KRITISNYA KONDISI PANGAN & AGRARIA[1]
Oleh:
Sutaryono[2]
Ketergantungan
Indonesia terhadap impor pangan saat ini semakin memprihatinkan. Impor pangan
masih terus terjadi dan volumenya semakin meningkat. Alasan utama kebijakan
impor masih berkutat pada pemenuhan kebutuhan masyarakat yang tidak sebanding
dengan produksi dalam negeri. Kondisi tersebut, pada dasarnya sudah diketahui
dan dipahami oleh pemerintah sejak satu dekade yang lalu.
Dokumen Rencana Aksi Pemantapan
Ketahanan Pangan 2005-2010 yang disusun oleh Kementerian Pertanian,
telah menunjukkan hal itu. Arah pengembangan dan sasaran lima komoditas pangan
utama, yaitu mempertahankan swasembada padi berkelanjutan, serta mencapai
swasembada untuk komoditas jagung (tahun 2007), kedelai (tahun 2015), gula
(tahun 2009) dan daging sapi (tahun
2010). Namun apa dikata, alih-alih swasembada, mengurangi impor saja adalah hal
sulit, mengingat tidak adanya peningkatan produksi.
Khusus komoditas kedelai, persoalan kelangkaan dan
mahalnya harga, hampir satu tahun ini belum juga terselesaikan. Tahun 2004
jumlah import-nya sebesar 64,86% dari kebutuhan, tahun 2008 justru meningkat
menjadi 70%. Tahun ini, jumlah impor kedelai mencapai 1,7 juta ton/tahun, dari
total kebutuhan sebesar 2.4 juta ton (70,83%). Besarnya ketergantungan kedelai
dari negara lain inilah yang menjadikan melambungnya harga. Sementara ini,
kebijakan pemerintah untuk mengatasi kebutuhan kedelai dilakukan dengan
menghapuskan pajak bea masuk sampai akhir tahun. Tujuannya jelas, yakni
mencukupi kebutuhan kedelai dan menstabilkan harganya melalui peningkatan impor.
Komoditas
strategis lainnya seperti beras, jagung, gula dan daging sapi tidak jauh
berbeda dengan komoditas kedelai. Awal 2013, pemerintah optimis kebutuhan beras
tercukupi oleh produksi nasional. Namun demikian, realitasnya impor beras dalam kurun waktu Januari – Juni 2013 yang
dicatat BPS mencapai 239.000 ton. Komoditas jagung, kebutuhan impor tahun 2013
diperkirakan mencapai 2,8–3 juta ton. Lebih menyedihkan lagi adalah komoditas
gula untuk industri 100% (3,2 jutan ton/tahun) dipenuhi melalui impor,
sementara itu untuk kebutuhan konsumsi angka impornya mencapai 8% (0,2 juta
ton/tahun). Untuk memenuhi kebutuhan daging sapi setiap tahun mengimpor lebih
dari 200.000 ekor sapi.
Kondisi di atas
menunjukkan kritisnya kondisi pangan di negeri ini, yang tentu berkelindan
dengan kondisi agraria nasional. Pada
tahun 2013 ini jumlah petani mencapai 26,13 juta, di mana lebih dari separuhnya
menguasai lahan pertanian kurang dari 0,5 ha. Lebih dari itu, hal yang menjadi keprihatian bersama saat ini adalah
persoalan keadilan dan kesejahteraan agraria yang tidak kunjung dirasakan,
bahkan fenomena konflik agraria dan pertanahan masih marak. Inilah kritisnya
kondisi keagrariaan di Indonesia.
Mengapa? Saat ini masih dijumpai permasalahan keagrariaan
dan pertanahan, seperti: (1) tumpang
tindihnya regulasi di bidang keagrariaan dan pertanahan. Saat ini tercatat
sejumlah 632 regulasi berbagai level yang tumpang
tindih berkaitan dengan pengelolaan keagrariaan – pertanahan; (2)
terbatasnya akses masyarakat terhadap penguasaan dan pemilikan sumberdaya
agraria; (3) terdapatnya tanah terlantar ataupun diterlantarkan oleh pemegang
hak; (4) belum terwujudnya pendaftaran tanah secara menyeluruh, saat ini baru
terdaftar sekitar 46 juta bidang dari sekitar 100 juta bidang tanah yang ada;
(5) lambatnya penyelesaian sengketa, konflik dan perkara agraria – pertanahan.
Data yang dirilis BPN, akhir 2012 tercatat sejumlah 8.307 kasus, belum termasuk
sengketa dan konflik sumberdaya agraria lainnya (pertambangan, kehutanan,
perairan); (6) belum memadainya perlindungan terhadap hak-hak atas tanah bagi
masyarakat, termasuk hak ulayat masyarakat hukum adat; dan (7) belum adanya
lembaga penilaian tanah yang mampu memberikan penilaian secara adil, transparan
dan mendukung penguatan sistem perpajakan dan penilaian ganti rugi atas
tanah.
Kondisi kritis
pangan dan agraria ini perlu kita jadikan momentum mencari jalan keluar untuk
menyelesaikan banyak persoalan. Hal ini bisa kita mulai dari Yogya sebagai
daerah istimewa, dimana sudah tidak ada lagi konflik wilayah (KR, 16-9-3013).
Penyadaran pentingnya berdaulat atas pangan hanya bisa diwujudkan melalui
keadilan agraria dan keberpihakan kepada sektor agraris sebagai tumpuan sebagian
besar penduduk Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar