MENAKAR VISI KEAGRARIAAN CAPRES[1]
Oleh:
Sutaryono[2]
Kontestasi
politik menjelang Pilpres 9 Juli nanti, eskalasinya cenderung meningkat dan
perbedaan antar pasangan calon berserta pendukungnya semakin tajam. Bahkan di
berbagai media dan jejaring sosial muncul kampanye negatif hingga kampanye
hitam yang berorientasi untuk mempengaruhi pemilih yang belum menentukan sikap.
Pada
dasarnya pemilih cukup mencermati dua hal penting untuk menentukan pilihan,
yakni track record dan visi capres-cawapres.
Berkenaan dengan track record, pemilih sudah mendapatkan berbagai informasi
tentang rekam jejak paslon dan cukup cerdas untuk memberikan penilaian. Namun,
berkenaan visi capres cawapres belum banyak ruang yang digunakan untuk
mensosialisasikannya kepada khalayak. Kalau toh ada, masih bersifat parsial dan
cenderung terfokus pada isu pemerintahan, penegakan hukum dan perekonomian. Isu
keagrariaan capres-cawapres cenderung absen dari berbagai perbincangan,
meskipun persoalan agraria adalah persoalan yang sangat mendasar bagi
kerberlanjutan negara dan bangsa Indonesia. Mengapa? Dengan luas wilayah kedaulatan
5,2 juta km², terdiri dari luas laut sebesar 3,3
juta m² dan 1,9 juta km² luas darat serta memiliki sekitar 17.504
buah pulau (7.870 bernama, dan 9.634 belum bernama), dan panjang pantai
mencapai 81.000 km, merupakan sumberdaya agraria yang luar biasa dan perlu
mendapatkan perhatian secara khusus.
Absen-nya isu-isu keagrariaan dari propaganda capres-cawapres, mengesankan
bahwa mereka abai atau tidak paham makna agraria atau, jangan-jangan
tidak paham pula bahwa negeri kita adalah negeri agraris yang membutuhkan
pemimpin-pemimpin yang Pro Agraria (KR, 28-3-2014). Untuk itu, perlu kita
tilik visi keagrariaan masing-masing capres-cawapres, agar pimpinan negeri ini
betul-betul sosok yang pro agraria, mengingat pro agraria berarti
pro kesejahteraan rakyat, sekaligus pro keberlanjutan lingkungan dan bangsa
Indonesia.
Sembilan halaman visi dan misi pasangan Prabowo–Hatta
dengan cita-cita “Membangun Indonesia yang bersatu, berdaulat, adil dan makmur
serta bermartabat”, secara eksplisit mengagendakan “mempercepat reforma agraria
untuk menjamin kepemilikan tanah rakyat, meningkatkan akses dan penguasaan
lahan yang lebih adil dan berkerakyatan, serta menyediakan rumah murah bagi
rakyat”. Agenda tersebut menjadi bagian dari agenda melaksanakan ekonomi kerakyatan
yang cenderung normatif. Pada agenda Membangun Kembali Kedaulatan Pangan, Energi
dan Sumberdaya Alam, Prabowo – Hatta berkehendak mencetak 2 juta hektar lahan
baru untuk meningkatkan produksi pangan dan 2 juta hektar lahan untuk aren, ubi
kayu, ubi jalar, sagu, sorgum dan bahan baku bioetanol lainnya.
Sementara itu, 41 halaman visi dan misi pasangan
Jokowi – JK yang berjudul “Jalan Perubahan untuk Indonesia yang Berdaulat,
Mandiri dan Berkepribadian”, menetapkan visi “Terwujudnya Indonesia Yang
Berdaulat, Mandiri dan Berkepribadian Berlandaskan Gotong Royong”. Meskipun
pasangan ini tidak menempatkan agenda keagrariaan sebagai salah satu dari 9
Agenda Prioritas, tetapi agenda keagrariaannya lebih realistis dan jelas. Sebagai
contoh, pasangan ini berkomitmen untuk melindungi dan memajukan hak-hak
masyarakat adat melalui peninjauan regulasi yang mengatur tentang hak-hak
masyarakat adat, melanjutkan proses legislasi RUU Pengakuan dan Perlindungan
Hak-Hak Masyarakat Adat dan RUU Pertanahan, serta berinisiatif untuk penyusunan
RUU penyelesaian konflik agraria.
Pasangan ini secara eksplisit juga mendorong land reform untuk memperjelas kepemilikan tanah dan sumberdaya alam
melalui penyempurnaan UUPA.
Dari kedua visi pasangan capres-cawapres, tampak bahwa
agenda-agenda keagrariaan belum dikemas secara sistemik dan holistik. Bahkan
ada kecenderungan penempatan agenda keagrariaan masih bersifat parsial,
impulsif atau bahkan hanya sekedar pelengkap saja. Idealnya, ketika persoalan
keagrariaan adalah persoalan mendasar dan persoalan krusial bangsa, maka
selayaknyalah agenda-agenda keagrariaan menjadi agenda strategis. Dalam hal
ini, reforma agraria mestinya menjadi agenda strategis untuk menyelesaikan
berbagai persoalan keagrariaan, mengingat reforma agraria dipandang mampu menyelesaikan persoalan ketimpangan struktur dan distribusi penguasaan
sumberdaya agraria.
Realitasnya, meskipun kedua pasangan
capres-cawapres menyinggung agenda keagrariaan, tetapi keduanya tidak
menempatkan agenda keagrariaan sebagai agenda strategis bangsa dalam visi dan
misinya. Akankah persoalan keagrariaan masih akan terus menggelayuti bangsa
ini? Wallahu a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar