Tanah Indonesia[1]
Oleh:
Sutaryono[2]
Momentum Sumpah Pemuda mengingatkan kita pada Putusan Konggres
Pemuda-Pemuda Indonesia tanggal 28 Oktober 1928 yang mendeklarasikan Sumpah
Pemuda. Butir pertama Sumpah Pemuda adalah “Kami
Poetra dan Poetri Indonesia Mengakoe Bertoempah Darah Jang Satoe, Tanah
Indonesia”. Sumpah tersebut menunjukkan bahwa founding fathers kita menyadari sepenuhnya bahwa esensi kebangsaan
itu adalah tanah (baca: tanah air), yang mampu menjadi bingkai perekat
persatuan Indonesia. Oleh karena itu, tepat kiranya statemen yang menyatakan
bahwa keadilan agraria (tanah) adalah basis Persatuan Indonesia (KR, 5-11-2015). Sumpah tersebut
merupakan nasionalisme ke-Indonesiaan yang luarbiasa,
mengandung daya ikat dan patriotisme kebangsaan bagi seluruh anak bangsa. Refleksi yang dapat kita lakukan dalam konteks sumpah pemuda adalah
apakah kebijakan dan pengelolaan tanah selama ini sudah mencerminkan semangat
nasionalisme menuju Persatuan Indonesia?
Makna
Tanah
Pada konteks global, tanah sebagai ruang hidup oleh
Lefebvre (1991) dalam naskah ‘the production of spaces’ dimaknai sebagai ruang fisik (physical spaces), ruang mental (mental spaces) dan ruang sosial (social spaces). Ruang fisik dimaksudkan sebagai ruang atas
tanah (land), yang
keberadaannya sangat terkait dengan ruang mental dan ruang sosial, dalam hal ini termasuk persoalan tenuarial
(penguasan dan pemilikan),
penggunaan dan pemanfaatan,
administrasi dan pendaftaran, penilaian serta penyelesaian konflik dan sengketa pertanahan.
Pada konteks ke-Indonesia-an, Daoed Joesoef (1986) membagi
konsep tanah air menjadi tiga, yaitu
tanah air riil,
tanah air formal, dan tanah air mental.
Tanah air riil
adalah bumi tempat orang dilahirkan dan dibesarkan, tanah yang didiami secara
fisik sehari-hari. Tanah
air formal adalah negara-bangsa
yang berundang-undang dasar dimana kita menjadi warganya, yakni
NKRI. Adapun
tanah air
mental tidak
bersifat teritorial,
tidak
dibatasi oleh ruang dan waktu,
lebih bersifat
imajinasi yang
dibentuk dan dibina oleh ideologi.
Berkenaan dengan makna diatas, dapat dikatakan bahwa masadepan dan
keberlanjutan Persatuan Indonesia dalam bingkai NKRI salah satunya tergantung
pada kebijakan dan pengelolaan tanah di seluruh wilayah Indonesia.
Kerja Bersama
Secara faktual administrasi pertanahan di Indonesia terbagi menjadi dua,
yakni tanah di kawasan hutan yang menjadi otoritas Kementerian Lingkungan Hidup
dan Kehutanan serta tanah nonkawasan hutan yang menjadi kewenangan Kementerian
Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN).
Untuk tanah-tanah nonkawasan hutan, belum ada separuh jumlah bidang
tanah yang terdaftar dan berkepastian hukum. Saat ini diperkirakan baru 46 juta
bidang terdaftar dan bersertifikat dari total sekitar 110 juta bidang. Kondisi
ini rentan terhadap munculnya sengketa dan konflik serta sulitnya Negara
memanfaatkan tanah untuk kepentingan umum. Hal ini direspon oleh Presiden
melalui agenda percepatan pendaftaran tanah, dengan target 5 juta bidang pada
tahun 2017, 7 juta dan 9 juta bidang pada tahun 2018 dan 2019. Dalam rangka
menjabarkan perintah presiden, Kementerian ATR/BPN menindaklanjuti kebijakan
percepatan mendaftaran tanah melalui Pendaftaran Tanah Sistematik Lengkap
(PTSL). Agenda ini diimplementasi melalui langkah-langkah percepatan penyediaan
peta kadastral, pendaftaran tanah berdasarkan Nomor Induk Bidang (NIB) lengkap
desa demi desa dan percepatan sertifikasi.
Agenda percepatan pendaftaran tanah ini tidak akan terlaksana tanpa kerja
bersama seluruh pemangku kepentingan, mengingat urusan tanah adalah urusan
bersama seluruh komponen bangsa. Kementerian ATR/BPN sebagai organ pemerintah
menjadi pihak yang paling bertanggungjawab sekaligus leading sector kegiatan ini. Kementerian lain, misalnya Kementerian
Keuangan dan Kementerian Desa dapat mendorong percepatan melalui penempatan
sertifikasi tanah (pengukuran, pemetaan dan pembukuan) sebagai infrastruktur yang perlu mendapatkan
prioritas penganggaran. Pemerintah Daerah berperan dalam pemberian fasilitasi dan pembiayaan
yang melibatkan unsur-unsur pemerintah daerah, termasuk pemerintah desa. Pemerintah Desa menunjukkan dokumen-dokumen
pertanahan sekaligus mendampingi petugas dalam pengumpulan data fisik dan yuridis
bidang-bidang tanah. Kalangan swasta, utamanya yang bergerak di bidang
pengukuran dan pemetaan wajib membantu melalui penyediaan jasa pengukuran yang
berkualitas serta masyarakat sebagai pemegang hak tanah harus aktif
mengelola tanahnya sesuai peruntukannya, memelihara seluruh
dokumennya termasuk
memastikan tanda batasnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar