Era Baru Penataan Ruang[1]
Oleh:
Dr. Sutaryono[2]
Selamat Hari Tata Ruang. Hari ini (8
November) adalah Hari Tata Ruang Nasional, berdasarkan Keppres 28/2013. Tidak banyak yang merayakannya,
tetapi peringatan Hari Tata Ruang ini perlu dijadikan momentum untuk menjadikan
rencana tata ruang (RTR) sebagai guidance pembangunan sekaligus menjadi
acuan agar terwujud tertib ruang dan terjaga kelestarian lingkungan. Mengapa?
Karena hingga saat ini RTR belum menjadi mainstream
(arus utama) dalam pembangunan, bahkan ada kecenderungan dianggap sebagai salah
satu faktor penghambat investasi.
Sewindu peringatan Hari Tata Ruang
ini, penataan ruang menapaki babak baru. Terbitnya Undang-undang 11/2020
tentang Cipta Kerja yang ditindaklanjuti dengan Peraturan Pemerintah 21/2021
tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang, memberikan beberapa terobosan kebijakan
penataan ruang dan implementasinya. Pertama, penyederhanaan produk RTR
melalui: (a) penghapusan RTR Kawasan Strategis Provinsi dan Kabupaten/Kota; (b)
terintegrasinya RTR darat dan laut; (c) pemanfaatan peta dasar selain peta rupa
bumi, dengan rekomendasi dari Badan Informasi Geospasial (BIG). Kedua, percepatan
proses penetapan RTRW melalui: (a) pembatasan jangka waktu penyusunan dan
penetapan; (b) pengintegrasian Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) ke
dalam materi teknis RTRW; (c) penetapan RDTR melalui peraturan kepala daerah,
bukan lagi peraturan daerah.
Ketiga, penghapusan izin pemanfaatan
ruang dan menggantinya dengan mekanisme Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang
(KKPR). Untuk setiap kegiatan dikenakan mekanisme konfirmasi KKPR pada wilayah
yang sudah ada RDTR-nya dan persetujuan KKPR untuk wilayah yang belum ada
RDTR-nya. Keempat, mengembangkan pengendalian pemanfaatan ruang melalui:
(a) penilaian pelaksanaan KKPR; (b) penilaian perwujudan RTR; (c) pemberian
insentif – disinsentif; (d) pengenaan sanksi; dan (e) penyelesaian sengketa
penataan ruang. Kelima, pelibatan masyarakat dalam penataan ruang
melalui pembentukan Forum Penataan Ruang (FPR), baik pada level pusat, provinsi
maupun kabupaten/kota. FPR ini beranggotakan unsur pemerintah, asosiasi
profesi, asosiasi akademisi dan tokoh masyarakat.
Beberapa terobosan kebijakan di atas
diharapkan mampu menempatkan RTR sebagai guidance pembangunan, mendukung
dan sinergis dengan iklim usaha sekaligus mampu mewujudkan tertib ruang. Namun
demikian, terdapat beberapa terobosan kebijakan yang dinilai hanya
mempertimbangkan ranah ekonomi dan mengesampingkan ranah sosial dan ekologis.
Terkait dengan hal tersebut, Kertas
Kebijakan Catatan Kritis terhadap UUCK (FH UGM, 2020) memuat beberapa hal yang
perlu diperhatikan, antara lain: (a) penghapusan perizinan, yang sebelumnya berupa izin pemanfaatan
ruang, izin lingkungan, hingga izin mendirikan bangunan diintegrasikan ke dalam
perizinan berusaha melalui mekanisme KKPR berdasarkan pada peta RDTR. Mekanisme
ini dikhawatirkan mereduksi kompleksitas dan realitas sosial di lapangan yang
berpotensi memunculkan konflik; (b) hilangnya kewajiban penyusunan dan validasi
KLHS dalam penyusunan RDTR, dikhawatirkan aspek lingkungan terabaikan; (c)
penghilangan kriteria kawasan hutan minimal 30% dalam RTRW, berpotensi mengurangi
luas Kawasan hutan demi kepentingan investasi; (d) penambahan satu kriteria untuk melakukan
peninjauan kembali tata ruang kurang dari 5 (lima) tahun karena adanya perubahan
kebijakan nasional yang bersifat strategis; (e) adanya pengurangan ruang
partisipasi masyarakat, dalam penyusunan dan penetapan RDTR, karena RDTR cukup ditetapkan
dengan peraturan kepala daerah; dan (f) adanya perubahan pengenaan sanksi yang lebih
mengarah kepada sanksi administratif.
Hal-hal
di atas perlu diletakkan sebagai bagian dari upaya produktif dan konstruktif
agar penyelenggaraan penataan ruang mampu mendukung kepentingan investasi
tetapi tetap berorientasi pada terwujudnya tertib ruang menuju pembangunan
berkelanjutan. Oleh karena itu beberapa hal perlu dilakukan, seperti: (a) terobosan
kebijakan terkait penyusunan dan penetapan RTR perlu direspon secara serius
melalui peningkatan kualitas RTR; (b) kemudahan pemanfaatan ruang melalui KKPR,
perlu dijawab melalui proses-proses konfirmasi dan persetujuan yang inklusif
dan taat azas; (c) pembentukan dan optimalisasi Forum Penataan Ruang untuk
menguatkan partisipasi publik dalam penataan ruang; (d) keterbukaan data dan
informasi terkait penataan ruang, utamanya untuk kepentingan investasi agar
publik dapat terlibat dalam pengendalian dan pengawasan; dan (e)
mengarusutamakan penataan ruang sebagai upaya bersama untuk mewujudkan tertib
ruang dan pembangunan berkelanjutan.
Mantap Pak
BalasHapusTerima kasih untuk ilmunya Pak
BalasHapus