PERCEPATAN
LEGALISASI ASET:
Proyeksi
Kebutuhan Petugas Ukur dan Pemanfaatan Teknologi Pengukuran
Di
Kantor Pertanahan Kabupaten Tabanan
Oleh:
Sutaryono,
dkk[1]
Pendahuluan
Salah satu agenda strategis nasional dalam pengelolaan
pertanahan adalah legalisasi aset. Legalisasi aset ini pada prinsipnya berupa
pendaftaran tanah untuk seluruh bidang-bidang tanah yang ada di Indonesia.
Selama ini pemerintah melalui Badan Pertanahan Nasional telah melakukan
berbagai upaya untuk mempercepat pendaftaran tanah. Pada dekade 1990-an dengan
suport pembiayaan dari AusAID dan Bank Dunia dilaksanakan Proyek Administrasi
Pertanahan atau Indonesian Land Projek
Adminidtration (ILAP). Program ini bertujuan
untuk: (1) mempercepat pasar tanah yang cepat dan efisien; (2) meredakan
konflik sosial atas tanah melalui pendaftaran tanah; (3) mendukung upaya mengembangkan kebijakan-kebijakan manajemen pertanahan
dalam jangka panjang. Program tersebut dilanjutkan kembali pada tahap kedua
2004-2009) dengan Land Management and policy
Development Program (LMPDP) yang lebih fokus pada penguatan kelembagaan dan pensertipikatan
tanah.
Kebijakan pengelolaan pertanahan yang melibatkan Bank
Dunia dalam program pendaftaran tanah tersebut, diawali dengan perubahan
kebijakan pendaftaran tanah yang semula dilakukan dengan mendasarkan pada PP
Nomor 10 Tahun 1961 di gantikan dengan PP Nomor 24 Tahun 1997 Jo. PMNA/Ka. BPN
Nomor 3 Tahun 1997. Perubahan regulasi kebijakan pendaftaran tanah tersebut,
memberikan jalan bahwa proses pendaftaran tanah dapat dilakukan dengan lebih
mudah dan praktis. Kemudahan dalam proses pendaftaran tanah dengan difasilitasi
dari pendanaan Bank Dunia tersebut telah menghasilkan kurang lebih 1.862.968
sertipikat dalam rentang waktu 1995-2001, dengan wilayah pendaftaran tanah
di 47 Kab/Kota, yang terletak di 5 provinsi Pulau Jawa, yakni
Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, DIY dan Jawa Timur.
Namun demikian kedua kebijakan tersebut di atas tidak/belum
mampu menyelesaikan pendaftaran tanah di
seluruh Indonesia. Bahkan hingga saat ini jumlah bidang tanah yang terdaftar
baru berkisar 46% dari seluruh bidang tanah di Indonesia, yang diperkirakan
mencapai 100 juta bidang.
Berkenaan dengan hal di atas maka penempatan agenda
legalisasi asset menjadi agenda strategis BPN pada tahun 2013 ini merupakan
langkah tepat dan strategis. Persoalan yang kemudian muncul adalah bagaimana
ketersediaan sumberdaya manusia di bidang pengukuran dan ketersediaan peralatan
(teknologi) untuk mempercepat proses legalisasi aset? Pertanyaan selanjutnya
adalah, bagaimana peran Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional (STPN) dalam
penyediaan sumberdaya manusia di bidang pengukuran? Paper singkat ini mencoba
mengelaborasi kebutuhan petugas ukur berdasarkan beban kerja, sekaligus
mencermati peran STPN yang harus dimainkan dalam penyediaan sumberdaya manusia
di bidang pengukuran.
Beban
Kerja Pengukuran & Pemetaan Secara Nasional
Data tahun 2012 menunjukkan bahwa Peta Dasar
Pertanahan baru meng-cover sekitar 11% dari luas wilayah seluruh Indonesia, yang terkonsentrasi
di wilayah perkotaan. Sementara itu pada
tahun yang sama, bidang-bidang tanah yang terdaftar baru mencapai sekitar 44
juta bidang (44%), dari lebih dari 100 juta bidang tanah di seluruh wilayah
Indonesia[2].
Apabila diasumsikan pada tahun 2013 ini terdaftar sejumlah 2 juta bidang, maka
total tanah yang sudah terdaftar mencapai 46 juta bidang (46%). Kondisi ini
menunjukkan bahwa beban kerja pengukuran dan pemetaan bidang-bidang tanah di
seluruh Indonesia masih sangat tinggi.
Beban ini terasa semakin berat apabila dilihat
dengan ketersediaan petugas ukur di BPN. Jumlah Petugas Ukur BPN RI tahun
lalu hanya 2.167 orang. Jumlah ini
kurang dari separuh kebutuhan secara nasional, yang mencapai 5.681 orang,
Apabila data ini valid, berarti masih kekurangan 3.514 orang[3]. Data ini belum memperhitungkan petugas ukur yang memasuki masa pensiun,
yang diperkirakan mencapai 80 orang per tahun.
Apabila disimulasikan, perkiraan penyelesaian
pengukuran dan pemetaan bidang-bidang tanah di seluruh wilayah Indonesia (tanpa
menambah petugas ukur) adalah sebagai berikut:
1. Jumlah
petugas ukur sebanyak 2.167 orang, dengan produktivitas 3 – 5 bidang/hari.
2.
Dengan produktivitas maksimal, maka dalam satu
tahun (200 hari kerja), bidang-bidang yang terukur dan terpetakan mencapai
(2.167 org x 5 bidang x 200 hari) = 2.167.000 bidang.
3.
Untuk menyelesaikan seluruh bidang yang ada
dibutuhkan sekurang-kurangnya selama 24 tahun.
4.
Untuk mempercepat penyelesaian pengukuran dan
pemetaan secara nasional, pemenuhan kebutuhan petugas ukur mutlak diperlukan.
Apabila akan diselesaikan dalam waktu 10 tahun, maka setiap tahun harus
menyelesaikan sekitar 5,4 juta bidang. Pekerjaan sebanyak ini membutuhkan
sekitar 5.113 – 6.818 petugas ukur.
Berkenaan
dengan hal tersebut, tepat kiranya ketika Kepala BPN RI dalam berbagai
kesempatan mengemukakan percepatan legalisasi aset, yang secara teknis berisi
pengukuran dan pemetaan bidang-bidang tanah. Bahkan pada saat STPN memberikan
progress report secara khusus kepada Kepala BPN RI pada tanggal 17 Juli 2013, muncul
gagasan tentang perlunya strategi percepatan pengukuran dan pemetaan dengan
memberdayakan lulusan Program Diploma I Pengukuran dan Pemetaan Kadastral STPN-
yang saat ini mencapai sejumlah 1.675 lulusan yang belum terserap oleh BPN.
Berkenaan
dengan agenda percepatan ini pula, telah dikeluarkan Peraturan Kepala BPN
tentang Surveyor Berlisensi, yang hingga saat ini salinannya belum diperoleh.
Regulasi ini merupakan upaya melibatkan swasta untuk ikut serta mempercepat
proses pengukuran dan pemetaan bidang-bidang tanah.
Beban
Kerja Pengukuran & Pemetaan Kantor Pertanahan Kabupaten Tabanan
Beban
pekerjaan pengukuran dan pemetaan di Kantor Pertanahan Kabupaten Tabanan dari
tahun ke tahun semakin meningkat, dan memerlukan penyelesaian tepat waktu dengan
tingkat ketelitian yang tinggi, mengingat berkaitan dengan kepastian hukum
obyek hak atas tanah. Kondisi ini, tentu memerlukan kuantitas dan kualitas
petugas ukur yang memadai. Namun demikian realitas menunjukkan hal yang
berbeda. Secara kuantitas saja, jumlah petugas ukur yang tersedia tidak
sebanding dengan beban kerja yang dihadapi.
Beban kerja pengukuran dan pemetaan dari
program strategis pertanahan di Kantor Pertanahan
Kabupaten Tabanan dalam 3 (tiga) tahun terakhir terus bertambah. Tahun
2012, beban pekerjaan yang harus diselesaikan mencapai
4.000 bidang (Prona). Pada tahun 2013 ini bertambah mencapai 5.250 bidang, yang terdiri dari: (a) prona 4.250 bidang; dan (b) IP4T 1.000 bidang. Pada
tahun 2014 yang akan datang, beban kerja bertambah menjadi 5.800
bidang, yang terdiri dari: (a) prona 4.500 bidang; (b) UKM
100 bidang; (c) pertanian 100 bidang; (d) nelayan
100 bidang; dan (e) IP4T 1.000 bidang.
Beban kerja di atas merupakan beban kerja dengan skema
proyek. Apabila ditambah dengan beban pengukuran dan pemetaan dari permohonan
pelayanan rutin yang mencapai rata-rata 7.000 bidang setiap tahunnya, maka beban kerja petugas ukur akan semakin besar dan sulit tertangani
dengan baik.
Beban kerja yang semakin
meningkat tersebut hanya didukung oleh jumlah petugas
ukur yang terbatas, yakni 11 (sebelas)
orang petugas ukur PNS, dibantu oleh 8 (delapan) orang tenaga magang (6 orang
tamatan D1 PPK STPN dan 2 orang S1 Teknik Geodesi).
Artinya perbandingan beban pekerjaan
pengukuran dan pemetaan dengan jumlah ketersediaan petugas ukur pada
Tahun 2013 ini adalah:
5.250 (proyek) + 7.000 (rutin)
11 petugas
Beban tersebut menunjukkan bahwa
setiap petugas ukur harus menyelesaikan 93
bidang/orang pada setiap bulannya. Hal ini memberikan gambaran bahwa penyelesaian pekerjaan
pengukuran dan pemetaan akan selalu bertambah karena banyaknya
tunggakan pekerjaan dari yang terakumulasi dalam setiap
tahunnya, mengingat medan yang relatif sulit. Sebagai contoh, pada medan yang
relatif mudah, kemampuan petugas ukur mencapai 3 - 5 bidang/hari, tetapi dalam
medan yang relatif sulit hanya mampu menyelesaikan 2 – 3 bidang/hari. Berikut
adalah fakta riil yang dijumpai di lapangan:
1.
Pengukuran dan pemetaan dilakukan oleh 13 petugas ukur,
yang terbagi menjadi 3 tim.
2.
Pengukuran di Desa Manik selama 12 hari, menghasilkan 350
bidang, sehingga produktivitasnya sebesar 29 bidang/hari atau 2,24
bidang/orang.
3.
Pengukuran di Desa Senganan selama 6 hari , menghasilkan
199 bidang, produktivitas mencapai 33 bidang/hari atau 2,54 bidang/orang.
4.
Produktivitas kerja secara keseluruhan mencapai 31
bidang/tim/hari atau setara dengan 2,38
bidang/orang/hari (52 bidang/bulan).
Berdasarkan data ini, ternyata 11 petugas ukur dalam 1 bulan (22 hari)
hanya mampu menyelesaikan (11 org x 2,38 bdg x 22 hari) bidang = 576 bidang.
Dalam satu tahun mampu menyelesaikan (576 bidang x 12 bulan) = 6.912
bidang. Hal ini berarti tunggakan pada tahun 2013 diperkirakan sekitar (12.250
– 6.912) bidang = 5.338 bidang.
Dengan produktivitas yang kurang lebih sama, maka untuk menyelesaikan
tunggakan tersebut dibutuhkan tambahan sekurang-kurangnya 8 petugas ukur (5.338 : 52 bidang/bulan : 12 bulan).
Pemanfaatan 13 mahasiswa STPN selama 18 hari, ternyata mampu mempercepat pekerjaan
sebesar 10.28%.
Apabila dilakukan selama 30 hari kerja, mampu mempercepat hingga 17,4%.
Regulasi Pemerintah dalam Pengadaan SDM Surveyor Berlisensi
Dalam rangka percepatan pendaftaran
tanah, khususnya pelaksanaan kegiatan pengukuran dan pemetaan. Kebijakan
pemerintah untuk pengadaan dan penambahan SDM melalui mekanisme rekruitmen PNS
terkendala dengan keterbatasan
formasi. Untuk
itu kehadiran juru ukur berlisensi dalam hal ini surveyor
berlisensi dan asisten surveyor berlisensi,
menjadi salah satu upaya memenuhi kebutuhan juru ukur.
Regulasi terkait dengan pengadaan dan penambahan juru
ukur dalam lingkungan Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia melalui Peraturan Menteri Negara
Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 2 Tahun 1998 tentang Surveyor
Berlisensi Jo. Keputusan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan
Nasional Nomor 8 Tahun 1998 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Menteri
Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 2 Tahun 1998 tentang
Surveyor Berlisensi, belum berjalan optimal karena permohonan pengukuran batas
bidang tanah dari masyarakat lebih banyak diajukan melalui Kantor Pertanahan. Masyarakat belum terlalu percaya dan tidak terbiasa dengan keberadaan
Surveyor Berlisensi dan asisten surveyor berlisensi. Kemudian mekanisme
pelayanan pengukuran maupun aturan main dalam melaksanakan pekerjaan pelayanan
secara langsung kepada masyarakat oleh surveyor berlisensi maupun asisten
surveyor berlisensi masih belum berjalan secara efektif, masih terkendala
dengan rumitnya birokrasi seperti yang tercantum dalam Peraturan Menteri
Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan
Nasional Nomor 2 Tahun 1998 Jo. Keputusan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan
Pertanahan Nasional Nomor 8 Tahun 1998. Dalam regulasi tersebut terdapat
kewajiban Assisten Surveyor berlisensi harus menginduk pada Surveyor
berlisensi. Asisten surveyor berlisensi tidak dapat melayani permohonan
pengukuran secara mandiri. Dan Surveyor berlisensi haruslah berbadan hukum. Dengan
beberapa permasalahan di
atas ternyata regulasi pemerintah di bidang profesi surveyor berlisensi untuk mempercepat kegiatan
pendaftaran tanah tidak disambut dengan baik oleh kalangan swasta. Maka dengan
dikeluarkannya Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional tentang Surevyor
Berlisensi yang baru, diharapkan kendala – kendala birokratis serta reward yang akan
diperoleh lebih menjanjikan. Sehingga menumbuhkan
minat kalangan swasta untuk berperan dalam pembangunan dan percepatan kegiatan
pendaftaran tanah. Inti sari dari perkaban yang baru ini adalah menggunakan
mekanisme pengadaan barang dan jasa untuk mengakomodir keterlibatan surveyor
berlisensi dan assisten surveyor berlisensi. Serta dapat menerima pekerjaan
pengukuran dan pemetaan secara mandiri tanpa harus memiliki badan hokum untuk
pekerjaan pengukuran dan pemetaan dengan nilai pembiayaan pada batas tertentu. Keterlibatan
peran swasta ini menjadi penting, khususnya untuk menyongsong pelaksanaan
kadaster masa depan yaltu kadaster 2014. Terutama pernyataan ke 5 kadaster 2014
yaitu Kadaster 2014 akan lebih banyak
diprivatisasi. Kerja sama sektor swasta dan pemerintah akan semakin
erat.
Penyediaan SDM Pengukuran dan Pemetaan oleh STPN
Kebutuhan sumberdaya manusia di bidang
pengukuran dan pemetaan kadastral dapat dipenuhi dengan menambah petugas ukur
dengan kualifikasi Sarjana Geodesi dan lulusan Diploma I PPK STPN. Berdasarkan
statusnya, petugas ukur dibagi
menjadi dua, yakni PNS dan Non PNS.
Petugas Non PNS terbagi menjadi
surveyor kadastral dan asisten surveyor kadastral. Kompetensi asisten surveyor
kadastral sebatas memiliki keahlian di bidang pengukuran dan pemetaan kadastral
sedangkan surveyor kadastral memiliki keahlian tambahan yaitu mampu
mengorganisasikan
pekerjaan pengukuran dan pemetaan kadastral. Kedua-duanya diberi kewenangan
untuk melakukan pekerjaan pengukuran dan pemetaan kadastral dalam rangka
pendaftaran tanah.
Dalam kesempatan ini akan dikemukakan
penyediaan petugas ukur oleh STPN melalui pendidikan Program D-I Pengukuran dan
Pemetaan Kadastral. Hingga saat ini STPN telah menghasilkan sejumlah 3.912
lulusan DI PPK. Dari jumlah tersebut, sebanyak 2.237 lulusan telah menjadi PNS
di lingkungan BPN dan sisanya sebanyak 1.675 lulusan belum terserap. Di sisi
lain secara keseluruhan BPN kekurangan petugas ukur lebih dari 3.500 orang.
Dengan demikian, maka penambahan jumlah rekrutmen petugas ukur dengan
kualifikasi DI PPK menjadi hal penting untuk dilakukan. Permasalahannya adalah,
formasi PNS harus mendapatkan persetujuan dari Kementerian PAN dan RB.
Apabila melalui rekrutmen PNS tidak
dapat dilakukan, maka pemberdayaan lulusan DI PPK STPN dapat dilakukan dengan
mendasarkan pada Perpres No. 54/2010 tentang Pengadaan Barang dan Jasa, yang
membuka peluang bagi mereka untuk dikontrak sebagai pihak
ke-tiga. Di
samping itu juga dapat dilakukan melalui surveyor berlisensi, sebagaimana
diatur melalui peraturan kepala BPN.
Penyediaan SDM untuk mempercepat
pengukuran dan pemetaan bidang juga dapat dilakukan dengan memberdayakan
Mahasiswa Program Diploma IV Pertanahan. Pemberdayaan ini dapat dilakukan
melalui program terstruktur sebagaimana terdapat dalam kurikulum (Praktik Kerja
Lapangan & KKPPT) maupun memanfaatkan waktu di luar perkuliahan setiap
semester, sebagaimana dilakukan oleh Kantor Pertanahan Kabupaten Tabanan.
Untuk
menjaga kualitas SDM Pengukuran dan Pemetaan, STPN telah dan akan melakukan
berbagai langkah perbaikan seperti:
- Melakukan revisi kurikulum secara kontinyu, mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta mengikuti perkembangan kebutuhan kelembagaan BPN;
- Melakukan akreditasi program studi (D-I PPK dan D-IV Pertanahan, keduanya sudah terakreditasi), sebagai jaminan mutu eksternal;
- Menerapkan Nilai Matematika Minimal 7,50, dengan tinggi badan minimal 160 untuk wanita dan 165 untuk pria dalam rekrutmen calon mahasiswa DI-PPK Tahun 2013;
- Penyiapan Lulusan Program Diploma IV Pertanahan harus ber-IPK minimal 2,75 (Tahun 2014)
- Penyiapan Penerapan TOEFL minimal 400, sebagai syarat kelulusan (Tahun 2014).
- Menerapkan sistem pendidikan boarding school yang memungkinkan peserta didik fokus dalam pembelajaran dan dapat dimobilisasi secara cepat untuk berbagai kebutuhan.
Hal-hal
di atas dilakukan semata-mata untuk memastikan bahwa lulusan STPN mempunyai
bekal yang memadai untuk mengemban tugas-tugas pertanahan, termasuk di dalamnya
adalah pengukuran dan pemetaan.
Pemanfaatan
Teknologi dalam Percepatan Pengukuran dan Pemetaan
Dalam
Percepatan Legalisasi
Aset, khususnya di bidang pengukuran dan pemetaan selain
penambahan SDM Pengukuran dan Pemetaan juga dapat memanfaatkan teknologi
pengukuran dan pemetaan. Perkembangan teknologi pengukuran dan pemetaan dewasa
ini telah berkembang dengan pesat. Teknologi pengukuran dan pemetaan sudah
mengarah pada otomatisasi survey. Teknologi analog sudah mulai ditinggalkan.
Menurut UU No. 4 Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial dan PMNA No. 3 Tahun
1997 tentang pelaksanaan PP 24 Tahun 1997, metode pengukuran dan pemetaan dalam
bidang kadastral dibagi dalam 3 metode yaitu Metode Instrumen Ukur yang ada di
darat (Terestris), Instrumen Ukur di air, Instrumen Ukur di Udara dan angkasa
(Fotogrametris) serta perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan.
1.
Instrumen Ukur yang ada di darat
Beberapa peralatan pengukuran dan pemetaan yang
menggunakan instrumen ukur di
darat contohnya Elektronik Total Station (ETS),
Teodolit Digital, Teodolit EDM dan Receiver GPS. Penggunaan alat/instrumen ukur di darat ini surveyor harus turun
kelapangan untuk langsung mengukur batas – batas bidang tanah, baik berupa data
jarak, sudut maupun langsung koordinat titik batas bidang tanah tersebut.
Penggunaan ETS robotic sangat membantu mempercepat pengukuran dan dapat
dilakukan secara efisien karena hanya memerlukan satu surveyor saja. Tetapi
tingkat keamanan alat tidak terjamin 100%. Teknologi pemanfaatan Receiver GPS
sudah berkembang dengan pesat seperti metode RTK – CORS maupun RTK dengan
gelombang radio. Ketelititan yang diperoleh sampai pada taraf fraksi cm. Perkembangan
teknologi terbaru memanfaatkan WADGPS System, yaitu menggunakan base station
yang dibangun oleh pemilik system yang memberikan koreksi pengukuran melalui
satelit komunikasi. Ketelitian yang diperoleh sampai dengan 10 cm. Pengguna
tidak lagi membangun base station di
kantor pertanahan. Tetapi pengguna harus berlangganan untuk memperoleh servis
koreksi data ukuran.
2.
Instrumen Ukur di air
Instrumen Ukur di Air ini digunakan untuk kegiatan
pengukuran dan pemetaan hidrografi, baik topografi dasar perairan (Laut, danau,
sungai dll) maupun tinggi rendahnya permukaan air. Untuk kepentingan pengukuran
kadaster darat tidak diperlukan. Metode Instrumen Ukur di Air ini contohnya: echosounder, secchi-disc, dan water-checker. Pemanfaatan alat ukur ini untuk kepentingan Kadaster
Kelautan atau Marine Kadaster.
3.
Instrumen Ukur di Udara dan Angkasa
Metode Instrumen Ukur di Udara dan Angkasa contohnya Peralatan yang dipasang pada
wahana terbang seperti kamera, sensor radar, dan sensor lidar. Sangat
sesuai untuk memperoleh peta skala sedang/menengah,untuk kepentingan
perencanaan wilayah yang tidak terlalu luas ataupun skala besar untuk
pengukuran dan pemetaan pertanahan. Peralatan selalu dibantu menggunakan wahana
yang dapat terbang di udara: pesawat terbang, Gantole, pesawat terbang remote control dll. Kantor Pertanahan
Batam berencana menggunakan wahana terbang: kamera foto udara yang dipasang
pada pesawat nir awak yang dikendalikan dengan remote control untuk kegiatan pelayanan pertanahan. Hanya saja uji
ketelitian yang diperoleh belum ada. Tetapi kemungkinan untuk memberikan
informasi keruangan sangat baik. Pemanfaatan teknologi Inderaja juga
memungkinkan, data spasial google earth
pada wilayah tertentu juga sudah memenuhi standart pemetaan pelayanan
pertanahan. Penggunaan citra satelit quic
bird, Geo eye1 dan world view yang mencapai resolusi
spasial 0.5 meter cukup baik dan memenuhi standart pemetaan pelayanan
pertanahan.
Perkembangan
teknologi dan ilmu pengetahuan pemetaan saat ini masih berkutat di bidang ekstraterestis atau pemanfaatan teknologi satelit untuk penentuan
posisi di muka bumi seperti CORS dan WADGPS. Adapun pengembangan teknologi foto
udara digital menuju pada foto udara digital small format. Pemanfaatan
teknologi gelombang microwave seperti
LIDAR juga berkembang sangat pesat. Hanya sayang teknologi ini kurang sesuai untuk kepentingan
pertanahan khususnya kadaster.
Untuk
mempercepat proses pengukuran dan pemetaan, pilihan terhadap instrumen yang
digunakan menjadi penting, mengingat karakteristik dan spesifikasi instrumen
pengukuran berbeda-beda. Melihat topografi Kabupaten Tabanan seperti melihat Daerah Istimewa Yogyakarta, sangat bervariasi mulai dari bentuk bentang lahan
pegunungan, dataran rendah sampai pesisir ada semua. Maka untuk mempercepat
kegiatan pengukuran dan pemetaan dapat menyesuaikan dengan bentuk bentang
lahan/topografi wilayah yang akan dipetakan:
1. Daerah Pegunungan
Menggunakan
Teknologi ekstraterestris: CORS atau WADGPS atau bisa juga menggunakan foto
udara dengan wahana pesawat udara nir
awak (harus dilengkapi dengan data DEM, untuk proses pemetaan agar memperoleh
ketelitian sesuai spesifikasi teknis pengukuran dan pemetaan kadaster).
2. Daerah Dataran Rendah dan Pesisir
Semua metode pengukuran dengan instrumen yang ada di
darat maupun udara bahkan angkasa dapat digunakan. Teknologi pemanfaatan foto
udara dengan menggunakan pesawat udara nir awak sangat mendukung untuk percepatan pengukuran dan pemetaan dan
memperoleh informasi data terkini/terbaru.
Penutup
Berbagai
upaya percepatan pengukuran dan pemetaan yang merupakan prasyarat penting dalam
legalisasi aset perlu secara maksimal dilakukan. Penambahan kuantitas dan
kualitas petugas ukur mutlak diperlukan, baik melalui mekanisme rekrutmen PNS,
surveyor berlisensi, pengadaan barang dan jasa maupun melalui pemberdayaan
lulusan DI-PPK dan Mahasiswa D-IV Pertanahan STPN dengan mekanisme sesuai
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pilihan penggunaan instrumen
pengukuran perlu dilakukan dengan mempertimbangkan lokasi berdasarkan
karakteristik wilayah (kondisi medan), perkembangan wilayah
(perdesaan-perkotaan) serta kepadatan penduduk dan bangunan.
Kajian proyeksi kebutuhan sumberdaya
manusia di bidang pengukuran perlu dilakukan secara lebih mendalam, untuk
memberikan masukan dalam pengambilan kebijakan terkait percepatan legalisasi
aset secara nasional. Berbagai inisiasi lokal (daerah) yang menunjukkan
keberhasilan (success story) perlu
dikampanyekan agar menginspirasi pimpinan di pusat dalam pengambilan kebijakan.
izin bertanya pak,
BalasHapus1. untuk kebutuhan Petugas Ukur sebesar 3514 data nya apa sudah valid??
2. apakah permasalahan nya adalah di pemerataan Petugas Ukur di Indonesia? seperti kejadian menumpuknya PNS di Pulau Jawa daripada di daerah Luar Jawa Pak?
3. Toh jikalau kebutuhan Petugas sudah terpenuhi sebesar 3514, bagaimana dengan eksistensi STPN pak baik D1 dan D4 mengingat D4 alumni D1?
mohon pencerahannya Pak Guru..
Silahkan Mas...smoga sll sehat & tetap semangat
Hapus1. Data dari Bagian Pengembangan Kepegawaian, 2012....jadi apabila saat ini, pasti sudah tidak valid. Bisa jadi kebutuhannya lebih banyak lagi.
2. Tidak sekedar itu, tetapi zero growth pegawai di BPN sejak tahun 2000-an menjadi penyebab utama
3. Tetap saja, sepanjang kementerian ATR/BPN menghendaki, karena pekerjaan kementerian tidak sekedar pengukurandan pemetaan atau pendaftaran tanah saja. Banyak hal yg musti dibenahi....nah, dalam hal ini akan lebih bagus apabila STPN ditempatkan sebagai bagian dari penataan dan pengembangan SDM di Kementerian ATR/BPN.....
Demikian Mas, semoga kita selalu diberikan kesehatan dan kemudahan segala urusan, amin.