Penyelesaian Tanah Kawasan Hutan[1]
Oleh:
Dr. Sutaryono[2]
Di tengah pro-kontra bagi-bagi
sertipikat tanah gratis yang dilakukan oleh Presiden, ada agenda presiden yang
secara nyata belum menunjukkan progres yang menggembirakan. Dan inilah yang
menjadi sasaran tembak lawan-lawan politik presiden. Agenda apakah itu?
Jawabnya tentu tidak jauh dari isu-isu yang diperdebatkan, yakni agenda Reforma
Agraria, dengan program redistribusi tanah sebagai program utamanya. Reforma
agraria sejatinya adalah penataan kembali dan pembaruan struktur pemilikan,
pengguasaan dan penggunaan tanah/wilayah, demi kepentingan petani kecil,
penyakap, dan buruh tani yang tak bertanah, prinsipnya adalah tanah untuk
penggarap tanah (Wiradi, 2009). Adapun
mekanisme penyelenggaraan reforma agraria ini mencakup empat lingkup pekerjaan
utama, yakni: (a) penetapan objek reforma agraria; (b) penetapan subjek reforma
agraria; (c). mekanisme delivery system;
(d) pengembangan acces reform (Winoto, 2008).
Janji politik presiden dalam Nawacita
yang kemudian dijabarkan dalam RPJMN Tahun 2015-2019 menyebutkan bahwa untuk
meningkatkan kesejahteraan rakyat dilakukan melalui penyediaan tanah objek
Reforma Agraria sekurang-kurangnya 9 juta ha yang selanjutkan akan
diredistribusikan. Program redistribusi tanah yang merupakan agenda utama
reforma agraria, dalam pelaksanaannya jauh tertinggal dari program legalisasi
asset, yang sering disebut sebagai bagi-bagi sertipikat gratis.
Data Kementerian Agraria dan Tata
Ruang/Badan Pertanahan Nasional menunjukkan bahwa Pemerintahan Jokowi – JK pada
tahun 2017 mampu melakukan percepatan pensertipikatan tanah secara significant. Pada tahun-tahun sebelumnya
pemerintah hanya mampu menerbitkan sertipikat 500 ribu – 800 ribu
pertahun, sedangkan tahun 2017 mampu
menyelesaikan sejumlah 4,2 juta sertipikat dari target 5 juta bidang. Sementara
itu, pelaksanaan redistribusi tanah
sebagai agenda utama reforma agraria berjalan di tempat dan tertinggal dengan
agenda legalisasi asset. Dari target 4,5
juta hektar redistribusi tanah, saat ini baru terealisasi seluas 231.349 hektar
(5,14%) yang terbagi menjadi 177.423 bidang tanah (Ditjend Penataan Agraria, 2018). Hal ini
menunjukkan bahwa prioritas ke-agraria-an pemerintah yang sudah ditetapkan,
utamanya berkenaan dengan redistribusi tanah masih sebatas janji politik.
Problem utama tersendatnya agenda
reforma agraria saat ini adalah terbatasnya data-data riil berkenaan dengan
objek redistribusi tanah yang akan dibagikan. Disamping itu, lambatnya capaian
agenda RA terjadi akibat pemerintah, dalam hal ini Kementerian ATR/BPN
cenderung fokus pada tanah-tanah di luar kawasan hutan. Padahal, potensi TORA
dari kawasan hutan, utamanya yang sudah dikuasai oleh masyarakat adalah sangat
besar.
Kementerian Kehutanan mencatat bahwa
terdapat 25.863 desa dari 75 ribu desa di Indonesia yang berada di dalam
kawasan hutan dan sekitar 50 juta petani yang berada di dalam dan di sekitar
kawasan hutan (Sirait, 2017). Berbagai bentuk penguasaan tanah di kawasan hutan
antara lain penguasaan oleh: (a) masyarakat hukum adat; (b) pemerintah desa;
(c) perorangan, baik dengan alas hak atau tidak ada alas hak; (d) badan hukum;
(e) badan sosial; (f) badan pemerintahan (Safitri, 2014). Kondisi tersebut
menunjukkan bahwa potensi TORA yang berasal dari kawasan hutan menjadi sangat
potensial untuk segera direalisasikan.
Seturut dengan hal tersebut, terbit
Peraturan Presiden Nomor 88 Tahun 2017 tentang Penyelesaian Penguasaan Tanah
dalam Kawasan Hutan (PPTKH). Regulasi ini menjadikan agenda RA pada kawasan
hutan dapat dilakukan melalui: (a) perubahan batas kawasan hutan; (b)
tukar-menukar kawasan hutan; (c) pemberian akses pengelolaan kawasan hutan
dengan perhutanan sosial; dan (d) resettlemet. Pada tahun 2018 akan dilakukan kegiatan inventarisasi untuk PPTKH seluas 1,69 juta ha di 26 provinsi, yang hasil
tata batasnya akan ditetapkan sebagai TORA. Potensi ini perlu segera ditindaklanjuti
melalui berbagai agenda, baik yang berujung pada pelepasan kawasan hutan,
perubahan tata batas kawasan, tukar-menukar kawasan hutan, serta pengelolaan
kawasan hutan dengan perhutanan sosial.
Apabila agenda di atas dapat
terselenggara dengan baik dan Kementerian/Lembaga, utamanya Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan serta Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN
dapat bersinergi secara produktif, maka penyelesaian permasalahan tanah dalam
kawasan hutan adalah sebuah keniscayaan. Semoga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar