Merealisasikan Reforma
Agraria[1]
Oleh:
Sutaryono[2]
Tujuhbelas tahun sejak
diamanatkannya agenda reforma agraria melalui Tap No. IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria Dan Pengelolaan
Sumberdaya Alam, pemerintah saat ini baru secara nyata berkehendak untuk
merealisasikannya. Mengapa? Meskipun reforma agraria sudah diamanatkan sejak
2001, namun pemerintah yang berkuasa belum serius berkehendak menjalankannya.
Regulasi yang dipandang sebagai dasar penyelenggaraan reforma agraria tidak
kunjung diterbitkan. Berbagai versi naskah yang ada hanya sampai pada Rancangan
Peraturan Pemerintah maupun Raperpres. Baru pada tahun ini, tepatnya pada Hari
Tani (24 September 2018), Pemerintah menerbitkan Peraturan Presiden No. 86
Tahun 2018 tentang Reforma Agraria. Sungguh, ini regulasi yang dinanti-nantikan
agar agenda reforma agraria bukan hanya sebagai jargon semata, tetapi
benar-benar direalisasikan untuk menyelesaikan ketimpangan penguasaan,
pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah.
Reforma agraria dalam
perpres tersebut dimaknai sebagai penataan kembali struktur penguasaan, pemilikan,
pengguasaan, penggunaan dan pemanfaatan tanah yang lebih berkeadilan melalui
penataan asset dan disertai dengan penataan akses untuk kemakmuran rakyat. Adapun
agenda RA ini bertujuan untuk: (a) mengurangi ketimpangan
penguasaan dan pemilikan tanah;
(b) menangani sengketa dan konflik agraria; (c) menciptakan kemakmuran dan
kesejahteraan masyarakat;
(d) menciptakan lapangan kerja untuk mengurangi kemiskinan; (e) memperbaiki
akses masyarakat kepada sumber ekonomi; (f) meningkatkan ketahanan dan
kedaulatan pangan; dan (g) memperbaiki
dan menjaga kualitas lingkungan hidup.
Menepati Janji
Terbitnya Perpres 86/2018 bukanlah suatu
kebetulan, tetapi merupakan bagian pemenuhan janji politik pemerintah yang
berkuasa. Janji politik presiden dalam Nawacita yang kemudian dijabarkan dalam
RPJMN Tahun 2015-2019 menyebutkan bahwa untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat
dilakukan melalui penyediaan tanah objek Reforma Agraria sekurang-kurangnya 9
juta ha untuk diredistribusikan. Redistribusi tanah sebagai agenda utama RA,
dalam pelaksanaannya jauh tertinggal dari program legalisasi asset, yang sering
disebut sebagai bagi-bagi sertipikat gratis. Pelaksanaan redistribusi tanah dari target 4,5 juta hektar,
saat ini baru terealisasi seluas 231.349 hektar (5,14%) yang terbagi menjadi
177.423 bidang tanah (Ditjend Penataan
Agraria, 2018). Hal ini menunjukkan bahwa prioritas ke-agraria-an pemerintah
yang sudah ditetapkan, utamanya berkenaan dengan redistribusi tanah masih
sebatas janji politik.
Problem utama tersendatnya agenda RA yang
sering dimunculkan selama ini adalah ketiadaan dasar hukum penyelenggaraan RA.
Nah, kelahiran Perpres 86/2018 ini menjawab persoalan tersebut. Artinya, tidak
ada lagi alasan bagi penyelenggara Negara, khususnya Kementerian Lingkungan
Hidup dan Kehutanan (KLHK), Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan
Nasional (ATR/BPN) serta Pemerintah Daerah untuk tidak menjalankan agenda
RA.
KLHK adalah kementerian yang menguasai
tanah terluas yang ditargetkan sebagai Tanah Objek Reforma Agraria (TORA).
Tercatat seluas 4,1 juta hektar kawasan hutan yang diorientasikan untuk TORA
melalui perubahan
peruntukan kawasan hutan
serta 12,7 juta hektar yang diorientasikan melalui hak pengelolaan, izin pemanfaatan, hutan adat
atau dengan istilah hak kelola perhutanan sosial. Kementerian LHK mencatat
bahwa terdapat 25.863 desa dari 75 ribu desa di Indonesia yang berada dalam
kawasan hutan dan sekitar 50 juta petani berada di dalam dan di sekitar kawasan
hutan (Sirait, 2017), dengan bentuk penguasaan tanah oleh: (a) masyarakat hukum
adat; (b) pemerintah desa; (c) perorangan, baik dengan alas hak atau tidak ada
alas hak; (d) badan hukum; (e) badan sosial; (f) badan pemerintahan (Safitri,
2014). Kondisi tersebut menunjukkan bahwa potensi TORA yang berasal dari
kawasan hutan menjadi sangat potensial untuk segera direalisasikan.
Sementara itu Kementerian ATR/BPN adalah
kementerian yang mengkoordinasikan penyelenggaraan RA dalam kelembagaan Gugus
Tugas Reforma Agraria (GTRA) secara nasional. Pada level daerah, pemerintah
provinsi dan pemerintah kabupaten merupakan koordinator penyelenggaraan RA
melalui GTRA di daerah.
Hal-hal di atas menunjukkan bahwa,
pemenuhan janji politik pemerintah yang berkuasa sekaligus menyelesaikan
ketimpangan penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah di Indonesia
harus segera direalisasikan. Political
will sudah ada, regulasi sudah diterbitkan, kementerian/lembaga terkait
serta pemda sudah siap, maka saatnya menjalankan agenda Reforma Agraria.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar