Oleh:
Dr. Sutaryono
Dosen pada Sekolah Tinggi Pertanahan
Nasional (STPN dan
Prodi Pembangunan Wilayah, Fakultas
Geografi UGM, di Yogyakarta
Kontestasi
politik menjelang 2014, eskalasinya cenderung meningkat. Gaya memikat yang
dilakukan Jokowi- dengan ikon blusukan-
baik pada masa pengenalan diri dan program-programnya, maupun dalam keseharian
memimpin pemerintahan menjadi ‘inspirasi’ bagi banyak aktor yang berkeinginan
menjadi lebih populer dan sukses dalam perhelatan demokrasi sebagaimana sosok
Jokowi. Maka tidak perlu heran apabila saat ini dan nanti muncul apa yang
disebut Sahabat saya Riawan Tjandra sebagai ‘Kloning Gaya Jokowi’ (Koran Tempo,
14-08-2013).
Gaya
Jokowi pada dasarnya dapat dilakukan oleh semua pemimpin, apabila benar-benar
memahami dan memaknai bahwa sejatinya kekuasaan akan didedikasikan dan
diabdikan untuk rakyat atau terminologi tepatnya adalah Tahta Untuk
Rakyat. Terminologi ini mengingatkan
kembali sosok raja yang merakyat dengan dedikasi
dan komitmen luar biasa untuk rakyat dan bangsa Indonesia, Sri Sultan HB IX. Buku
“Takhta Untuk Rakyat”
(suntingan Atmakusumah), mengelaborasi bagaimana tahta betul-betul
didedikasikan untuk rakyat dan Bangsa Indonesia. Tahta
untuk rakyat dan bangsa Indonesia tergambar secara jelas pada tulisan berjudul
‘Apa yang Akan Terjadi dengan Republik Jika Tidak Ada Hamengku Bowono IX?’
tulisan Mohamad Roem pada buku di atas. Tidak ada yang menyangsikan peran
Sultan HB IX bagi rakyat dan bangsa ini, sehingga apa yang disebut dengan Tahta
Untuk Rakyat adalah kebenaran sejarah.
Ngersodalem Sultan
telah memperagakan dan mencontohkan perwujudan tahta untuk rakyat, baik secara
personal maupun secara kelembagaan melalui kraton. Bahkan secara khusus
tanah-tanah Sultan (Sultan Grond-SG)
juga diorientasikan untuk rakyat dan bangsa ini. Secara nyata hingga saat ini
tanah-tanah Sultan banyak
dimanfaatkan untuk:
(1) tanah keprabon, merupakan tanah
Kasultanan yang dimanfaatkan untuk bangunan istana dan kelengkapannya; (2) rumah jabatan, tempat tinggal kerabat kraton, dan tanah-tanah yang
dikuasai atau diberikan kepada pihak ketiga dengan seijin kraton (dede keprabon); dan (3) kepentingan pemerintah dan masyarakat. Dalam hal ini secara historis, yuridis
dan sosiologis, sampai saat ini eksistensi tanah Sultan
masih ada
dan diakui keberadaannya oleh pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat.
Masyarakat mengakui bahwa SG masih menjadi hak milik atau domein bebas dari
Kasultanan Yogyakarta yang dapat dimanfaatkan untuk
kepentingan pemerintah dan masyarakat.
Pertanyaan yang muncul kemudian adalah, bagaimana dengan Jokowi? Apakah benar Jokowi sedang
memperagakan perwujudan Tahta untuk Rakyat? Apabila ini benar, maka
‘reinkarnasi’ kepemimpinan di awal berdirinya republik ini sebagaimana statemen
Riawan Tjandra (Koran Tempo, 14-08-2013), mendapatkan konteksnya.
Hamemayu
Hayuning Bawana yang dimaknai sebagai kewajiban
melindungi, memelihara, serta membina keselamatan dunia, wilayah
dan masyarakatnya serta lebih mementingkan berkarya untuk masyarakat dari pada
memenuhi ambisi pribadi adalah filosofi dasar tahta untuk rakyat. Filosofi inilah
yang tampaknya secara konsisten dipegang, dihayati dan diimplementasikan ke
dalam kebijakan dan agenda kerja sejak menjabat sebagai Wali Kota hingga saat
ini sebagai Gubernur DKI Jakarta. Model blusukan
ala Jokowi dapat dimaknai sebagai simbol sekaligus manifestasi manunggaling kawulo gusti.
Apabila dilihat dengan kacamata the production of spaces-nya Lefebvre, model blusukan tersebut dapat dimaknai sebagai implementasi interaksi
pada tiga ruang sekaligus. Ruang atau spaces,
tidak hanya dimaknai sebagai ruang fisik belaka (phisycal spaces), tetapi
juga mental spaces dan social spaces, yang secara resiprokal
saling berkaitan dan mempengaruhi. Kehadiran secara fisik sosok pimpinan, pasti
mendapatkan apresiasi lebih dari masyarakat karena memberikan kesejukan,
kedekatan, kebersamaan dan empati yang mewujud. Inilah ruang fisik yang
diproduksi oleh Jokowi melalui blusukan.
Interaksi ruang fisik ini, secara langsung diikuti dengan interaksi ruang
mental. Mind set, pola pikir dan
benak segenap rakyat pasti mengikuti ‘atmosfer’ yang dibangun oleh Sang
Pemimpin saat berinteraksi secara wadaq. Nuansa
kebersamaan inilah yang memberikan kekuatan interaksi ruang mental bagi ‘raja’
dan rakyatnya. Setelah berproses dan berproduksinya ruang fisik dan ruang
mental, tinggallah interaksi ruang sosial sebagai eksekutornya, mengingat
interaksi sosial inilah wujud nyata bahwa kekuasaan benar-benar diorientasikan
untuk rakyat.
Kita ingat betul bahwa kedatangan dan kemenangan Jokowi
menjadi orang nomor satu di DKI Jakarta dapat dibaca sebagai menyerang tanpa
pasukan, menang tanpa merendahkan, bahkan menggunakan kesaktian tanpa ajian dan
kekayaan tanpa kemewahan. Artinya Jokowi telah memainkan peran sebagai sosok
pimpinan yang betul-betul mempunyai etika seorang pemimpin, yang berkiprah
tanpa merendahkan pihak-pihak yang berseberangan, tanpa menggunakan pasukan
untuk menundukkan pihak-pihak yang akan diatur. Keberhasilan awal untuk menata
kawasan Tanah Abang tanpa hiruk pikuk yang berarti, menunjukkan hal itu. Tidak
digunakannya tradisi open house saat
lebaran, tetapi justru malah bertandang dan merayakan lebaran bersama rakyatnya
adalah bukti nyata wujud tahta untuk rakyat yang diperagakan Jokowi.
Hasil survey dari berbagai lembaga survey yang
menempatkan Jokowi sebagai calon presiden paling populer dan tawaran berbagai
partai politik terhadapnya untuk perhelatan tahun 2014, hanya direspon dengan
senyuman. Jokowi menyatakan ingin berkonsentrasi membenahi Jakarta. Keinginan
untuk tetap menjalankan tanggungjawabnya
sebagai gubernur ini dapat dimaknai bahwa dedikasi dan komitmen untuk rakyat
belum tergoyahkan. Inilah yang dimaknai sebagai Tahta untuk Rakyat ala Jokowi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar