah
Pada konteks global, tanah sebagai ruang hidup oleh
Lefebvre (1991) dalam naskah ‘the production of spaces’ dimaknai sebagai ruang fisik (physical spaces), ruang mental (mental spaces) dan ruang sosial (social spaces). Ruang fisik dimaksudkan sebagai ruang atas
tanah (land), yang
keberadaannya sangat terkait dengan ruang mental dan ruang sosial, dalam hal ini termasuk persoalan tenuarial
(penguasan dan pemilikan),
penggunaan dan pemanfaatan,
administrasi dan pendaftaran, penilaian serta penyelesaian konflik dan sengketa pertanahan.
Pada konteks ke-Indonesia-an, Daoed Joesoef (1986) membagi
konsep tanah air menjadi tiga, yaitu
tanah air riil,
tanah air formal, dan tanah air mental.
Tanah air riil
adalah bumi tempat orang dilahirkan dan dibesarkan, tanah yang didiami secara
fisik sehari-hari. Tanah
air formal adalah negara-bangsa
yang berundang-undang dasar dimana kita menjadi warganya, yakni
NKRI. Adapun
tanah air
mental tidak
bersifat teritorial,
tidak
dibatasi oleh ruang dan waktu,
lebih bersifat
imajinasi yang
dibentuk dan dibina oleh ideologi.
Berkenaan dengan makna diatas, dapat dikatakan bahwa masadepan dan
keberlanjutan Persatuan Indonesia dalam bingkai NKRI salah satunya tergantung
pada kebijakan dan pengelolaan tanah di seluruh wilayah Indonesia.
Kerja Bersama
Secara faktual administrasi pertanahan di Indonesia terbagi menjadi dua,
yakni tanah di kawasan hutan yang menjadi otoritas Kementerian Lingkungan Hidup
dan Kehutanan serta tanah nonkawasan hutan yang menjadi kewenangan Kementerian
Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN).
Untuk tanah-tanah nonkawasan hutan, belum ada separuh jumlah bidang
tanah yang terdaftar dan berkepastian hukum. Saat ini diperkirakan baru 46 juta
bidang terdaftar dan bersertifikat dari total sekitar 110 juta bidang. Kondisi
ini rentan terhadap munculnya sengketa dan konflik serta sulitnya Negara
memanfaatkan tanah untuk kepentingan umum. Hal ini direspon oleh Presiden
melalui agenda percepatan pendaftaran tanah, dengan target 5 juta bidang pada
tahun 2017, 7 juta dan 9 juta bidang pada tahun 2018 dan 2019. Dalam rangka
menjabarkan perintah presiden, Kementerian ATR/BPN menindaklanjuti kebijakan
percepatan mendaftaran tanah melalui Pendaftaran Tanah Sistematik Lengkap
(PTSL). Agenda ini diimplementasi melalui langkah-langkah percepatan penyediaan
peta kadastral, pendaftaran tanah berdasarkan Nomor Induk Bidang (NIB) lengkap
desa demi desa dan percepatan sertifikasi.
Agenda percepatan pendaftaran tanah ini tidak akan terlaksana tanpa kerja
bersama seluruh pemangku kepentingan, mengingat urusan tanah adalah urusan
bersama seluruh komponen bangsa. Kementerian ATR/BPN sebagai organ pemerintah
menjadi pihak yang paling bertanggungjawab sekaligus leading sector kegiatan ini. Kementerian lain, misalnya Kementerian
Keuangan dan Kementerian Desa dapat mendorong percepatan melalui penempatan
sertifikasi tanah (pengukuran, pemetaan dan pembukuan) sebagai infrastruktur yang perlu mendapatkan
prioritas penganggaran. Pemerintah Daerah berperan dalam pemberian fasilitasi dan pembiayaan
yang melibatkan unsur-unsur pemerintah daerah, termasuk pemerintah desa. Pemerintah Desa menunjukkan dokumen-dokumen
pertanahan sekaligus mendampingi petugas dalam pengumpulan data fisik dan yuridis
bidang-bidang tanah. Kalangan swasta, utamanya yang bergerak di bidang
pengukuran dan pemetaan wajib membantu melalui penyediaan jasa pengukuran yang
berkualitas serta masyarakat sebagai pemegang hak tanah harus aktif
mengelola tanahnya sesuai peruntukannya, memelihara seluruh
dokumennya termasuk
memastikan tanda batasnya.
Selasa, 17 Oktober 2017
Partisipasi Masyarakat dalam PTSL
PARTISIPASI
MASYARAKAT DALAM
PERCEPATAN
PENDAFTARAN TANAH MELALUI PTSL[1]
Oleh: Sutaryono[2]
Untuk menyelesaikan berbagai persoalan
keagrariaan-pertanahan, pemerintah melalui Kementerian ATR/BPN telah menetapkan
tiga agenda strategis, yakni: (1) reforma agraria (RA); (2) percepatan
pendaftaran tanah: dan (3) pengadaan tanah untuk pembangunan, khususnya
pembangunan infrastruktur. Ketiga agenda ini merupakan prioritas untuk
menjalankan komitmen keagrariaan-pertanahan pemerintah.
Salah satu agenda yang menyita perhatian dan
membuat ‘hiruk pikuk’ di kalangan Aparatur Sipil Negara pada Kementerian ATR/BPN
adalah agenda percepatan pendaftaran tanah melalui Pendaftaran Tanah Sistematis
Lengkap (PTSL). Hal ini bermula dari terbitnya Peraturan Menteri ATR/Kepala BPN
Nomor 28/2016 tentang Percepatan Program Nasional Agraria melalui Pendaftaran
Tanah Sistematis, yang diikuti dengan Peraturan Menteri ATR/BPN Nomor 33/2016
tentang Surveyor Kadaster Berlisensi dan Peraturan Menteri ATR/Kepala BPN Nomor
35/2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Pendaftaran Tanah Sistematik Lengkap.
Bahkan agenda PTSL belum dijalankan regulasi yang mengaturnya sudah mengalami
perubahan, yakni melalui Peraturan Menteri ATR/BPN Nomor 1 Tahun 2017 tentang
Perubahan Atas Peraturan Menteri ATR/BPN
Nomor 35/2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Pendaftaran Tanah Sistematik
Lengkap.
Beberapa regulasi tersebut
diorientasikan untuk percepatan pendaftaran tanah secara lengkap di seluruh
wilayah Republik Indonesia dalam rangka memberikan jaminan kepastian hukum dan
perlindungan hukum hak atas tanah bagi rakyat secara adil dan merata, serta
mendorong pertumbuhan ekonomi. Persoalan yang muncul dalam merespon kebijakan
di atas adalah apakah urgensi percepatan sertipikasi tanah dan bagaimana
mengimplementasikannya di lapangan?
Urgensi
Percepatan Sertipikasi Tanah
Sudah 71 tahun Indonesia Merdeka, saat ini
baru tercatat 46 juta bidang tanah yang bersertipikat, dari sekitar 110 juta
bidang tanah di luar kawasan hutan. Apabila tidak ada agenda percepatan, dibutuhkan
waktu 100 tahun lagi agar semua bidang tanah di Indonesia bersertifikat. Namun
demikian, komitmen pemerintah untuk mempermudah dan mempercepat sertipikasi
sehingga pada 2025 seluruh tanah di Indonesia sudah bersertipikat perlu
didukung. Untuk mewujudkan hal tersebut sertipikasi tanah pada tahun 2017
ditargetkan sejumlah 5 juta bidang, 7 juta bidang di tahun 2018, 9 juta bidang
di tahun 2019 dan sisanya diselesaikan hingga tahun 2025.
Secara
normatif percepatan sertipikasi tanah dilakukan melalui Pendaftaran Tanah
Sistematik Lengkap (PTSL), yakni kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali
yang dilakukan secara serentak yang meliputi semua obyek pendaftaran tanah yang
belum didaftar dalam satu wilayah desa/kelurahan atau nama lainnya yang
setingkat dengan itu.
Sertipikasi tanah menjadi sangat krusial ketika
kebutuhan tanah semakin meningkat, harganya semakin mahal dan semakin banyak
pihak yang berkepentingan. Akibatnya muncul banyak spekulan tanah, mafia tanah,
calo tanah dan pihak-pihak yang mengambil keuntungan dari komodifikasi tanah
(memperlakukan tanah sebagai komoditas). Hal inilah yang menjadikan sertipikasi
tanah menjadi suatu yang urgent untuk
segera diselesaikan. Tujuan utamanya jelas, yakni: (a) memberikan kepastian
hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang hak; (b) menyediakan informasi
kepada pihak-pihak yang berkepentingan termasuk Pemerintah agar dengan mudah
dapat memperoleh data yang diperlukan dalam mengadakan perbuatan hukum mengenai
bidang-bidang tanah; dan (c) terselenggaranya tertib administrasi pertanahan.
Partisipasi Masyarakat
Terealisasinya
agenda percepatan sertifikasi ini tidak bisa dibebankan kepada Kementerian
ATR/BPN saja, tetapi membutuhkan partisipasi aktif seluruh pemangku kepentingan
terhadap tanah. Pemegang hak harus aktif mengelola tanahnya sesuai
peruntukannya, termasuk memastikan tanda batasnya. Dalam konteks ini,
masyarakat dapat terlibat dalam pemetaan partisipatif. Dalam Juknis Pemetaan
Bidang Tanah Melalui Partisipasi Masyarakat, disebutkan bahwa Pemetaan partisipatif masyarakat adalah
kegiatan pemetaan dan pengumpulan data pertanahan dalam satu desa/kelurahan
secara lengkap dengan melibatkan masyarakat. Masyarakat dapat berperan dalam
tahapan kegiatan antara lain: (a) sosialisasi dan/atau pendampingan; (b)
melakukan fasilitasi kegiatan rapat bersama/lokakarya pemetaan partisipatif
dengan membagi kelompok berdasarkan wilayah tempat tinggal masyarakat; (c)
pemasangan dan penunjukan tanda batas; (d) identifikasi batas bidang tanah; (e)
deliniasi batas bidang tanah hasil identifikasi; (f) pengumpulan data pertanahan
(pengisian informasi terkait kepemilikan/penguasaan, status tanah, penggunaan,
pemanfaatan, nilai tanah, dan informasi pertanahan lainnya yang dianggap
perlu); atau (g) pengumuman.
Setelah
pemegang hak, berikutnya adalah partisipasi aktif Pemerintah Desa. Pemerintah
Desa harus memelihara dokumen-dokumen pertanahan dan secara aktif mencatat
setiap perbuatan hukum atas tanah-tanah yang belum bersertifikat. Di samping
itu, Pemerintah Desa dapat mengalokasikan anggaran pendukung PTSL melalui
APBDesa, yang berasal dari APBN maupun APBD.
Pemerintah
Daerah harus secara terus-menerus mendorong percepatan sertipikasi tanah
melalui berbagai fasilitasi maupun bantuan pembiayaan. Sebagai contoh, Gubernur
Jawa Tengah pada bulan ini telah membuat surat edaran yang ditujukan kepada
Bupati dan Walikota agar memfasilitasi pemerintah desa/kalurahan untuk menyusun
perdes yang mengatur tentang pembiayaan sertipikasi tanah yang dibebankan
kepada masyarakat berdasarkan rembug desa, agar terhindar dari kutipan yang
membebani.
Jajaran
Kementerian ATR/BPN harus secara aktif dan responsive menyiapkan penganggaran,
sumberdaya manusianya dan teknologinya untuk mendukung berbagai agenda
percepatan PTSL. Jajaran yang berada di Kantor Pertanahan harus melakukan
berbagai koordinasi dengan pemerintah daerah maupun dengan pemerintah desa guna
mempercepat akselerasi pelaksanaan PTSL.
Jangan
lupa, pihak aparat penegak hukum perlu dilibatkan sejak awal agar semua proses
yang berhubungan dalam percepatan pendaftaran tanah melalui PTSL dapat berjalan
dengan baik, terbebas dari dari Tim Saber Pungli dan tidak terancam
kriminalisasi. Penerapan pelayanan sertipikasi tanah dengan azas sederhana,
aman, terjangkau, mutakhir dan terbuka dalam penyelenggaraan PTSL mutlak
dilakukan. Apabila hal ini dapat dilakukan, maka percepatan sertipikasi tanah melalui
PTSL adalah sebuah keniscayaan yang berujung pada kepastian hak atas tanah di
seluruh wilayah NKRI.
Langganan:
Postingan (Atom)