REFORMA AGRARIA:
Strategi Mereduksi Konflik Melalui Perluasan
Lapangan Kerja[1]
Oleh:
Sutaryono[2]
Email:
taryo_jogja@yahoo.com
HP.
08122958306, 085866888506
Pendahuluan
Reaktualisasi
Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) dapat dimaknai sebagai upaya
mengaktualisasikan kembali ‘roh’ regulasi tersebut dalam konteks kekinian untuk
mendukung terwujudnya visi tanah untuk keadilan dan kesejahteraan rakyat. Namun
demikian, reaktualisasi inipun tidak akan mendapatkan tempat yang memadai
apabila tanpa dibingkai dengan reforma agraria, mengingat misi utama yang
mengiringi kelahiran UUPA yang meliputi: (1) perombakan hukum agraria; (2)
pelaksanaan land reform; (3) penataan penggunaan tanah; (4) likuidasi hak-hak
asing dalam bidang agraria; dan (5) penghapusan sisa-sisa feodal dalam bidang
agraria, merupakan ‘spirit’utama
reforma agraria. Di mana reforma agraria dimaknai sebagai proses yang
berkesinambungan berkenaan dengan restrukturisasi penggunaan, pemanfaatan,
penguasaan dan pemilikan sumber-sumber agraria, terutama tanah yang mampu
menjamin keadilan dan keberlanjutan peningkatan kesejahteraan rakyat (BPN RI,
2007).
Dalam
konteks penyelesaian konflik pertanahan menuju terwujudnya harmoni sosial bagi
masyarakat Indonesia, Pidato Kepala BPN RI pada Peringatan Hari Agraria Nasiona
Tahun 2009 menyatakan bahwa reforma agraria dapat digunakan sebagai upaya
penyelesaian konflik pertanahan peninggalan masa lalu. Disamping itu reforma agraria menjadi mekanisme untuk mencegah lahirnya
sengketa dan konflik pertanahan yang baru (Joyo Winoto, 2009). Upaya ini sangat
memungkinkan untuk dapat terwujud apabila reforma agraria mampu menciptakan
perluasan lapangan kerja secara nyata.
Pada
akhirnya, reaktualisasi UUPA mendapatkan konteksnya apabila reforma agraria
dapat diimplementasikan secara menyeluruh di wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Implementasi reforma agraria ini menemukan maknanya apabila mampu
mereduksi konflik pertanahan dan sumberdaya agraria lainnya melalui perluasan
lapangan kerja yang dapat menjadi sumber penghidupan bagi sebagian besar
masyarakat yang menggantungkan hidupnya dari tanah dan sumberdaya agraria
lainnya.
Pembangunan
dan Konflik
Dalam konteks Ke-Indonesia-an,
hakekat pembangunan nasional adalah pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan
pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya. Ini berarti bahwa pembangunan
nasional bertujuan untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang merata
material dan spiritual berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 di
dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sampai saat ini tujuan
pembangunan tersebut masih di awang-awang, meskipun rejim Orde Baru yang
membidani lahirnya pembangunan nasional sebagai jargon pembangunannya telah
berkuasa lebih dari tiga dekade. Era reformasi yang ditandai oleh pergantian
rejim yang relatif lebih demokratis juga belum menunjukkan arah tercapainya
tujuan pembangunan. Bahkan terpilihnya SBY sebagai presiden untuk kedua kalinya
belum memberikan harapan bagi terwujudnya keadilan dan kesejahteraan rakyat
Indonesia. Hal ini dapat terlihat dari ‘luput’-nya perhatian presiden terpilih
terhadap isu reforma agraria. Bahkan klaim keberhasilan kepemimpinan SBY
2004-2009 dalam menjaga stabilitas politik, pemberantasan korupsi, terjaganya
keamanan daerah-daerah konflik, menurunnya angka kemiskinan dan pengangguran,
pertumbuhan ekonomi di atas 6 persen dan hubungan internasional yang semakin
diperhitungkan (Kompas, 21-6-2009), mengisyaratkan bahwa reforma agraria
sebagai sebuah strategi pembangunan belum merupakan suatu kebutuhan.
Pembangunan yang menekankan
pertumbuhan ekonomi ‘terlanjur’ dipilih menjadi strategi pembangunan selama ini,
diharapkan mampu mengatasi permasalahan ekonomi dan politik secara cepat.
Kebijakan itu tumbuh ketika growth paradigm yang ditawarkan
negara-negara barat sedang menjadi trend. Bahkan paradigma ini kemudian
berkembang menjadi ideologi untuk memecahkan keterbelakangan, ketertinggalan
dan kemiskinan. Karena diyakini bahwa pertumbuhan ekonomi yang tinggi mampu menciptakan
peluang kerja yang luas, yang pada akhirnya bermuara pada peningkatan
kesejahteraan.
Apabila ditelusur ke belakang,
pembangunan yang berorientasi pertumbuhan seakan mengesampingkan keadilan dan
kesejahteraan masyarakat banyak, termasuk di dalamnya adalah masyarakat pemilik
tanah. Betapa tidak, ketika pemerintah memberikan kemudahan dan keleluasaan
kepada investor atau pihak yang memiliki akses dan aset kekuasaan untuk
mengembangkan kapital-nya, pada saat itulah munculnya benih-benih konflik yang
bersumber dari diskriminasinya negara terhadap masyarakat pemilik tanah,
termasuk di dalamnya adalah masyarakat lokal.
Kebijakan pemerintah yang diskriminatif terlihat dari munculnya UU No. 1
tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing dan UU No. 5 tahun 1967 tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan, yang keduanya bertentangan dengan UUPA
(Undang-undang Pokok Agraria- UU No. 5/1960), sehingga UUPA tidak lagi menjadi
induk dari seluruh peraturan yang berlaku di bidang agraria (Fauzi, 1999). Dalam
konteks kekinian, kelahiran Undang-undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang
Pengelolaan Sumberdaya Air, Undang-undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Penetapan
Perpu Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan Undang-undang Nomor 41 tentang Kehutanan
menjadi Undang-undang, Undang-undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan
maupun Undang-undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir
dan Pulau-Pulau Kecil kembali mereduksi amanah UUPA. Artinya, pergantian rejim
penguasa selama ini, belum mampu memberikan regulasi yang mendorong upaya
keberpihakan pemerintah terhadap masyarakat melalui penguasaan hak atas tanah
secara berkeadilan dan berkelanjutan, melalui implementasi amanah UUPA.
Hal-hal di atas kemudian memunculkan
kesadaran bahwa pembangunan bukan lagi upaya untuk menuntaskan masalah
keterbelakangan dan kemiskinan tetapi pembangunan iti sendiri adalah biang
munculnya permasalahan-permasalahan sosial, ekonomi, politik dan kultural bagi
masyarakat bawah. Pembangunan yang diharapkan dapat memberikan pembebasan dari
berbagai bentuk dominasi dan ketertinggalan, ternyata menciptakan penindasan
dalam bentuk lain, termasuk di dalamnya adalah tersubordinasinya masyarakat
lokal dan pemilik tanah atau sumberdaya lainnya. Inilah kemudian yang menciptakan ‘nuansa’ konflik
terjadi di mana-mana.
Konflik dimaknai sebagai sesuatu
yang negatif, yang memunculkan ketegangan-ketegangan, disharmoni dan
konfrontasi. Hal ini disebabkan karena kedudukan orang-orang atau kelompok
dalam masyarakat tidaklah sama, ada pihak yang berkuasa dan memiliki kewenangan
luas dan ada pihak yang dikuasai dan tergantung pada pihak lain. Perbedaan
kedudukan ini berimplikasi pada perbedaan kepentingan yang saling kontradiktif,
sehingga konflik sosial tidak dapat dihindarkan. Kondisi ini adalah realitas
yang terjadi di masyarakat. Artinya, pada hakekatnya masyarakat terbagi menjadi
berbagai kelompok yang masing-masing mempunyai kepentingan. Integrasi sosial
dalam masyarakat hanya terjadi di permukaan saja. Sedangkan stabilitas sosial
yang terjadi merupakan kestabilan semu yang dihasilkan oleh pihak yang berkuasa
yang memaksakan kehendak demi kepentingannya terhadap pihak yang tidak memiliki
kekuasaan.
Menurut
Dorcey (dalam Mitchel, 1997) terdapat empat penyebab dasar konflik, yaitu: (1)
perbedaan pengetahuan dan pemahaman; (2) perbedaan nilai; (3) perbedaan alokasi
keuntungan dan kerugian; (4) perbedaan karena latar belakang personal dan
sejarah kelompok-kelompok yang berkepentingan. Keempat
penyebab dasar ini bekerja secara simultan dan saling mendukung. Perbedaan
persepsi dalam memaknai sesuatu akan mengakibatkan terjadinya perbedaan nilai,
demikian pula adanya perbedaan nilai dapat memunculkan perbedaan persepsi.
Sedangkan perbedaan latar belakang kepentingan biasanya dilandasi oleh
pemikiran ekonomistik yang mengedepankan perhitungan untung dan rugi. Perbedaan
persepsi, nilai, alokasi keuntungan dan latarbelakang kepentingan terhadap
makna pembangunan inilah yang menjadi embrio munculnya disharmoni sosial yang
berujung pada terjadinya konflik.
Konflik dan sengketa pertanahan menjadi sebuah fenomena, ketika
terjadi di hampir seluruh pelosok negeri. Baik yang disebabkan oleh
kolonialisme, kapitalisme, dominasi dan hegemoni negara maupun yang disebabkan
oleh perbedaan persepsi dan akses antar individu maupun kelompok dalam
masyarakat. Konflik pertanahan baik vertikal maupun horisontal seakan tidak
pernah ‘lelah’ mendera manusia yang berpijak di atasnya. Artinya, sangat
sedikit persoalan pertanahan yang berkembang menjadi konflik baik laten maupun
manifes yang berujung pada sebuah resolusi yang komprehensif dan mampu
mengakomodasikan semua pihak yang berkepentingan.
Pada tahun 2007, tercatat jumlah konflik dan sengketa pertanahan di
Indonesia mencapai 2.810 kasus. Dari jumlah tersebut, konflik dan sengketa
pertanahan yang terjadi didominasi oleh sengketa penguasaan dan pemilikan tanah,
mencapai lebih dari 60% kasus (Mulyanto, 2007). Secara lebih detail, persentase
konflik dan sengketa pertanahan berdasarkan tipologi dasar sengketa-nya dapat
dilihat pada diagram 1. Hal ini menunjukkan bahwa persoalan hak atas
tanah menjadi persoalan yang paling krusial, karena berhubungan langsung dengan
sumber kehidupan dan penghidupan bagi masyarakat yang berkecimpung pada sektor
pertanian.
Data yang lain menunjukkan bahwa jumlah sengketa
agraria di Indonesia sampai dengan tahun 2007 sebanyak 4.581 kasus, konflik
agraria sebanyak 858 kasus, dan perkara agraria yang sedang diproses di pengadilan
sebanyak 2.052 kasus (Panitia Hari Agraria Nasional, 2009).
Tampak jelas bahwa tingginya jumlah konflik dan
sengketa pertanahan menyebabkan tingginya jumlah luasan tanah objek sengketa
menjadi tidak produktif dan membatasi masyarakat untuk mendapatkan akses
terhadap tanah tersebut. Apabila dilihat dari oportunity loss yang
dimungkinkan terjadi dari luasan tanah objek sengketa dapat dilihat sebagai
berikut (Panitia Hari Agraria Nasional, 2009):
-
luasan
tanah produktif objek sengketa yang tidak dapat dimanfaatkan dan digunakan
secara optimal seluas: 607.886 ha.
-
nilai
ekonomi tanah yang menjadi objek sengketa sebesar: 6.078.860.000 m2 x Rp.
15.000,- (NJOP tanah paling rendah) = Rp. 91.182.900.000.000,-
-
perkiraan
opportunity lost dari tanah yang tidak termanfaatkan akibat status sengketa
tersebut mencapai Rp. 146,804 triliun.
Di
samping itu, disharmoni sosial pihak-pihak yang terlibat konflik dan sengketa
menjadi semakin massif dan meluas. Apabila hal ini tidak segera dapat
diselesaikan, maka kemungkinan munculnya konflik dan sengketa yang lebih luas
dapat terjadi. Konflik orang per orang dapat berkembang menjadi konflik antar
masyarakat, antar etnis maupun konflik sosial lainnya. Demikian pula konflik
antara orang dengan institusi- baik institusi pemerintah maupun swasta- dapat
menyebabkan berbagai pihak ikut terlibat. Demikianlah, konflik pertanahan
betapapun kecilnya, apabila tidak segera mendapatkan solusi, dimungkinkan
menjadi konflik sosial yang intensitasnya semakin besar.
Diagram 1. Proporsi Tipologi
Dasar Sengketa
(Sumber: Mulyanto, 2007)
Tantangan Perluasan Lapangan Kerja
Persoalan ketenagakerjaan, ketersediaan lapangan kerja, pengangguran, dan
kemiskinan adalah persoalan yang saling silang sengkurat dan menjadi beban luar
biasa bagi pemerintah di masa krisis sampai saat ini. Tingginya tingkat
pengangguran, sempitnya lapangan kerja dan tidak munculnya lapangan kerja baru
menjadikan persoalan ketenagakerjaan bergeser menjadi persoalan kemiskinan. Disisi
lain, masyarakat yang tidak tergolong sebagai pengangguranpun tidak cukup
berdaya menghadapi berbagai tekanan hidup yang berupa semakin mahalnya harga
kebutuhan pokok, biaya pendidikan dan biaya kesehatan. Produktivitas
rendah, pendapatan rendah, saving rendah dan investasi rendah- bahkan
tidak ada sama sekali – inilah yang menjadi ciri masyarakat miskin.
Persoalan
kemiskinan sebagaimana di atas diawali oleh persoalan pengangguran. Persoalan
pengangguran disebabkan paling tidak oleh tiga hal yang meliputi masalah pasar
kerja, tenaga kerja dan kesempatan kerja.
Pasar kerja berhubungan dengan
adanya unsur permintaan dan penawaran terhadap tenaga kerja. Tenaga kerja
berhubungan dengan kuantitas dan kualitas tenaga kerja yang tersedia. Sedangkan
kesempatan kerja berhubungan dengan ketersediaan lapangan kerja. Dalam konteks
ini, sebagai negara agraris, mungkinkah kebijakan reforma agraria menjadi satu
strategi dalam penyediaan dan perluasan lapangan kerja? Apabila mungkin, mampukah
perluasan dan penyediaan lapangan kerja di sektor pertanian mengurangi angka
kemiskinan? Apakah berkurangnya angka
kemiskinan mampu berperan dalam mereduksi konflik pertanahan? Pertanyaan-pertanyaan
inilah yang mesti dielaborasi lebih jauh, mengingat pengalaman di berbagai
negara – sebut saja Jepang, Taiwan, Korea Selatan, China dan Vietnam – telah
berhasil mentransformasikan struktur agraria ke dalam suatu sistem pertanian
individual yang mampu mengurangi kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan
rakyat (Griffin, et al. 2002), bahkan menjadi faktor penting yang
mendukung keberhasilan dalam proses industrialisasi (Kay, 2002). Tidak hanya di
negara-negara Asia, negara-negara di Amerika Latin-pun telah sejak lama
menerapkan kebijakan reforma agraria untuk memperbaiki struktur penguasaan lahannya,
sebut saja Meksiko, Nikaragua, Honduras, Brazil, Ekuador dan Peru pada awal
1970an. Bahkan negara-negara seperti Bolivia, Kolumbia dan Venezuela, genderang
reforma agraria masih bergaung hingga saat ini.
Persoalan kemiskinan dan
kelangkaan sumberdaya lahan bagi petani sebagaimana di atas sangat erat dengan
persoalan ketenagakerjaan. Keterbatasan
lahan garapan bagi angkatan kerja di perdesaan semakin meningkatkan angka
pengangguran. Hal ini telah disinyalir cukup lama sebagai permasalahan
ketenagakerjaan yang paling utama, yakni persediaan tenaga kerja lebih besar
dari kebutuhan tenaga kerja. Wujud dari permasalahan tersebut berupa: (a)
pengangguran dan setengah pengangguran; (b) kemiskinan; dan (c) keterbelakangan
(Suroto, 1992). Hal tersebut menunjukkan bahwa tidak tertampungnya angkatan
kerja pada lapangan kerja yang tersedia menjadi penyebab utama pengangguran,
yang pada akhirnya bermuara pada kemiskinan dan keterbelakangan.
Pada tahun 2006 (Kasto,2007),
terdapat sejumlah 106,3 juta angkatan kerja di Indonesia. Dari sejumlah itu terdapat 11,1 juta jiwa (10,4%)
pencari kerja atau sering disebut juga sebagai pengangguran terbuka. Jumlah
tersebut terdistribusi di perdesaan sebesar 5,28 juta jiwa (47,6%) dan di
perkotaan sebesar 5,82 juta jiwa (52,4%). Jumlah pengangguran ini akan
bertambah menjadi 41 juta orang, apabila digabung dengan angkatan kerja yang
statusnya setengah pengangguran (bekerja tidak penuh) yang berjumlah 29,9 juta
jiwa (23 juta jiwa berada di perdesaan dan 6,9 juta jiwa ada di perkotaan).
Jumlah pengangguran dan setengah pengangguran ini, ternyata mencapai 38,57%
dari seluruh angkatan kerja yang tersedia. Sejumlah 41 juta orang pengangguran
(terbuka dan setengah pengangguran) ini adalah persoalan yang cukup berat bagi
bangsa Indonesia.
Data ketenagakerjaan tersebut
apabila dibandingkan dengan data kemiskinan sebagaimana diungkap terdahulu,
ternyata cukup relevan. Pada tahun 2006, penduduk miskin di Indonesia mencapai 39,30 juta jiwa. Dari jumlah
tersebut, 24,81 juta jiwa (63,1%) berada di wilayah perdesaan. Hal ini
menunjukkan bahwa persoalan kemiskinan dan persoalan ketenagakerjaan cukup dominan di wilayah perdesaan. Artinya,
penyediaan lapangan kerja di perdesaan yang berhubungan dengan sektor pertanian
layak dikedepankan untuk penyelesaian masalah pengangguran.
Dalam konteks kekinian menurut
BPS, jumlah pengangguran terbuka pada Agustus 2008 berkurang menjadi 9,29 juta
jiwa dan jumlah penduduk miskin pada
Maret 2008 mengalami penurunan menjadi 34,96 juta jiwa (15,42%). Namun demikian
menurut Tjondronegoro, pada tahun 2008 kalau kemiskinan diukur menggunakan
kriterium Bank Dunia, di mana orang miskin adalah orang yang berpenghasilan di
bawah USD 1,00 per Kepala Keluarga (KK), maka jumlah penduduk miskin Indonesia
mencapai 20 juta. Tetapi
apabila kriterium yang dipakai adalah angka Bank Dunia yang lain, yakni USD
2,00 per KK, maka jumlah penduduk miskin Indonesia pada saat ini mencapai 100
juta jiwa, atau hampir separuh (43,5%) jumlah penduduk Indonesia yang mencapai
sekitar 230 juta jiwa (Tjondronegoro, 2008:44).
Di sisi yang
lain, meningkatnya produksi beras secara nasional pada tahun 2005 – 2008, dan
terbebasnya impor beras pada tahun 2008, yang kemudian diklaim sebagai
keberhasilan swasembada beras, belum berarti meningkatnya kesejahteraan petani.
Karena senyatanya swasembada beras itu tidak mungkin terjadi karena pupuk yang
langka, benih unggul sulapan, irigasi mangkrak, harga gabah pas-pasan, mandeg-nya
penyuluhan pertanian, penggundulan hutan (Maksum, 2009) maupun penguasaan lahan
pertanian yang sangat sempit bagi petani di perdesaan. Pada konteks inilah reforma
agraria perlu mendapatkan perhatian, agar negeri agraris ini dapat mewujudkan
swasembada beras sekaligus dapat mengurangi angka pengangguran dan kemiskinan. Angka
pengangguran dan angka kemiskinan hanya dapat dicapai melalui pengembangan dan
perluasan lapangan kerja. Lapangan kerja yang perlu mendapatkan prioritas
adalah lapangan kerja pada sektor pertanian, mengingat sebagain besar penduduk
miskin di Indonesia berada di wilayah perdesaan
Reforma Agraria &
Penyediaan Lapangan Kerja
Reforma Agraria adalah suatu
penataan ulang atau restrukturisasi penguasaan, pemilikan, penggunaan dan
pemanfaatan sumber – sumber agraria, terutama tanah untuk kepentingan petani,
buruh tani dan rakyat kecil pada umumnya ketika terdapat ketimpangan struktur
penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan sumber – sumber agraria di
negeri yang konon disebut agraris ini. Reforma agraria ini juga diorientasikan
untuk menciptakan lapangan kerja di bidang agraria (land base) dan memperkuat ketahanan pangan nasional. Namun demikian
reforma agraria tidak cukup diletakkan pada konteks keterbatasan akses
masyarakat atas sumberdaya agraria tetapi lebih luas lagi pada persoalan
kelangsungan dan keberlanjutan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya agraria
untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Terbukanya akses masyarakat
terhadap sumberdaya agraria sama sekali belum bisa menjamin terjadinya
perubahan menuju kesejahteraan apabila kebijakan pembangunan tidak memberikan
peluang bagi terciptanya lapangan kerja baru yang mampu memberikan jaminan keberlangsungan
kehidupan dan penghidupan masyarakat.
Reforma Agraria yang disebut
pula sebagai pembaruan agraria ini perlu segera diformulasikan menjadi sebuah
agenda aksi yang dapat diimplementasikan. Dalam konteks ini pemerintah tidak
perlu ragu lagi untuk mengagendakan pembaruan agraria menjadi sebuah
program dalam rangka meningkatkan
kesejahteraan masyarakat dan menciptkan kesempatan kerja yang lebih luas.
Landasan legal bagi pemerintah untuk segera melaksanakan pembaruan agraria
sudah ada sejak diterbitkannya Ketetapan MPR RI Nomor IX/MPR/2001 tentang
Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. Dalam ketetapan tersebut
diamanahkan bahwa pembaruan agraria
mencakup suatu proses berkesinambungan berkenaan dengan penataan kembali
penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan sumber daya agraria. Hal
tersebut dimaksudkan bahwa pembaruan agraria harus diarahkan untuk meningkatkan
taraf hidup dan kesejahteraan rakyat dengan memperhatikan kelestarian
lingkungan. Amanah tersebut mensyaratkan
kepada penyelenggara negara untuk menjabarkannya ke dalam berbagai kebijakan
yang memungkinkan untuk dioperasionalisasikan oleh segenap pemangku kepentingan
di bidang keagrariaan.
Bahkan Presiden Susilo Bambang
Yudoyono- yang terpilih kembali untuk jabatan berikutnya - pada awal tahun 2007 telah memberikan komitmen
seluas 8,15 juta hektar lahan untuk diorientasikan pada Program Pembaruan Agraria
Nasional (PPAN). Momentum tersebut menjadikan program pembaruan agraria menjadi
satu program bersama bangsa ini yang harus diperjuangkan dan didesakkan pada
pengambil kebijakan untuk segera diimplementasikan. Berkaitan dengan hal ini pertanyaan yang
mengedepan adalah apa urgensinya reforma agraria dalam penyediaan lapangan
kerja?
Pertanyaan tersebut paling tidak
dapat didekati dengan tujuan reforma agraria yang berorientasi pada peningkatan
kesejahteraan dan penyelesaian berbagai permasalahan bangsa Indonesia. Beberapa
tujuan reforma agraria yang dapat dikedepankan adalah:
1.
menata
kembali ketimpangan struktur penguasaan dan penggunaan tanah ke arah yang lebih
adil;
2.
mengurangi
kemiskinan;
3.
menciptakan
lapangan kerja;
4.
memperbaiki
akses rakyat terhadap sumber-sumber ekonomi, terutama tanah;
5.
mengurangi
sengketa dan konflik pertanahan;
6.
memperbaiki
dan menjaga kualitas lingkungan hidup;
7.
meningkatkan
ketahanan pangan.
(BPN, 2007)
Berbagai tujuan tersebut terkait satu sama lain.
Dalam konteks ini tujuan untuk mengurangi kemiskinan dan menciptakan lapangan
kerja adalah hal yang paling urgen untuk dielaborasi lebih jauh.
Kondisi
riil bangsa Indonesia menunjukkan bahwa: (1) bangsa Indonesia adalah bangsa
agraris; (2) sebagian besar penduduknya tinggal di perdesaan dan bergerak di
sektor pertanian; (3) angka kemiskinan yang tinggi terdapat di perdesaan; (4)
angka pengangguran (pengangguran terbuka dan setengah pengangguran) sebagian
besar terdapat di perdesaan. Kondisi ini mengharuskan pemerintah Indonesia
untuk memprioritaskan penyediaan lapangan kerja dan pengentasan kemiskinan di
wilayah perdesaan dan berbasiskan pada sektor agraris.
Sejalan dengan hal tersebut,
Pemerintah Indonesia melalui BPN RI telah mengagendakan penataan pertanahan
yang meliputi agenda reforma agraria, legalisasi aset tanah masyarakat dan
tanah negara, penanganan tanah terlantar, penanganan sengketa pertanahan dan
pengembangan LARASITA sebagai kantor pertanahan berjalan. Di samping BPN RI, Departemen Pertanian dalam dokumen ”Rencana Aksi Pemantapan Ketahanan Pangan 2005-2010”,
telah menyusun arah pengembangan dan sasaran lima komoditas pangan utama, yaitu
mempertahankan swasembada padi berkelanjutan, serta mencapai swasembada untuk
komoditas jagung (tahun 2007), kedelai (tahun 2015), gula (tahun 2009) dan
daging sapi (tahun 2010).
Rencana Aksi Pemantapan Ketahanan
Pangan tersebut telah dilengkapi dengan beberapa langkah strategis untuk
mencapai sasaran yang diharapkan meliputi:
1.
Mengidentifikasi
potensi lahan yang sesuai untuk pengembangan komoditas padi, jagung, kedelai,
tebu dan sapi potong.
2.
Merenovasi
dan memperluas infrastruktur fisik dengan merehabilitasi jaringan irigasi lama
dan membangun jaringan irigasi baru untuk pengembangan lahan sawah di luar Jawa
serta membuka lahan pertanian baru, khususnya lahan kering di Luar Jawa.
3.
Menahan
laju konversi lahan sawah di Jawa melalui penetapan ”lahan abadi” untuk usaha
pertanian.
4.
Mempercepat
penemuan teknologi benih/bibit unggul untuk peningkatan produktivitas,
teknologi panen untuk mengurangi kehilangan hasil, dan teknologi pasca panen
serta pengolahan untuk meningkatkan nilai tambah.
5.
Mempercepat
pembentukan teknologi spesifik lokasi kelima komoditas tersebut untuk
meningkatkan daya saingnya.
6.
Membangun
sistem perbenihan/pembibitan untuk kelima komoditas tersebut.
7.
Memberikan
subsidi sarana produksi untuk usaha primer sekaligus memberikan proteksi kepada
kelima komoditas tersebut.
8.
Merevitalisasi
sistem penyuluhan dan kelembagan petani untuk mempercepat difusi adopsi
teknologi yang mampu meningkatkan produksi dan pendapatan petani.
9.
Mengembangkan
sistem pemasaran hasil pertanian yang mampu mendistribusikan produk dan
return/keuntungan secara efisien dan adil.
10.
Mengembangkan
sistem pembiayaan pertanian, termasuk keuangan mikro pedesaan untuk
meningkatkan aksesibilitas petani atas sumber permodalan/pembiayaan pertanian.
11.
Memberikan
insentif berinvestasi di sektor pertanian, khususnya di luar Jawa, termasuk
menyederhanakan proses perizinan investasi di sektor pertanian.
12.
Memperjuangkan
komoditas padi, jagung, kedelai dan tebu sebagai komoditas strategis dalam
perundingan W.T.O.
Namun apa dikata, alih-alih
swasembada, mengurangi jumlah impor saja adalah hal yang cukup sulit, mengingat
tidak adanya peningkatan jumlah produksi dan tidak adanya peningkatan lahan
pertanian. Khusus komoditas kedelai, pada tahun 2004 tercatat jumlah import-nya
masih sebesar 64,86% dari kebutuhan, dan pada tahun ini justru meningkat
menjadi 70%. Akibat gangguan produksi, tahun ini impor beras di atas 1 juta
ton, dan porsi impor untuk komoditas jagung, gula dan daging sapi mencapai
11,23%, 37,46% dan 29,09% dari kebutuhan, padahal negara kita pernah swasembada
kedelai dan gula (Kompas, 19-01-2008). Sementara ini, kebijakan pemerintah
untuk mengatasi kebutuhan kedelai dilakukan dengan menghapuskan pajak bea masuk
kedelai sebesar 10%. Tujuannya jelas, yakni mencukupi kebutuhan kedelai dan
menstabilkan harganya melalui peningkatan import. Di sisi yang lain, hampir tidak ada kebijakan
yang berorientasi pada perlindungan nasib petani dan perlindungan pagi
keberlanjutan lahan-lahan pertanian. Bukankah ini adalah kebijakan yang
inkonsisten. Disatu sisi mencanangkan program swasembada pangan, namun di sisi
lain tidak mengupayakan keberlanjutan lahan pertanian berikut petaninya untuk
bisa mewujudkan swasembada pangan melalui peningkatan penyediaan lahan
pertanian yang sekaligus membuka lapangan kerja baru.
Hal demikian dapat dikatakan bahwa
berbagai strategi tersebut tidak akan dapat diimplementasikan secara baik
apabila tidak didukung dengan kebijakan nasional yang mengikat bagi institusi
atau departemen terkait. Kebijakan
yang parsial hanya akan memboroskan keuangan negara yang ujungnya tidak mampu
menyediakan lapangan kerja bagi pengangguran secara berkelanjutan, khususnya di
wilayah perdesaan dan berbasiskan lahan.
Dalam konteks ini dapat dijelaskan bahwa kemiskinan dan pengangguran di
wilayah perdesaan adalah kemiskinan dan pengangguran bagi penduduk dan tenaga
kerja pada sektor pertanian. Kemiskinan dan pengangguran disini berhubungan
dengan penguasaan dan pemilikan atas lahan pertaniannya. Ketika lahan pertanian
sudah diorientasikan untuk kepentingan non pertanian pada skala yang lebih luas
melalui kebijakan makro, maka meningkatnya jumlah petani miskin menjadi sebuah
keniscayaan. Untuk itu perlindungan terhadap keberadaan lahan-lahan pertanian
harus dilakukan, terutama melalui kebijakan yang berorientasi pada usaha-usaha
pertanian. Hal ini sebagaimana gagasan Keith Griffin, et al (2002) dalam Poverty and Distribution of Land tentang perlunya mengevaluasi kebijakan dan
praktek yang cenderung bias kota, karena hanya mempertahankan kemiskinan. Lebih
lanjut Griffin mengedepankan pentingnya pendistribusian lahan kepada petani
untuk memerangi urban bias policies
tersebut. Gagasan Griffin tersebut
menunjukkan bahwa perkembangan wilayah yang mengokupasi lahan-lahan pertanian
di wilayah pinggiran kota adalah salah satu praktek yang bias kepentingan kota
dan cenderung memberikan implikasi pada proses pemiskinan petani.
Kebijakan pengembangan lahan pertanian yang berasal dari tanah-tanah
terlantar ataupun berasal dari kawasan hutan yang tidak produktif dan secara
ekologis tidak mengganggu keseimbangan alam layak dijadikan prioritas. Peluang
inilah yang akan diambil melalui kebijakan dan program reforma agraria dalam
rangka penyediaan dan pengembangan lapangan kerja di wilayah perdesaan.
Statemen Presiden di awal tahun 2007 yang akan mengalokasikan sejumlah
8,15 juta hektar untuk program reforma agraria, perlu diingatkan kembali.
Jangan sampai reforma agraria hanya berhenti sebagai ‘jargon’ semata tanpa
mampu diimplementasikan secara nyata. Implemetasi reforma agraria dalam jangka
pendek dapat manjadi satu titik tolak dalam perluasan lapangan kerja. Apabila
dihitung, kebutuhan petani untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup minimum sekitar
2 ha. Itu berarti bahwa 8,15 juta hektar dapat diorientasikan untuk sekitar 4,075
juta petani ataupun kepala rumah tangga petani. Jumlah yang cukup fantastik,
dibanding lapangan kerja baru yang hanya mampu menyerap 48.000 tenaga kerja
pada pertumbuhan ekonomi sebesar 5% pada tahun 2006 (Bappenas, 2006). Apabila
strategi tersebut dapat berhasil, ternyata mampu mengurangi pengangguran
sekaligus angka kemiskinan hampir 25% dari jumlah kepala rumah tangga miskin
yang ada di Indonesia saat ini. Hitungan tersebut masih terbatas pada
tersedianya lapangan kerja on farm, yang langsung bergelut dengan usaha
pertanian. Sektor off farm, yang
berkenaan dengan pengolahan produksi pertanian maupun pemasarannya masih belum
diperhitungkan. Apabila sektor-sektor lain yang terkait dengan usaha pertanian
diperhitungkan, dimungkinkan bahwa pengurangan angka pengangguran maupun angka
kemiskinan melalui strategi reforma agraria akan semakin besar.
Model Buffer Zone Di Kawasan HGU/Hutan Negara
Salah satu konsep perluasan lapangan kerja melalui reforma agraria dapat
dilakukan dengan melalui penciptaan buffer zone pada wilayah-wilayah
sekeliling HGU ataupun hutan negara yang produktif, mengingat pada
wilayah-wilayah penguasaan lahan yang besar inilah disharmoni sosial mempunyai
peluang muncul dalam intensitas yang lebih besar dan terdapatnya kantong-kantong
kemiskinan. Model Buffer zone yang dimaksud adalah suatu alternatif
model dalam reforma agraria yang dilakukan di antara kawasan permukiman dan
kawasan HGU atau kawasan hutan negara (hutan produksi) yang berperan untuk
menopang kehidupan masyarakat sekitar kawasan HGU/hutan sekaligus mengurangi
kontak langsung masyarakat dengan perkebunan/hutan. Secara spasial buffer
zone tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:
Gambar 1. Struktur Spasial Model Buffer Zone di
Kawasan HGU/Hutan Negara
Keterangan:
- Zona inti adalah zona HGU ataupun zona hutan
negara produktif.
-
Zona Buffer adalah zona penyangga yang terletak di antara zona inti dengan zona
permukiman masyarakat sekitar kawasan HGU/hutan negara. Zona ini secara
yuridis, masuk ke dalam kawasan HGU/hutan negara.
- Zona
permukiman adalah zona di luar kawasan HGU/hutan negara yang dikuasai/dimiliki
oleh masyarakat.
- Buffer
zone dibentuk melalui program reforma agraria dengan mekanisme sebagai
berikut:
1.
melakukan identifikasi tanah di
sekeliling kawasan inti yang dapat diberikan penguasaannya kepada masyarakat
sekitar, kemudian ditetapkan sebagai tanah objek land reform;
2.
melakukan identifikasi
masyarakat sekitar yang diorientasikan akan menerima manfaat;
3.
pihak pemegang HGU/hutan negara
bersama-sama dengan masyarakat calon penerima manfaat dengan difasilitasi oleh
aparat BPN RI dan pemerintah daerah melakukan pemetaan partisipatif untuk
menentukan jumlah bidang dan luasan yang dapat diredistribusikan;
4.
pihak pemegang HGU/hutan negara
bersama-sama dengan masyarakat penerima manfaat melakukan penandatanganan nota
kerjasama (MOU) dalam rangka redistribusi tanah di sekeliling zona inti,
sekaligus dalam rangka pengamanan zona inti. MOU ini disusun secara
partisipatif dengan difasilitasi oleh BPN RI dan Pemda setempat;
5.
setelah disepakati kedua belah
pihak, segera dilakukan penguatan hak atas tanah (penguatan asset) terhadap
masyarakat penerima manfaat melalui sertipikasi;
6.
proses penguatan akses melalui
berbagai fasilitasi dan kemudahan dalam tata produksi dan pengelolaan produk
pasca panen seperti: akses terhadap sarana produksi pertanian (saprotan),
kredit, program pembangunan pertanian, pengambilan keputusan, informasi maupun
akses terhada pasar.
7.
terbentuklah buffer zone
melalui penguatan asset dan akses di kawasan HGU/hutan negara yang bermanfaat
bagi penghidupan masyarakat sekaligus bermanfaat bagi pemegang HGU/hutan
negara;
8.
proses dan mekanisme
sebagaimana di atas dapat pula disebut sebagai upaya pemberdayaan masyarakat
secara partisipatif.
Gambaran sederhana di atas, sangat dimungkinkan diterapkan di kawasan HGU
ataupun hutan negara dengan prioritas pada wilayah-wilayah konflik. Dengan demikian, kasus-kasus reclaiming pada kawasan HGU/hutan negara dapat dikurangi
dan penyediaan lapangan kerja dapat terwujud. Penyediaan lapangan kerja secara
partisipatif tersebut akan menumbuhkan ’rasa handarbeni’ yang berimplikasi pada
semangat untuk melakukan usaha di tanah yang sudah diberikan sekaligus
terjaganya kawasan inti dari berbagai gangguan keamanan. Keterlibatan semua
pemangku kepentingan terhadap keberhasilan model tersebut merupakan prasyarat
utama yang harus dipenuhi. Untuk mendapatkan formulasi yang baik dan
berkelanjutan kiranya studi dan diskursus tentang konsep ini perlu terus
dilakukan.
Skenario perluasan lapangan kerja untuk mereduksi konflik dan sengketa
pertanahan melalui reforma agraria sebagaimana conoh di atas perlu
terus-menerus diperjuangkan, meskipun konstelasi politik dan pemerintahan belum
mengarah ke arah itu. Jangankan menjalankan reforma
agraria, Pemerintah dan DPR RI telah secara bersama-sama melakukan diskriminasi
ekonomi, dan lebih berpihak pada pengusaha dari pada petani. Beberapa produk
peraturan perundang-undangan dan berbagai peraturan lainnya secara nyata terlihat
diciptakan untuk melindungi pengusaha dan pemilik modal dari pada melindungi
petani (Bina Desa, 2009). Inilah barangkali tantangan bagi pelaksanaan reforma
agraria dalam upaya penyediaan lapangan kerja dan mengatasi pengangguran.
Penutup
Apabila
hal-hal di atas dapat terwujud, secara langsung ataupun tidak langsung
penyediaan lapangan kerja akan mampu mereduksi munculnya konflik dan sengketa
pertanahan, mengingat salah satu akar penyebab konflik sudah terselesaikan.
Persoalannya adalah, mampukah kita semua mendorong reforma agraria menjadi satu
strategi pembangunan yang diimplementasikan secara nasional. Tidak sekedar
sebatas pada level wacana, tetapi harus dapat diimplementasikan pada level
operasional sebagai sebuah agenda aksi. Kiranya strategi mereduksi konflik
melalui penyediaan dan pengembangan lapangan kerja baru yang berorientasi untuk
mengatasi pengangguran dan kemiskinan dalam bingkai reforma agraria layak dan
sangat perlu untuk diperjuangkan. Semoga.
DAFTAR BACAAN
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 2005. Rencana Aksi Pemantapan Ketahanan Pangan 2005-2010. Departemen Pertanian.
Jakarta.
Badan Pertanahan Nasional RI, 2007. Reforma Agraria: Mandat Politik, Konstitusi
dan Hukum dalam Rangka Mewujudkan Tanah Untuk Keadilan dan Kesejahteraan Rakyat.
BPN. Jakarta.
Baranyi,
Stephen et al. 2004. Scoping Study on Land Policy Research in Latin America. The North-South Institute dan IDRC
(CRDI), Ottawa
Bina
Desa, 2009. “Reforma Agraria Macet Masalah Bangsa Menumpuk”. Bina Desa No.
117/XXX/Juni/2009. Jakarta.
Effendi,
Tadjudin Noer, 1995. Sumberdaya Manusia,
Peluang Kerja dan Kemiskinan. Tiara Wacana. Yogyakarta.
Fauzi,
Noer. 1999. Petani dan Penguasa: Dinamika Perjalanan Politik Agraria
Nasional. Pustaka Pelajar Offset. Yogyakarta.
Griffin,
Keith. et al. 2002. “Poverty and the
Distribution of Land”. Journal of Agrarian
Change. Vol 2 No. 3, July 2002.
Heriawan, 2006. Implementasi Reformasi Agraria Dari Perspektif Dukungan Penyediaan Data
dan Informasi Statistik. Makalah pada Simposium Agraria Nasional, 4
Desember 2006 di Makasar.
Jamasy, Owin, 2004. Keadilan, Pemberdayaan dan Penanggulangan Kemiskinan. Belantika. Jakarta.
Joyo Winoto, 2009. Sambutan Kepala BPN RI Pada
Peringatan Hari Agraria Nasional Ke-49 24 September 2009. BPN RI. Jakarta.
Kay,
Cristóbal, 2002. “Why East Asia Overtook Latin America: Agrarian Reform,
Industrialisation and Development” dalam Third World Quarterly 23(6): 1073-1102.
Maksum,
Mochammad. 2009. “Memantapkan Pilihan Nahdliyyin” dalam SKH Kedaulatan Rakyat,
3 April 2009 hal
12.
Mitchell,
Bruce, 1997, Resource and Environmental Management, Addison Wesley
Longman Ltd, Ontario.
Mulyanto,
Budi, 2007. Permasalahan Pengelolaan Sumberdaya Agraria Nasional.
Makalah Kolokium Pengelolaan Sumberdaya Agraria Nasional kerjasama STPN –
Departemen Ilmu Tanah & Sumberdaya Lahan IPB, 28 Agustus 2007 di Yogyakarta.
Panitia
Hari Agraria Nasional, 2009. Sayembara Penulisan Dalam Rangka Memperingati
Hari Agraria Nasional Tahun 2009. BPN RI. Jakarta.
Suroto, 1992. Strategi
Pembangunan dan Perencanaan Kesempatan Kerja. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Tjondronegoro, 2008. Negara Agraris Ingkari Agraria: Pembangunan Desa dan Kemiskinan di
Indonesia. Yayasan AKATIGA. Bandung.
____________, 2008. Mencari Ilmu di Tiga Jaman Tiga Benua. Sajogja Institute. Bogor.
SKH Kompas, 19 Januari 2008.
SKH Kompas, 21 Juni 2009.
SKH Kedaulatan Rakyat, 3 April 2009
Badrun Munandar (357471)
BalasHapusBerbicara masalah pertanahan merupakan hal yang rentan memicu konflik di dalam masyarakat. Bahkan kasus konflik pertanahan inipun ada unsur campur tangan pemerintah yang tidak memihak kepada masyarakat. Bahkan fenomena terkait masalah tanah ini pun benar-benar terjadi di lingkungan di mana tempat saya tinggal. Pada fenomena ini, pemerintah lebih memihak pada investor asing dengan memberikan legalitas terhadap kepemilikan tanah tersebut, sehingga sebagian masyarakat yang tidak rela memberikan tanahnya untuk diolah oleh investor asing pun memberikan perlawanan yang menyebabkan konflik terjadi. Dalam hal ini, pemerintah memiliki peran besar dalam munculnya konflik dalam hal pertanahan di tengah-tengah masyarakat. Dan dari fenomena di atas saya memiliki pandangan bahwa kebijakan pemerintah memiliki andil dalam munculnya konflik dalam kehidupan sosial masyarakat.
Selanjutnya masalah pengangguran dan kemiskinan di indonesia, berbicara tentang kedua hal yang merupakan masalah yang "kacau arut" tersebut merupakan PR yang berat bagi pemerintah dalam menyelesaikan permasalahan tersebut. Menurut saya pribadi, dalam menyelesaikan kedua permasalahan besar ini, pemerintah pertam-tama haru menyelesaikan permasalahan pengangguran. Karena semakin tinggi angka pengangguran di indonesia maka memicu tingginya angka kemiskinan di indonesia. Berbicara masalah upaya mengatasi permasalahan pengangguran, maka sudah pasti jawaban yang di sampaikan adalah dengan menyediakan lapangan pekerjaan. Namun menyediakan lapangan pekerjaan bukanlah hal yang mudah untuk di lakukan pemerintah guna mengatasi permasalahan pengannguran. Pada wacana di atas solusi yang ditawarkan adalah penyediaan lapangan kerja melalui sektor agraria. Sebenarnya sektor agraria merupakan sektor yang tepat untuk memberikan lapangan pekerjaan bagi pengangguran di indonesia. Apa lagi sektor agraria di dukung dengan kondisi wilayah indonesia yang agraris. Namun jika sektor agraria ini benar-benar dijadikan sebagai solusi untuk menyediakan lapangan pekerjaan bagi pengannguran di indonesia, sangat diharapkan benar-benar keseriusan pemerintah dalam memberikan perhatian pembangunan dalam sektor agraria. Sehingga harapan untuk menuntaskan atau setidaknya mengurangi angka pengangguran di indonesia dapat tercapai secara maksimal dan tepat sasaran. Dan jika solusi di bidang agraria tersebut berhasil, banyak dampak positif yang dapat di rasakan oleh pemerintah maupun masyarakat. Yang pertama, angka pengangguran berkurang sekaligus mengurangi angka kemiskinan, kedua, masyarakat indonesia dapat menyediakan sumber pangan sendiri tanpa haruz mengimpor dari negara lain, ketiga, jika memang sektor agraria berhasil maka negara indonesia tidak perlu lagi mengimpor bahkan mampu mengekspor ke negara lain, selanjutnya dapat mengembalikan jati diri negara indonesia yang agraris tidak hanya sebagai "isapan jempol" belaka namun benar-benar terbukti melalui keberhasilan masyarakat indonesia melalui sektor agraris.
Solusi tersebut akan berhasil jika pemerintah serta masyarakat mampu menyelaraskan ide serta tindakan nyata kearah tersebut...
Pertanyaan yang muncul kemudian, bagaimana strategi menyelaraskan ide dan tindakan antara pemerintah dan masyarakat?
HapusMenurut saya menyelaraskan ide dan tindakan pemerintah dan masyarakat dapat dilakukan dengan melakukan musyawarah secara dua arah antara pemerintah dan masyarakat sehingga terjadi kesepakatan antara keduabelah yang salig mendapatkan keuntungan, selah itu dilakukan sosialisasi terhadap masyarakat oleh pemerintah mengenai program/aturan yang telah disepakati.
HapusMenurut saya perlu diadakan sosialisasi kepada masyarakat dalam melaksanakan ide dari pemerintah. Karena pada masyarakat di pedesaan yang masih tergolong masyarakat awam masih sangat perlu sekali dalam pemahaman ide dari pemerintah, atau hal semacam ini bisa di katakan juga komunikasi antara pemerintah dengan masyarakat. Karena bila ko munikasi tidak selaras, maka program atau ide yang di rencanakan pemerintah tidak dapat dilakukan masyarakat sesuai ide dari pemerintah.
HapusSeri Aryati (357470)
BalasHapusSaja setuju dengan statement reforma agraria mungkin menjadi salah satu strategi dalam penyediaan dan perluasan lapangan kerja. Apalagi dilihat dari data ketenagakerjaan yang dibandingkan dengan data kemiskinan terdahulu, ternyata cukup relevan. Pada tahun 2006, penduduk miskin di indonesia mencapai 39,30 juta jiwa. Dari jumlah tersebut, 24,81 juta jiwa (63,1%) berada di wilayah perdesaan. Pertanyaan selanjunya mampukah perluasan dan penyediaan lapangan kerja di sektor pertanian mengurangi angka kemiskinan? "saya fikir ini mampu dan tepat sekali karena kemiskinan di indonesia banyak berada di wilayah pedesaan. Artinya pembukaan lapangan kerja di sektor perdesaan yang berhubungan dengan sektor pertanian layak dikedepankan untuk penyelesaian masalah pengangguran. Tapi saya rasa ini tugas berat pemeritah. Karena pada umumnya sifat anak bangsa Indonesia kebayakan cita-citanya tidak ingin menjadi petani. Ini mungkin akibat pemerintah yang selalu tidak berpihak pada petani. Sifat pemerintah yang selalu mendiskriminasi petani itu harus di ubah. Petani harus mendapatkan perlakuan yang sangat layak dan harus diperhatikan, jangan selalu diletakan dikedudukan yang paling bawah.
Statement selanjutnya yang menanyakan apakah berkurang angka kemiskinan? 'Saya kira jika reforma agraria ini benar-benar diimplementasikan dengan baik, ini akan mengurangi angka kemiskinan yang cukup baik. Tetapi dengan catatan lagi pemerintah harus full ekstra memperhatikan nasib petani kita 'indonesia'. Pertanyaan selanjutnya, apakah dengan berkurangnya angka kemiskinan belum tentu bisa mereduksi konflik? 'Saya fikir angka kemiskinan berkurang bisa mereduksi konflik tetapi hanya bisa di reduksi tapi tidak bisa dihilangkan. Karena konflik pada dasarnya tidak bisa dilenyapkan. Menurut teori konflik ralf dahrendorf dinyatakan bahwa salah satu faktor yang sangat penting yang dapat mempengaruhi tingkat kekerasan dalam konflik kelas, yaitu tingkat yang menyatakan bahwa konflik itu secara tegas diterima dan diatur ''pada hakikatnya konflik tidak dapat dilenyapkan'' karena perbedaan di antara mereka merupakan sesuatu yang harus ada dalam struktur hubungan otoritas. Konflik yang ditutup-tutupi, cepat atau lambat pasti akan muncul, dan apabila upaya penutupan itu secara terus-menerus maka dapat menyebabkan ledakan konflik yang hebat. Berdasarkan hal tersebut di atas maka perlu dibentuk saluran-saluran yang berfungsi membicarakan penyelesaian konflik. ‘’ program reforma agraria dengan baik akan mengurangi konflik agraria. Meskipun demikian, reforma agraria tidak akan bisa menghapuskan sama sekali konflik agraria’’.
Reformasi agraria di indonesia yang pasang surut sangat bergantung pada dinamika politik dan kemauan penguasa. Oleh karena itu strategi mereduksi konflik dalam bidang agraria itu yang sangat berperan adalah pemerintah. Berhasil mereduksi konflik atau tidak itu tergantung dari pemerintahnya sendiri.
good....sudah mengulas dg teori konflik. Bagaimana dengan teori2 kependudukannya...mampukah berkontribusi?
HapusTeori kependudukan yang mampu berkontribusi? teori kependudukan malthus bahwa penduduk berkembang menurut deret ukur, sedangkan bahan makan mengikuti deret angka dan ini pada gilirannya akan mengakibatkan kesengsaraan dak kelaparan. Pertumbuhan penduduk yang cepat dengan sumber-sumber yang terbatas akan menyebabkan berlakunya hukum hasil yang menurun (the law of diminishing return) di sektor pertanian dan akhirnya terjadi keadaan stagnan. Menurut maltus, ada beberapa hal yang bisa menjadi “penghambat laju pertumbuhan penduduk”. Ia membedakan antara kejadian yang berada di luar kekuasaan manusia (positive checks) dan hal yang bisa diusahakan manusia sendiri (preventive checks). menurut malthus positive checks itu seperti perang dan pembunuhan ini bisa menjadi penghambat laju pertumbuhan. Jadi secara tersirat, teori kependudukan dengan cara menghambat laju pertumbuhan diluar kekuasan manusia (positive checks) seperti pembunuhan dan peperangan ini bisa berawal dari konflik dan teori konflik itu sendiri menurut ralf dahrendorf bahwa konlfik itu tidak bisa dilenyapkan. Jadi inilah teori kependudukan yang berkontribusi.
HapusBadrun Munandar (357471)
BalasHapusSetelah saya analisis kembali, ada hal-hal yang masih membingungkan dengan solusi yang ditawarkan melalui sektor agraria, apabila rekan-rekan ada lebih paham dalam memecahkan permasalahan ini, mohon di bantu.
Apabila di analisis kembali, bahwa sektor agraria dapat dijadikan solusi dalam mengatasi pengangguran masyarakat indonesia, seperti yang kita tau bahwa sebagian masyarakat tinggal di kota dan sebagian di desa. Untuk masyarakat di desa sebagian besar telah menjalankan sektor pertanian sebagai sumber pendapatan, dan dapat dikatakan pula bahwa sebenarnya masyarakat di desa pada umumnya tidak menganggur, namun kebanyakan masyarakat di desa umumnya masih tergolong miskin karena hasil pertanian tidak sesuai modal yang dikeluarkan oleh petani.
Selanjutnya, untuk madyarakat di kota, kalau memang benar-benar sektor agraria akan dijadikan solusi, apakah mereka akan disediakan lahan pertanian di daerah perkotaan, seperti yang kita tau bahwa lahan diperkotaan relatif padat perumahan dan hampir tidak ada lahan kosong apa lagi untuk pertanian. Dan apabila akan direalisasikan lahan di daerah pedesaan, apakah mencukupi lahan di pedesaan sebagaimana yang kita ketahui bahwa masyarakat di perkotaan yang menggur tidak lah sedikit. Dan apakah akan diberikan solusi dengan membuka lahan baru, jika membuka lahan baru dengan mengalihfungsikan hutan, apakah tidak berdampak pada sistem ekologi.
Dan terakhir yang masih membuat saya bingung, apabila benar-benar sektor agraria akan dijadikan solusi dalam mengentaskan pengangguran, seperti yang kita tau saat ini banyak sekali pengangguran di indonesia adalah pengangguran yang terdidik. Dan yang lebih mencenangkan lagi banyak pengangguran yang lulusan dari perguuruan tinggi atau yang sering disebut sarjana. Secara logika, apakah mereka mau jika mereka akan disuruh untuk bekerja pada sektor pertanian, sedangkan tujuan mereka untuk sekolah tinggi agar dapat bekerja dalam ruangan, bukan kerja di lapangan..?
Pertanyaan yang kritis dan tajam! perlu dicarikan jawaban yang berbasis pada data. Misal, apa benar penduduk desa tidak ada yang menganggur? perlu dicek kembali konsep 'pengangguran' dan 'bukan pengangguran'. Ketersediaan lahan, perlu diidentifikasi secara cermat, misalnya ribuan hingga jutaan lahan perkebunan yang 'terlantar' atau wilayah hutan konversi. Atau memang semua penduduk, tidak ada yang berminat di sektor pertanian? kalau statemen ini benar, berarti krisis pangan hanya menunggui waktu saja
HapusYudi Antara ( 357323 )
BalasHapusDalam tulisan ini dinyatakan bahwa kemiskinan segaian besar terjadi di daerah pedesaan, pedesaan secara morfologi yaitu dari aspek penggunaan lahannya adalah lahan pertanian, sehingga sebagian besar mata pencaharian atau kehidupan masyarakat pedesaan berkaitan dengan sumber daya lahan pertanian yang ada, Jika reforma agraria yang mempunyai tujuan diantaranya mengurangi kemiskinan dan menciptakan lapangan kerja , tentu hal-hal yang secara langsung berkaitan dengan kelangsungan hidup petani di pedesaan maupun pinggiran kota harus menjadi perhatian, salah satunya adalah konversi atau alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian atau area terbangun, ini tentu sangat tidak menguntungkan bagi kelangsungan pertanian di pedesaan maupun pinggiran kota. Perlindungan terhadap lahan pertanian harus menjadi perhatian pemerintah daerah melalui kebijakan –kebijakan untuk mengatasi hal tersebut.
Dalam tulisan ini telah disinggung mengenai adanya upaya menahan laju konversi lahan sawah dalam langkah strategis “Rencana Aksi Pemantapan Ketahanan Pangan”. Namun menurut saya perlu dijelaskan lebih lanjut mengenai laju konversi lahan pertanian menjadi area terbangun atau ke non non pertanian, kebijakan pemerintah terhadap perlindungan lahan pertanian, aspek penataan ruang, ada tidaknya langkah kongkret yang telah dilakukan pemerintah dalam perlindungan lahan pertanian tersebut . Karena dalam kenyataannya kebijakan yeng telah dituangkan dalam RTRW ( Rencana Tata Ruang Wilayah ) khususnya untuk perlindungan terhadap lahan pertanian belum dapat dijalankan sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan, ini terbukti dengan semakin meningkatnya alih fungsi lahan pertanian menjadi kawawasan terbangun. Hal ini penting untuk diketahui karena sumber daya lahan pertanian menurut saya merupakan hal yang paling penting bagi keberlanjutan pertanian yang menjadi tujuan dari reforma agraria dalam mengatasi kemiskinan yang sebagian besar terjadi di pedesaan.
tampaknya kita perlu cari tahu data tentang laju konversi lahan pertanian menjadi area terbangun ya...
HapusNina Damayati ( 13/357474/PMU/8077)
BalasHapusSaya setuju dengan pendapat penulis tentang upaya mengatasi kemiskinan di Indonesia dengan cara reforma agrarian, karena akar dari permasalahan di Indonesia ini ialah kemiskinan, kemiskinan itu sendiri induk dari segalah kejahatan atau kriminalitas, yang mana pada tahun 2006 menunjukan 63,1% penduduk miskin di Indonesia berada diwilayah pedesaan, wilayah pedesan ini tidak terlepas dari pertanian yang mana disini tanah merupakan faktor utama yang sangat penting dalam pidang pertanian. Tanah itu sendiri bersifat statis sehingga sangat sering diperebutkan dan memicuh terjadinya konflik, untuk itu pemerintah harus berperan aktif dalam membuat keadilan dan memihak pada rakyat kecil, salah satu caranya ialah mengadakan reforma agraria.
Namun sebelum reforma agraria dilaksanakan ada berberapa hal yang perlu diperhatian oleh pemerintah agar reforma agraria ini dapat berjalan sesuai dengan tujuannya yaitu manusia atau penduduk Indonesia itu sendiri, sumber daya manusia dalam bidang pertanian masih sangat minim, petani di Indonesia kebanyakan berkerja menggunakan otot saja tanpa dibarengi pemikiran otak yang terdidik karena memang petani di Indonesia kebanyakan tidak memiliki pendidikan yang tinggi. Dari pada itu sebelum reforma agraria dilaksanakan pemerintah harus memperhatikan pendidikan dan kesehatan didaerah pedesaan.
apa argumen anda tentang perlunya pemerintah memperhatikan pendidikan dan kesehatan di perdesaan? apakah di perdesaan mempunyai permasalahan itu? jelaskan dengan data
HapusMenurut saya, iya di daerah pedesaan mempunyai masalah pendidikan dan kesehatan. pendidikan didaerah pedesaan masih sangat lemah hal ini dipengaruhi oleh beberapa factor seperti:
Hapus1. Kurangnya sarana dan prasarana pendidikan di pedesaan
2. Kurangnya tenaga guru yang berkualitas di daerah pedesaan
Selain dua hal tesebut masih banyak problem-problem pendidikan yang ada di wilayah pedesaan infrastruktur di desa juga mempengaruhi minat belajar siswa dalam menjangkau sekolah dari rumah, karena jauhnya sekolahan dari rumah membuat banyak siswa yang malas untuk sekolah.
Berikut ini data tentang pendidikan petani di Indonesia. pada tahun 1983 mayoritas petani tidak atau belum lulus SD yaitu sebanyak 36,82 juta jiwa. Pada tahun 1993 paling banyak penduduk lulusan SD juga yaitu sebesar 36,67 juta jiwa dan 2003 mayoritas petani hanya lulus SD juga senayak 46,19 juta jiwa walaupun dari tahun ketahun pendidikan petani mengalami peningkatan namun tidak membuat jumlah produksi pertanian Indonesia meningkat, karena jumlah penduduk Indonesia selalu meningkat dan banyak nya alih fungsi lahan pertanian. Dengan banyak nya petani yang mempunyai skill dan SDM yang baik hal ini akan mengurangi angka kemiskinaan di desa.
Untuk masalah kesehatan di Indonesia khususnya di daerah pedesaan juga mempunyai masalah yang tidak kalah rumit nya dibandingkan dengan masalah pendidikan.
Alasan-alasan klasik seperti masalah sarana dan prasaran kesehatan belum bisa diatasi. Kesehatan, pendidikan dan sumberdaya manusia sangat berkaitan erat, masyarakat yang tidak sehat tidak bersekolah, masyarakat yang tidak sekolah SDM nya rendah, begitupun sebaliknya.
Andela Anggleni ( 13/357486/PMU/8086)
BalasHapusKemiskinan dalam tulisan ini merupakan kemiskinan dan pengangguran di wilayah perdesaan yang berorientasi pada sektor pertanian. Kemiskinan di perdesaan terjadi karena keterbatasan lahan garapan bagi angkatan kerja di pedesaan sehingga semakin meningkatnya angka pengangguran. Untuk mengatasi hal ini saya setuju dengan penulis yaitu dengan cara reforma agraria yang diorientasikan untuk menciptakan lapangan kerja di bidang agraria. Dalam reforma agrarian negara melakukan pendistribusian asset khususnya yang berbasis sumber daya agrarian kepada kaum miskin tidak bertanah agar mereka mampu melakukan peningkatan taraf kehidupannya.
Reporma agraria ini dapat dilakukan dengan Konsep asset building ini diturunkan dari satu teori yang dirumuskan oleh M.Sherraden. Konsep asset building merupakan anti tesis pada asumsi kemiskinan yang selama ini dibangun, yaitu masalah “pendapatan”. Padahal kemiskinan lebih kepada masalah aset. Pendekatan penanganan kemiskinan kepada masalah “pendapatan” cenderung karitatif dan tidak mendidik karena lebih bersifat konsumtif semata. Konsep Asset building ini bertujuan untuk benar-benar mengentaskan kaum miskin lepas dari jeratan kemiskinan dan bukan sekedar mengurangi kesulitan-kesulitan yang dihadapi kaum miskin yang sifatnya ad hoc dan tak berkesinambungan. Pendekatan aset ini mendorong kita untuk melihat bahwa minimnya aset produktif yang dimiliki kaum miskin membuat mereka sulit untuk keluar dari jeratan kemiskinan. Pendekatan ini akan memungkinkan suatu terobosan penting dalam melahirkan kebijakan-kebijakan dalam memerangi kemiskinan.
Contoh sederhana bisa dilihat pada ilsutrasi berikut: Katakanlah si ―Xi adalah subyek yang sudah jelas harus menerima program reforma agraria melalui pembagian lahan. Lahan bagi si ―Xi adalah aset yang bisa dijadikan sebagai pintu awal untuk mengembangkan asetnya yang lain. Agar aset yang diperolehnya efektif bagi dia secara sosial ekonomi, maka melalui pendampingan ia dibantu untuk merumuskan target aset yangdicapai kelak. Katakanlah dengan sebidang hak tanah yang diperolehnya itu ia ingin memiliki rumah yang layak. Maka,melalui access reform seperti yang diinginkan oleh UUPA, ia diberikan modal untuk mengelola lahannya. Pendampingan harus tetap dilakukan agar usaha yang dikembangkan bisa memberikan hasil sesuai yang diharapkan dan target aset yang diinginkan bisa terealisasi. Selain itu, subyek juga diberikan gambaran dan analisis hasil usaha serta peruntukan dari setiap penghasilan yang didapatkan nanti.
Jika sistem dan mekanisme ini terus bergulir dengan baik maka tidak mustahil dalam jangka waktu yang tidak lama subyek miskin akan segera beranjak dari kemiskinan. Bukan hanya itu, kepemilikan akan suatu aset akan menyebabkan seseorang lebih independen dalam keputusan-keputusan politik yang berkaitan dengan diri. Sehingga dengan sendirinya, hal ini akan memperkental partisipasi mereka dalam demokrasi di Indonesia. Mengapa hal ini demikian penting, karena seperti kita saksikan bahwa selama ini rakyat miskin selalu menjadi “tumbal” kelompok-kelompok oportunis dan pragmatis, terutama dalam mendapatkan kekuasaan. Sedangkan di sisi lain, secara kuantitatif jumlah kaum miskin sangat banyak dan sangat mudah di intervensi oleh kepentingan mereka. Dan sebaliknya, dengan kaum miskin yang independen dalam melakukan keputusan pilihan karena paling tidak mereka sudah “aman” secara ekonomi, rasionalitas politik mereka akan bekerja dengan baik dan maksimal.
Intinya dari program ini adalah bahwa dengan reforma agraria ini, maka keluarga miskin di pedesaan akan mampu memiliki aset. Lebih jauh lagi dengan dimilikinya aset pada keluarga bisa menyebabkan: Meningkatkan stabilitas keluarga; Menciptakan orientasi masa depan; Menstimulasi berkembangnya aset yang lain; Meningkatkan partisipasi politik; dan Meningkatkan kesejahteraan anak.
Good idea....so, bagaimana mengimplementasikannya?
HapusReforma agraria dapat dilaksanakan melalui pemberdayaan masyarakat desa, dengan tahapan seperti:
Hapus1. Pendekatan: Asset Building
Reforma Agraria melalui pengembangan aset dilaksanakan:
a. Pertama-tama lahan yang akan menjadi obyek reforma agraria dipetakan berdasarkan kriterianya. Ada tiga kelompok tanah yang dialokasikan untuk program lahan bagi rakyat miskin ini. 1. tanah-tanah yang menurut UU sudah jadi peruntukan, 2. tanah dari hutan produksi konversi, 3. tanah yang sekarang ini dalam proses sertifikasi Departemen Kehutanan dan BPN. Kriteria di atas jelas merujuk kepada satu konsep mengenai subyek yang akan mendapatkan lahan dan obyek yang akan didistribusikan. Hal ini sangat penting mengingat, jika perspektif asset building yang dikembangkan, salah satu yang harus jelas subyek penerima program serta aset yang akan diraih. Dengan begitu maka sasaran dari program menjadi sangat nyata, terarah, dan bisa diprediksikan capaian kemajuannya Sesuai dengan konsep dari asset building, maka obyek (lahan) yang akan didapatkanpun disimulasi agar bisa sesuai atau mencapai titik temu antara subyek dan obyek. Jika keduanya sudah terisi baru dirumuskan target asset dari masing-masing subyek atas obyek yang sudah ada. Bisa jadi bahwa pembagian lahan yang merupakan hak kaum miskin yang sudah dipetakan tadi menjadi titik awal dalam melakukan asset building subyek peserta.
2. Pelaksanaan: Pengubahan Kesadaran
Program reforma agraria dengan pendekatan asset building tidak lain hanya untuk pengubahan kesadaran rakyat akan pentingnya membangun dan mengembangkan aset. Dengan kepenguasaan atas satu bentuk aset maka seseorang (terlebih rakyat miskin) akan bisa memberdayakan dirinya sendiri. Selain itu, model pemberdayaan berbasis pengembangan aset akan memberikansatu bentuk kesadaran baru kepada mereka khususnya dalam permasalahan mengubah nasib. Selain itu, reforma agraria dengan modus ini juga mendorong untuk mengubah kesadaran warga desa dari konsumtif ke produktif. Terakhir, kesadaran yang terbangun seiring dengan berjalannya program adalah terjadinya perluasan dan penguatan jaringan (modal capital) pada subyek pelaku.
3. Tujuan: Pembebasan
Harus disadari sejak awal bahwa pemberdayaan sejalan upaya-upaya dan cita-cita pembebasan. Salah satu bentuknya adalah dengan memberikan akses yang luas kepada kaum miskin untuk mendapatkan fasilitas dari negara baik itu berupa kredit, dan lain-lain. Reforma agraria mengubah atau berpotensi mengubah keluargaatau kaum miskin dari keterbelengguan akan kemiskinan kepada kebebasan untuk menentukan arah dan jalan hidupnya sendiri. Sehingga dengan kebebasan ini mereka akan lebih mudah merancang masa depannya maupun anak-anaknya kelak.
Sebagai penunjang, untuk melaksanakan program asset building ini pembenahan infrastruktur kelembagaan patut dibangun. Infrastuktur itu antara lain adalah aparat yang tanggap dan paham akan makna dan substansi dari program ini, kemudian masyarakat juga diberikan pengertian yang mendalam mengenai program ini. Untuk itu, pelibatan lembaga-lembaga kemasyarakatan menjadi sangat penting agar di lapangan semua pihak bisa mendapatkan kesepahaman akan hal ini. Selain itu,kelembagaan untuk menyerap hasil produksi rakyat jika mereka bergerak di bidang sektor riil seperti pertanian jauh-jauh hari harus disiapkan. Sebab agar program pengembangan aset bisa berjalan dengan baik, maka jenis usaha yang akan dilakukan juga sangat penting. Di sisi lain, akses kepada pasar global, lembaga keuangan, dll., menjadi keharusan lain dalam program ini. Tentu saja yang tidak boleh terlewat adalah adanya aturan baku yang mendukung upaya ini. Aturan inilah yang kemudian akan menjadikan semua pihak untuk menjalankan program ini dengan baik.
Mirna Taufik (13/357485/PMU/8085)
BalasHapusSejak awal kita sudah mengetahui bahwa bangsa indonesia merupakan bangsa yang bersifat agraris dan hampir sebagian besar penduduknya tinggal di pedesaan dan bergerak di bidang atau sektor pertanian. Dimana penduduk miskin juga banyak terdapat di pedesaan ataupun di pinggir-pinggiran kota. Oleh sebab itu saya sangat setuju jika dalam rangka mengatasi kemiskinan dilakukan penyelenggaraan Reformasi agrari karena Reformasi agrari juga di anggap sebagai kata kunci untuk keberhasilan pembangunan yang merupakan suatu hal yang sangat beralasan. Akan tetapi berkaitan dengan hal tersebut pada era reformasi yang ditandai oleh pergantian rajim yang relatif lebih demokratis juga belum menunjukkan arah tercapainya tujuan pembangunan. Selain dari itu juga langkah reformasi agraria dijadikan komoditas politik sehingga land reform dianggap sebagai “barang haram” dan tidak bisa diselenggarakan. Kemudian Bachriadi mengungkapkan tentang deklarasi pembaruan agraria “melaksanakan land reform berarti melaksanakan satu bagian mutlak dari revolusi indonesia”, maka saat ini pemerintah kembali membangkitkan reforma agraria. Akan tetapi sebelum pemerintah membangkitkan kembali Reforma agraria pemerintah harus mengoreksi, memperbaiki sistem pemerintahan dan sistem kependudukan atau pola fikir penduduk indonesia guna tercapainya Reforma agrari yang diinginkan.
land reform dianggap sebagai 'barang haram' dan tidak bisa diselenggarakan. ini statemen siapa, di mana, dalam rangka apa? hal ini penting, agar bisa diletakkan pada konteks diskusi reforma agraria dalam mereduksi konflik melalui perluasan lapangan kerja
HapusSaya mengutip dalam sebuah referensi dimana penulis mengatakan bahwa “ Reforma Agraria di Indonesia sudah dikenal sejak tahun 1960. Pembuktian atas hal tersebut adalah diundangkannya Undang – Undang Nomor. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok –Pokok Agraria yang merupakan tonggak penting bagi upaya menuju keadilan agraria di Indonesia. Akan tetapi langkah tersebut kemudian dijadikan komoditas politik sehingga ketika terjadi prahara pada tahun 1965 dan kekuasaan dipegang oleh rezim Orde Baru, land reform dianggap sebagai “barang haram” sehingga tidak bisa diselenggarakan”. Akan tetapi
HapusBachriadi mengungkapkan : “Kekeliruan pembangunan yang mendasar adalah tidak ditempatkannya pembaruan agraria yang berupa penataan kembali penguasaan, penggunaan, pemanfaatan, peruntukan dan pemeliharaan sumber-sumber agraria sebagai pra-kondisi dari pembangunan… Pembaruan agraria dipercayai pula sebagai proses perombakan dan pembangunan kembali struktur sosial masyarakat, khususnya masyarakat pedesaan, sehingga tercipta dasar pertanian yang sehat, terjaminnya kepastian penguasaan atas tanah bagi rakyat sebagai sumberdaya kehidupan mereka, sistem kesejahteraan sosial dan jaminan sosial bagi rakyat pedesaan, serta penggunaan sumberdaya alam sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.” (Deklarasi Pembaruan Agraria, Jogjakarta 1998). “Melaksanakan land reform berarti melaksanakan satu bagian yang mutlak dari Revolusi Indonesia.” (Soekarno, 1960).
Nah dari saat itulah pemerintah kembali membangkitkan Reforma Agraria dalam konsep baru, Dengan konsep Reforma Agraria baru yang sedang dihadapi Bangsa Indonesia.
komentar kawan2 sudah bagus, relevan dan up to date...tetapi belum ada yang merespon pendapat kawan lain, semua masih merujuk tulisan utama
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapuskok dihapus...ga pd ya?
Hapusyunita utami ningsih (357475)
BalasHapusKemiskinan merupakan hal yang sangat jelas terjadi di Negara ini, data yang diperoleh dari BPS pada tahun 2006 menunjukkan sebanyak 63,1% penduduk miskin berada di wilayah pedesaan.
Saya setuju dengan statmen reforma agraria akan tetapi mucul satu pertanyaan apakah mungkin reforma agrarian dapat mengurangi jumlah kemiskinan????pada kenyataannya sekarang ini rata-rata jumlah angkatan kerja menjadi pengangguran ibu kota berasal dari wilayah pedesaan, lalu bagaimana jika para anak petani saja enggan bercita-cita sebagai petani????peningkatan pendidikan di pedesaan merupakan faktor pendorong yang utama yang berperan memicu adanya urbanisasi ke kota-kota besar.
selain pertanyaan, adakah usul yang memungkinkan utk diimplementasikan?
HapusSaya setuju denag pendapat penulis dan teman-teman sekalian. Dimana penulis dan teman –teman sekalian bahwa reforma agrarian yang di lakukan oleh pemerintah bertujuan mengrangi mengurangi kemiskinan yang di akibatkan oleh penganguran dimana kemiskinan ini berada di desa. Kemiskina di sector pertanian ini di sebabkan oleh sedikitnya areal lahan yang di gunakan petani untuk bertani dan rendahnya tingkat pendidikan yang di miliki petani sehingga meraka tidak bisa menghasilkan produksi bahan pangan secara optimal. Menurut saya kebikakan pemerintah dalam ranggak mengurangi kemiskinan dan pengangguran yaitu dengan cara pembarian lahan untuk bertani sudah bagus tetapi saya berharap ini bukan Cuma wacana semata tetapi harus benar-benar direalisasikan dengan baik dan memberikan pendidikan pada para petani,kemudahan dalam mengakses transfortasi dan teknilogi yng canggi agar petani dapat memperoleh hasil yang melimpah sehingga dapat mengurangi tingkat kemiskinan dan pengangguran di Indonesia.
BalasHapusWacana perlu diwujdukan, bagaimana caranya ya....
Hapuswacana bisa diwujudkan dengan melibatkan masyarakat menjadi subyek, dan bukan obyek, dengan ikut menentukan dalam setiap kegiatan yang menyangkut dirinya baik dalam bidang politik, ekonomi maupun sosial
BalasHapusdalam tulisan ini dan komentar temen2 semua tentang setuju atau tidaknya ada reforma agraria dalam mereduksi konflik sebai upaya membuka lapangan kerja,,,kalo menurut saya hal yang paling kita tidak sadari terjadi di desa adalah ketika reforma agraria ini dapat diatasi atau bisa dikatakan terwujud yang terjadi malah petani sekarang ini yang lagi tren membuat gavel kind system, fragmentasi lahan , bagaimana di desa itu tidak banyak menganggur karena disana sudah banyak terjadi gavel kind system,,,ini semua tidak terlepas dari rivalitas dan kompetisi...dan disini juga saya belum melihat adanya satu contoh kasus yang bisa dijadikan parameter dengan adanya reforma agraria bisa membuka lapangan kerja,,,karena linkages untuk lapangan keja ini sangat banyak variabelnya...thanks
BalasHapuscoba jelaskan apa gavel kind system, termasuk penerapannya di masyarakat perdesaan. Soal rivalitas dan kompetisi...lebih tepat disebut dengan land contestation. Secara khusus riset yg saya lakukan telah mendapatkan satu teori/model yg disebut dg 'land contestation triangle model' yang merupakan segitiga model perebutan lahan di perdesaan. untuk mencermati ini, silahkan baca/lihat Buku Kontestasi dan Marjinalisasi Petani yg bs didapatkan di Perpust Geografi atau Toga Mas
HapusNasalina (7688)
BalasHapusTulisan ini lebih membahas mengenai “Strategi Mereduksi Konflik Melalui Perluasan Lapangan Kerja” yang difokuskan di agraria. Di dalam tulisan telah disebutkan batasan istilah tentang ”reforma agraria dimaknai sebagai proses yang berkesinambungan berkenaan dengan restrukturisasi penggunaan, pemanfaatan, penguasaan dan pemilikan sumber-sumber agraria, terutama tanah yang mampu menjamin keadilan dan keberlanjutan peningkatan kesejahteraan rakyat (BPN RI, 2007)”
Saya lebih setuju dengan pendapat Nasrullah yang mengatakan bahwa “….petani sekarang ini yang lagi tren membuat gavel kind system, fragmentasi lahan…” hal ini yang menyebabkan reforma agraris di Indonesia belum berjalan secara maksimal. Jika saya menambahkan dari pendapat Nasrullah kondisi yang terjadi di Indonesia yaitu penguasaan dan kepemilikan tanah yang belum sepenuhnya masyarakat memiliki sertifikat atas penguasaan dan kepemilikan tanah yang berkesinambungan ke sistem warisan yang akhirnya merembet menjadi fragmentasi lahan yang berujung tidak dapat mempertahankan lahan pertanian (dijual).
Saya sepakat dengan pendapat dari Seri Aryati yang menyatakan bahwa “pada umumnya sifat anak bangsa Indonesia kebanyakan cita-citanya tidak ingin menjadi petani” Saya menambahkan jika sudah tidak ingin menjadi petani lagi sesuai dengan ulasan Seri Aryati masih ada faktor yang menyebabkan untuk tidak menjadi petani yaitu terdapat jarak waktu yang lebar antara pengeluaran (biaya operasional pertanian dari pembibitan hingga pemanenan) dengan penerimaan pendapatan dalam pertanian. Dalam kaitannya dengan pengangguran di pedesaan perlu saya menyimpulkan bahwa selama masa pembibitan hingga masa pemanenan terdapat masa di mana petani tidak bekerja dalam konsep BPS yang menggunakan indikator Bekerja selama 1 jam/hari dengan Pengangguran Terbuka yang dirujuk pada kegiatan selama seminggu yang lalu, maka saya berpendapat pasti pengangguran di pedesaan akan lebih banyak disbanding di perkotaan.
Implementasi yang harus dilaksanakan menurut saya lebih ke penguasaan dan kepemilikan lahan itu sendiri yang harus dibenahi, selanjutnya perlu adanya :
Kebijakan dari Pemerintah untuk bersama-sama dengan Masyarakat dam Stakeholder untuk memberdayakan petani mulai dari komitmen petani untuk mempertahankan lahan pertanian hingga pengolahan dan pemasaran hasil pertanian. Sesuai dengan reforma agraria dengan kebijakan struktural dalam pertanian seperti memperbaiki luas pemilikan tanah, dan pengusahaan alat-alat pertanian yang baru dan perbaikan prasarana pertanian pada umumnya baik prasarana fisik maupun sosial ekonomi.
Terkait dengan perluasan lapangan kerja khususnya di pertanian lebih memfokuskan kepada Diversifikasi Pangan untuk membuat inovasi terhadap hasil pertanian yang sedang diminati/tren hal ini akan membuka lapangan pekerjaan baru mulai dari penanaman hingga hasil dan pemasaran yang dapat menyedot tenaga kerja lebih banyak untuk bekerja di sektor pertanian.
Sepakat......memang dibutuhkan extraordinary agenda yang langsung dipimpin oleh presiden utk bisa laksanakn reforma agraria, menerapkan sistem perekonomian yang berpihak pada petani dan mempercepat proses pembangunan dan pusat-pusat pertumbuhan di perdesaan agar tenaga kerja perdesaan tidak terlempar di sektor informal di kota
Hapus