PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DALAM
PENGELOLAAN PERTANAHAN
Oleh:
Sutaryono
Pendahuluan
Terbitnya Peraturan Presiden
Nomor 10 Tahun 2006 tentang Badan Pertanahan Nasional (BPN) yang diikuti dengan
munculnya Peraturan Kepala BPN Nomor 4 Tahun 2006 tentang Organisasi dan Tata
Kerja Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional dan Kantor Pertanahan,
memunculkan babak baru dalam pengelolaan dan pelayanan pertanahan. Berdasarkan
perpres tersebut fungsi BPN RI semakin luas dan semakin kuat, terutama
berkaitan dengan upaya-upaya untuk mewujudkan keadilan dan kemakmuran rakyat
melalui pendayagunaan sumberdaya agraria/pertanahan.
Dalam
konteks peraturan perundang-undangan tersebut, satu hal yang sangat esensial
dan prospektif untuk mewujudkan keadilan sosial dan kemakmuran masyarakat
melalui penataan penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah adalah
pemberdayaan masyarakat. Pemberdayaan masyarakat yang selalu dikaitkan dengan pengendalian
pertanahan ini, nampak sebagai kebijakan yang diupayakan untuk membumikan
agenda pengendalian dan pemberdayaan masyarakat. Pada peraturan
perundang-undangan sebelumnya, institusi pengendalian pertanahan dan
pemberdayaan masyarakat hanya sampai pada tingkat direktorat, sedangkan
berdasarkan Perpres 10/2006 berikut peraturan pelaksananya sudah sampai pada
level sub seksi di jajaran kantor pertanahan. Dapat dipastikan bahwa keberadaan
struktur yang ada pada tingkat pusat (direktorat), cenderung tidak mengakar dan
belum memberikan tingkat implementasi secara riil. Atau malah baru pada taraf
diskursus tentang konseptualisasi terminologi, mengingat masih miskinnya
informasi dan agenda kerja mengenai pengendalian pertanahan dan pemberdayaan
masyarakat selama ini. Nah, keberadaan sub seksi pengendalian pertanahan dan
pemberdayaan masyarakat di kantor pertanahan dapat dimaknai sebagai upaya untuk
membumikan agenda pengendalian dan pemberdayaan sebagai salah satu strategi
baru dalam pembangunan pertanahan.
Pengendalian
Pertanahan dan Pemberdayaan Masyarakat
Berdasarkan
Grand Design Pengendalian dan
Pemberdayaan Masyarakat di Bidang Pertanahan (BPN, 2004) disebutkan bahwa
secara kelembagaan beberapa fungsi pada bidang pengendalian dan pemberdayaan
masyarakat di bidang pertanahan adalah sebagai berikut:
1. Deputi
Bidang Pengendalian Pertanahan dan Pemberdayaan Masyarakat berfungsi dalam:
- perumusan kebijakan, koordinasi dan pelaksanaan pengendalian pertanahan;
- perumusan kebijakan, koordinasi dan pelaksanaan peningkatan partisipasi masyarakat.
2. Direktorat
Pengendalian Pertanahan berfungsi dalam:
- pengendalian penguasaan dan pemilikan tanah;
- pengendalian penggunaan tanah.
3.
Direktorat Pemberdayaan Masyarakat berfungsi dalam:
- pemberdayaan masyarakat di bidang pertanahan;
- pelaksanaan kerjasama di bidang pertanahan.
Grand
design
tersebut juga menegaskan bahwa dalam tahapan operasional di daerah, pada
dasarnya tugas pengendalian pertanahan dan pemberdayaan masyarakat adalah tugas
dan fungsi Kanwil BPN dan Kantor Pertanahan. Pembentukan organisasi di tingkat
pusat untuk perumusan konsepsi dan kebijakan, sedangkan komponen pelaksananya
di kantor pertanahan disesuaikan dengan jenis kegiatannya. Apabila dibentuk
unit kerja di daerah hanya dipersyaratkan di Kanwil BPN yang bertugas melakukan
supervisi dan koordinasi.
Berbeda
dengan grand design di atas, berdasarkan
Peraturan Kepala BPN RI Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Organisasi dan Tata Kerja
BPN RI disebutkan bahwa secara kelembagaan fungsi-fungsi deputi bidang pengendalian
pertanahan dan pemberdayaan masyarakat adalah sebagai berikut:
a.
perumusan kebijakan teknis di bidang pengendalian dan
pemberdayaan masyarakat;
b.
pelaksanaan pengendalian kebijakan, perencanaan dan
program penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah;
c.
pemberdayaan masyarakat di bidang pertanahan;
d.
evaluasi dan pemantauan penyediaan tanah untuk berbagai
kepentingan.
Mencermati
kedua hal di atas tampaknya ada sesuatu
yang perlu didiskusikan ulang. Terminologi pengendalian pertanahan dan pemberdayaan
masyarakat seolah-olah dimaknai sebagai satu kesatuan yang tidak terpisahkan.
Pemaknaan ini didasarkan pada logika sederhana yang menyatakan bahwa
pihak-pihak yang mempunyai akses berlebih terhadap tanah perlu dikendalikan dan
pihak-pihak yang miskin atau tidak punya akses terhadap tanah perlu
diberdayakan. Pemaknaan ini terlihat sebagai upaya mensimplifikasi makna
sebenarnya. Apabila dikelompokkan, paling tidak terdapat dua hal penting yang
perlu didiskusikan ulang.
Pertama terkait dengan substansi
dan penggunaan terminologi pengendalian pertanahan dan pemberdayaan masyarakat.
Dari sisi substansi ada kecenderungan mensimplifikasi aspek pengendalian dan
makna pemberdayaan masyarakat. Pada sisi penggunaan terminologi yang
berhubungan dengan substansi masih sering muncul kerancuan, misalnya antara
”pengendalian pertanahan dan pemberdayaan masyarakat” dan ”pengendalian dan
pemberdayaan masyarakat di bidang pertanahan”. Kedua terminologi tersebut dari
sisi bahasa jelas terdapat perbedaan makna., sehingga tidak pada tempatnya
menyebutkan pengendalian pertanahan dan pemberdayaan pada satu terminologi. Terminologi
pemberdayaan masyarakat memiliki dasar filosofis yang jauh berbeda dengan
pengendalian pertanahan. Dalam konteks yang lebih luas, pemberdayaan masyarakat
adalah prasyarat penting bagi terwujudnya civil society, di samping keadilan
sosial dan kemakmuran.
Kedua
terkait dengan kelembagaan. Belum solidnya kelembagaan baik di pusat maupun di
daerah mengindikasikan bahwa tugas pokok dan fungsi bidang pengendalian
pertanahan dan pemberdayaan masyarakat ini
belum optimal. Bahkan agenda kerja yang disusun banyak bersinggungan atau malah overlaping dengan bidang lain. Hal ini
juga didorong oleh adanya program yang diagendakan kelembagaan di pusat belum
membumi dan cenderung masih sebatas wacana. Kalau toh sudah berupa program kerja,
implementasinya masih banyak dipertanyakan, terutama terkait tupoksi, personel
dan pendanaan.
Pemberdayaan
Masyarakat, Leading Sector-nya BPN
Memprihatinkan,
ketika penulis mendengar berbagai statemen tentang bidang, seksi ataupun
subseksi pemberdayaan masyarakat di berbagai kantor pertanahan maupun kantor
wilayah BPN sebagai bidang, seksi atau subseksi yang “kering”, tidak memberikan
kontribusi pada pelayanan pertanahan, sumberdaya manusianya adalah orang
buangan, program kerjanya tidak jelas dan sudah ada di seksi lain, struktur yang
mengada-ada, bukan tugas pokok dan fungsi (tupoksi) BPN, dan beberapa statemen
minor lainnya. Bahkan pada level direktorat, pemberdayaan masyarakat dimaknai
’hanya’ sebatas pada sertifikasi bidang tanah pada sektor Usaha Menengah, Kecil
dan Mikro (UMKM) yang bekerjasama dengan pihak perbankan ataupun koperasi. Hal-hal tersebut penulis tangkap pada saat
berkesempatan mengunjungi beberapa daerah di Jawa, Kalimantan Timur, Sulawesi
Selatan, Sulawesi Utara, Sulawesi Barat, Nusa Tenggara Timur dan Nusa Tenggara
Barat maupun pada saat terlibat penelitian dan Focus Group Discussion (FGD) di Pusat Penelitian dan Pengembangan
(Puslitbang) BPN.
Apabila berbagai statemen minor
terhadap kelembagaan pemberdayaan masyarakat di lingkungan BPN sebagaimana di
atas benar, maka sebuah kewajaran apabila implementasi Perpres 10/2006
kedodoran. Salah satu klausul dalam Perpres 10/2006 yang secara esensial sangat
fundamental dalam pengelolaan pertanahan adalah Pasal 2 yang berbunyi ”BPN
mempunyai tugas melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pertanahan secara
nasional, regional dan sektoral. Substansi ini mensyaratkan kelembagaan BPN
kuat dan mindset aparat di dalamnya
harus lebih terbuka, berwawasan nasional dan tidak terkotak-kotak pada bidang
ataupun seksi yang sudah eksis.
Kelembagaan Pemberdayaan Masyarakat (direktorat, bidang, seksi dan sub
seksi) di lingkungan BPN mestinya bisa menjadi entry point bagi eksistensi BPN untuk menjalankan tugas pertanahan
yang bersifat nasional, regional maupun sektoral. Tidak jamannya lagi BPN
sebagai lembaga vertikal mengambil jarak dengan pemerintah daerah (provinsi dan
kabupaten/kota). Persoalan otonomi pertanahan mestinya sudah selesai dengan
Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional Di Bidang
Pertanahan maupun Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian
Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, Dan
Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota. Pada saat ini BPN dengan Perpres
10/2006-nya harus mulai membuka diri, melakukan kolaborasi dengan berbagai stake holder dan institusi yang
berkompeten terhadap sumberdaya tanah. Peran kehumasan dan negosiasi dengan
pihak eksternal inilah yang harus dimainkan oleh lembaga Pemberdayaan
Masyarakat di BPN. Artinya, lembaga Pemberdayaan Masyarakat di berbagai
tingkatan di BPN harus menjadi leading
sector-nya pembangunan pertanahan.
Sebagai contoh, percepatan pendaftaran tanah tidak akan berjalan dengan
baik tanpa pelibatan pemerintah daerah dan masyarakat. Dalam contoh ini sub
seksi Pemberdayaan Masyarakat di kantor kertanahan harus mampu menjembatani
kantor pertanahan dengan pemda maupun dengan masyarakat, sehingga resources yang ada di pemerintah daerah
dan masyarakat dapat digunakan untuk mengurangi dan menyelesaikan permasalahan
yang timbul yang berada di luar kewenangan kantor pertanahan. Contoh lain
adalah Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN). Dalam program ini sudah
sepantasnyalah lembaga Pemberdayaan Masyarakat dalam segala tingkatan berperan
dalam mengagregasi dan mengartikulasikan keseluruhan stake holder yang terlibat dalam program tersebut.
Untuk dapat melakukan berbagai
tantangan di atas, perlu dipahami bersama tentang konsep pemberdayaan. Pemberdayaan
(empowerment) adalah kata benda, sedangkan action-nya adalah kata kerja yaitu memberdayakan atau empowering. Kalau ditilik lebih jauh lagi,
pemberdayaan atau lebih tepatnya disebut sebagai empowerment merupakan konsep yang lahir dari perkembangan
pemikiran dan budaya barat. Konsep ini sejalan dengan depowerment terhadap pemikiran-pemikiran mistifikasi keagamaan yang
telah berkembang menjadi sebuah mitos yang membelenggu pemikiran-pemikiran
rasionalisitik. Substansi dari konsep empowerment adalah emansipasi dan
liberalisasi serta penguasaan terhadap segala kekuasaan dan penguasaan[1]. Implikasi dari adanya
emansipasi dan liberalisasi ini adalah sesuatu yang disebut sebagai pembebasan
yakni pembebasan manusia dari sebuah kungkungan kekuasaan yang melingkupinya
melalui proses empowerment of the
powerless.
Dalam konteks pembangunan, konsep
pemberdayaan memiliki perspektif lebih luas. Pearse dan Stiefel (1979)[2] menyatakan bahwa
menghormati kebhinekaan, kekhasan lokal, dekonsentrasi kekuatan dan peningkatan
kemandirian merupakan bentuk-bentuk pemberdayaan partisipatif. Paul (1987)
seorang pemikir lain menyatakan bahwa pemberdayaan berarti pembagian kekuasaan
yang adil (equitable sharing of power),
sehingga meningkatkan kesadaran politis dan kekuasaan kelompok yang lemah serta
memperbesar pengaruh mereka terhadap proses dan hasil-hasil pembangunan.
Berdasarkan hal di atas maka pendekatan yang
digunakan dalam masyarakat adalah pendekatan partisipatif. Dalam pendekatan ini
masyarakat tidak dijadikan sebagai obyek pembangunan belaka tetapi dijadikan
sebagai subyek yang ikut menentukan keberhasilan sebuah program pembangunan
yang dilaksanakan. Masyarakat diberi kewenangan dan otoritas untuk merencanakan
dan menentukan pilihan-pilihan secara aktif dalam proses yang dijalankan
termasuk terlibat dalam perencanaan, pelaksanaan, pengendalian hingga
pemanfaatan hasil.
Proses pemberdayaan mengandung dua
kecenderungan, yakni: (1) proses pemberdayaan yang menekankan pada proses
memberikan atau mengalihkan sebagian kekuasaan, kekuatan atau kemampuan kepada
masyarakat agar menjadi lebih berdaya. Proses ini ditujukan untuk membangun
kemandirian baik individu maupun kolektif yang biasanya dilakukan melalui
organisasi; (2) Proses menstimulasi, mendorong atau memotivasi individu atau
kolektif agar mempunyai kemampuan atau keberdayaan untuk menentukan apa yang
menjadi pilihan hidupnya melalui proses dialog[3].
Memberdayakan masyarakat adalah
upaya untuk meningkatkan harkat dan martabat lapisan masyarakat yang dalam
kondisi sekarang tidak mampu untuk melepaskan diri dari perangkap kemiskinan
dan keterbelakangan. Dengan kata lain memberdayakan adalah memampukan dan
memandirikan masyarakat[4]. Ini berarti bahwa
pemberdayaan masyarakat adalah upaya untuk memampukan dan memandirikan dengan
mendorong, memotivasi dan membangkitkan kesadaran terhadap potensi yang
dimilikinya untuk lebih berdaya guna dan berhasil guna. Dasar dari upaya ini
adalah dengan mengakui dan memberikan hak-hak masyarakat untuk ikut mengelola,
mengawasi, bertanggungjawab serta ikut menikmati keberadaan sumberdaya agraria
di sekelilingnya.
Dalam konteks pengelolaan
pertanahan, selama ini belum melibatkan masyarakat secara optimal. Beberapa
konflik dan sengketa pertanahan yang terjadi, salah satunya disebabkan oleh
kurangnya interaksi antara pihak-pihak yang terlibat konflik. Sebuah resolusi penting agar konflik yang
terjadi tidak berkepanjangan adalah melakukan dialog dan bargaining
untuk mendapatkan sebuah konsensus dalam pengelolaan pertanahan.
Munculnya visi ”Tanah untuk
sebesar-besar kemakmuran rakyat guna mewujudkan keadilan dan keberlanjutan
sistem kemasyarakatan, kebangsaan dan kenegaraan Republik Indonesia” dan
terbitnya regulasi yang mengatur tentang pemberdayaan masyarakat di bidang
pertanahan, menjadikan pemberdayaan adalah sebuah peluang dan tantangan bagi
aparat pertanahan. Peluang yang berupa tersedianya regulasi tentang
pemberdayaan mestinya dapat dimanfaatkan secara baik oleh aparat pertanahan,
untuk memberdayakan masyarakat yang berorientasi pada pencapaian visi
pertanahan. Adapun tantangan yang dihadapi adalah berubahnya paradigma
pembangunan ke pemberdayaan yang diikuti dengan menguatnya desentralisasi dan civil society. Artinya, pemberdayaan masyarakat di bidang
pertanahan dapat dijadikan titik masuk bagi eksistensi kelembagaan BPN di era
otonomi ini. Persoalannya adalah
bagaimana mengimplementasikan konsep pemberdayaan masyarakat dalam berbagai
agenda aksi yang mendukung pelayanan pertanahan?
Peraturan Kepala BPN No. 4/2006
Psl 52 (2) secara eksplisit menyebutkan bahwa Subseksi Pemberdayaan Masyarakat
mempunyai tugas menyiapkan bahan inventarisasi potensi, asistensi, fasilitasi
dalam rangka penguatan penguasaan, dan melaksanakan pembinaan partisipasi
masyarakat, lembaga masyarakat, mitra kerja teknis dalam pengelolaan pertanahan
serta melakukan kerjasama pemberdayaan dengan pemerintah kabupaten/kota,
lembaga keuangan dan dunia usaha, serta bimbingan dan pelaksanaan kerjasama
pemberdayaan. Ayat tersebut mensyaratkan bahwa subseksi pemberdayaan masyarakat
harus melakukan berbagai langkah internal dan eksternal secara produktif, agar
secara kelembagaan fungsi seksi pemberdayaan masyarakat dapat berdaya dan
berhasil guna.
Beberapa hal yang dapat
didiskusikan berkenaan dengan agenda pemberdayaan masyarakat di bidang
pertanahan adalah menumbuhkan dan meningkatkan partisipasi masyarakat. Upaya
menumbuhkan partisipasi masyarakat dapat dilakukan melalui:
1.
Mengeksplorasi nilai-nilai yang berkaitan dengan semangat
partisipasi: Kebersamaan, solidaritas, tanggungjawab, lokalitas, keberpihakan pada
kelompok marjinal, dsb.
2.
Menghidupkan kembali institusi-institusi lokal yang
pernah eksis.
3.
Memfasilitasi terbentuknya asosiasi-asosiasi kewargaan
yang berbasis kemasyarakatan & kultural yang dapat dimanfaatkan untuk
memperluas ruang interaksi.
4.
Mengkampanyekan pentingnya partisipasi masyarakat untuk
sebuah perubahan.
5. Memperluas ruang komunikasi publik.
Setelah tumbuhnya benih-benih partisipasi, maka perlu
segera ditindaklanjuti dengan upaya peningkatan partisipasi, yang meliputi:
1. Memperkuat basis legal untuk partisipasi dan penguataan kapasitas masyarakat, misal
melalui perda atau surat
edaran dari institusi pemerintah.
2. Penguatan kapasitas intitusi lokal, dengan
mengalokasikan sumberdaya dan memberi kesempatan untuk berkreasi.
3. Menyediakan dan menyebarluaskan berbagai
informasi publik yang mudah diakses.
4.
Melakukan proses desentralisasi ke tingkat bawah.
5. Mengembangkan metode kemitraan dan
partisipasi.
Partisipasi sebagai buah dari pemberdayaan,
terkadang hanya dimaknai sebagai keterlibatan dalam sebuah kegiatan saja, yang
sebetulnya lebih cocok disebut sebagai mobilisasi. Partisipasi pada dasarnya
menuntut keterlibatan dalam: (a) perumusan kebijakan dan penyusunan rencana;
(b) tahapan implementasi; dan (3) pemantauan dan evaluasi atas suatu program
yang berkenaan dengan masyarakat luas.
Beberapa hal yang berhubungan dengan
partisipasi sebagaimana di atas perlu di-‘bumi’-kan ke dalam berbagai agenda
aksi yang strategis, realistis dan populis dalam mendorong transformasi sosial
di bidang pertanahan. Kondisi ini
merupakan sebuah prasyarat bagi pencapaian 11 Agenda BPN yang meliputi: (1)
membangun kepercayaan masyarakat pada BPN; (2) meningkatkan pelayanan dan
pelaksanaan pendaftaran tanah, serta sertipikasi secara menyeluruh di seluruh
Indonesia; (3) memastikan penguatan hak-hak rakyat atas tanah; (4)
menyelesaikan persoalan pertanahan di daerah-daerah korban bencana alam dan
daerah-daerah konflik di seluruh tanah air; (5) menangani dan menyelesaikan
perkara, masalah, sengketa dan konflik pertanahan di seluruh Indonesia secara
sistematis; (6) membangun System Informasi dan Manajemen Pertanahan (SIMTANAS)
dan system pengamanan dokumen di seluruh Indonesia; (7) menangani masalah KKN
serta meningkatkan partisipasi dan pemberdayaan masyarakat; (8) membangun
database penguasaan dan pemilikan tanah skala besar; (9) melaksanakan secara
konsisten semua peraturan perundang-undangan pertanahan yang ditetapkan; (10)
menata kelebagaan BPN; (11) mengembangkan dan memperbarui politik, hukum dan
kebijakan pertanahan.
Implementasi Program Pemberdayaan
Masyarakat
Keanekaragaman,
partisipasi, otonomi, demokratisasi dan pemberdayaan masyarakat yang dijadikan
dasar pemikiran mengenai pentingnya
pengaturan tentang pembangunan pedesaan perlu diimplementasikan secara
nyata ke dalam pelaksanaan pembangunan pertanahan, mulai dari tahapan
perencanaan, pelaksanaan, pemantauan sampai pada tahapan evaluasi. Dalam
konteks ini kegiatan pembangunan pertanahan terutama yang berhubungan dengan
penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah dapat dimulai dengan
menumbuhkan partisipasi. Dengan demikian, apabila hal ini dapat dilakukan maka
pemberdayaan masyarakat dalam pembangunan pertanahan sudah dimulai dengan
terwujudnya partisipasi masyarakat dalam pelayanan pertanahan.
Agenda
pemberdayaan yang dapat dilakukan oleh kantor pertanahan dapat dirumuskan
setelah dilakukan analisis situasi dan potensi yang dimiliki, baik internal
maupun eksternal. Salah satu metode yang layak dikedepankan dalam analisis
situasi dan lingkungan untuk penyusunan agenda pemberdayaan adalah Analisis SWOT (Strengths, Weaknesses, Opportunities,
Threats) yang sering disebut juga dengan Analisis Kekepan (Kekuatan,
Kelemahan, Peluang dan Ancaman). Metode ini cukup sederhana tetapi sangat
efektif untuk memberikan berbagai penyadaran bagi masyarakat tentang potensi
yang dimilikinya. Berbagai kegiatan identifikasi terhadap kekuatan yang
dimiliki masyarakat dan peluang yang harus ditangkap memberikan semangat baru
dan rasa optimisme bagi warga masyarakat yang terlibat dalam proses rembug
warga. Adanya kelemahan dan ancaman yang kemudian disadarinya akan meningkatkan
kehati-hatian dalam pengambilan keputusan sekaligus dapat memunculkan inovasi
dan daya kreasi untuk mengeleminasi kelemahan dan ancaman yang ada dalam upaya
pemberdayaan di bidang pertanahan. Berikut beberapa contoh agenda pemberdayaan
yang dapat didiskusikan lebih jauh agar dapat terformulasi menjadi sebuah
program kerja (Tabel 1).
Agenda
pemberdayaan yang tertuang dalam program kerja sebagaimana contoh pada Tabel 1,
sebagian besar memerlukan kerjasama dengan seksi lain ataupun institusi
terkait. Dalam hal ini subseksi pemberdayaan masyarakat dapat berperan sebagai
motor penggerak. Misalnya, kerjasama pemberdayaan melalui penyediaan media
informasi pertanahan dengan pemerintah daerah. Kerjasama ini digagas, didorong
dan diimplementasikan oleh subseksi pemberdayaan masyarakat untuk kemudian
ditindaklanjuti (di-back up) oleh
seksi lain.
Tabel 1. Arah Kebijakan &
Program Pemberdayaan Masyarakat
No
|
Arah Kebijakan
|
Program
|
Keterangan
|
1.
|
Inventarisasi Potensi & Pengumpulan
Data
|
1. Inventarisasi Hak Atas
Tanah
2. Inventarisasi Tanah
Kritis & Terlantar
3. Inventarisasi Konflik
Pertanahan
4. Inventarisasi Pokmas
5. Inventarisasi LSM di
bidang Pertanahan/agraria
6. Inventarisasi berbagai
kerjasama dengan institusi eksternal
7. Inventarisasi lokasi
penyuluhan pertanahan
|
Kerjasama dengan seksi
lain & institusi terkait
|
2.
|
Asistensi
|
1. Pembentukan Pokmas
2. Sosialisasi Penyadaran
tentang Tertib Pertanahan
3. Perluasan Informasi
& Ruang Interaksi antara BPN & Masyarakat
4. Pelatihan Administrasi
Pertanahan bagi Aparat Desa
|
Kerjasama dengan Pemda
& Instansi Terkait
|
3.
|
Fasilitasi dalam rangka
penguatan penguasaan tanah
|
1. Penguatan Hak Atas
Tanah
2. Memfasilitasi
Percepatan Pendaftaran tanah
3. Memfasilitasi
penyelesaian sengketa
4. Memfasilitasi perbaikan
administrasi pertanahan di Desa
|
Kerjasama dg seksi
terkait
|
4.
|
Melaksanakan pembinaan
partisipasi masyarakat, lembaga masyarakat, mitra kerja teknis dalam
pengelolaan pertanahan
|
1. Penyediaan Klinik
Konsultasi Pertanahan
2. Peningkatan Kualitas
& Kuantitas Tenaga Penyuluh
3. Peningkatan intensitas
Penyuluhan & Sosialisasi Pertanahan
|
Kerjasama dg seksi
terkait
|
5.
|
Melakukan kerjasama
pemberdayaan dengan pemerintah kabupaten/kota, lembaga keuangan dan dunia
usaha
|
1. Penyediaan media
informasi pertanahan: mekanisme pengurusan, pembeayaan, jangka waktu, dsb.
2. Peningkatan akses
masyarakat terhadap dunia usaha
|
Kerjasama dengan Pemda
& lembaga terkait
|
6.
|
Bimbingan dan
pelaksanaan kerjasama pemberdayaan
|
1. Bimbingan Pokmas dalam
pengendalian pertanahan
2. Penguatan kelembagaan
kerjasama
|
Kerjasama dengan Pemda
& lembaga terkait
|
Beberapa
contoh arah kebijakan dan program kerja di atas, apabila dapat
diimplementasikan maka keberadaan kantor pertanahan akan semakin kuat dan
dibutuhkan oleh masyarakat. Bahkan, semua kegiatan yang dilakukan oleh kantor
pertanahan dalam pelayanan masyarakat, mengharuskan unsur pemberdayaan masuk di
dalamnya, karena hanya dengan pemberdayaan dan partisipasi masyarakatlah
kegiatan pelayanan pertanahan dapat dilakukan secara baik, berkelanjutan dan
terhindar dari sengketa dan konflik. Hal
ini menunjukkan betapa pentingnya subseksi pemberdayaan dalam mendukung
pelayanan pertanahan.
Contoh
arah kebijakan dan program yang dikemukakan di atas masih sebatas pada level
sub seksi di kantor pertanahan, mengingat kantor pertanahan-lah yang paling
banyak bersentuhan dengan masyarakat. Pada level seksi dan bidang di Kanwil BPN
maupun pada level direktorat sudah
selayaknyalah memiliki jangkauan dan scooping
yang lebih luas. Negosiasi dan kolaborasi dengan institusi eksternal dalam
dimensi lebih luas menjadi tantangan bagi direktorat pemberdayaan masyarakat
atau bahkan pada level deputi. Lembaga pemberdayaan masyarakat pada semua
tingkatan tidak hanya terbatas pada level penguatan hak masyarakat atas tanah,
tetapi juga memastikan bahwa visi ”Tanah untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat
guna mewujudkan keadilan dan keberlanjutan sistem kemasyarakatan, kebangsaan
dan kenegaraan Republik Indonesia” dapat terrealisasikan. Inilah beberapa
peluang dan tantangan dalam implementasi Perpres 10/2006 demi terwujudnya BPN
sebagai lembaga yang kompeten, kredibel dan diakui eksistensinya oleh institusi
eksternal dalam mengemban amanah UUPA. Semoga.
Bahan Bacaan
Alexander Abe, 2005. Perencanaan Daerah Partisipatif.
Pembaruan. Yogyakarta.
Badan Pertanahan
Nasional, 2003.
Bahan Pembinaan Teknis Pengendalian
Pertanahan. Direktorat
Pengendalian Pertanahan BPN. Jakarta.
______________, 2004. Grand Design Pengendalian dan Pemberdayaan Masyarakat Di Bidang
Pertanahan (Konsepsi, Strategi,
Implementasi dan Hasil). Deputi Bidang Pengendalian Pertanahan Dan
Pemberdayaan Masyarakat BPN. Jakarta.
Hetifah Sj. Sumarto, 2004. Inovasi, Partisipasi Dan Good Governance: 20
Prakarsa Inovatif dan Partisipatif di Indonesia. Yayasan Obor Indonesia.
Jakarta.
Kartasasmita, Ginanjar, 1996. Pembangunan Untuk Rakyat: Memadukan
Pertumbuhan dan Pemerataan. PT. Pustaka CIDESINDO. Jakarta.
Priyono, O.S, dkk, 1996, Pemberdayaan
: Konsep, Kebijaksanaan dan Implementasi, CSIS, Jakarta.
Peraturan Kepala BPN
Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Organisasi & Tata Kerja Badan Pertanahan
Nasional Republik Indonesia.
Peraturan Kepala BPN
Nomor 4 Tahun 2006 Tentang Organisasi & Tata Kerja Kanwil BPN dan Kantor
Pertanahan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar