REFORMA
AGRARIA DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT[i]
Oleh:
Sutaryono[ii]
Pembaruan
agraria yang lebih sering disebut dengan reforma agraria merupakan amanah Ketetapan
MPR RI Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria
dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. Dalam ketetapan tersebut diamanahkan
bahwa pembaruan agraria mencakup suatu
proses berkesinambungan berkenaan dengan penataan kembali penguasaan,
pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan sumber daya agraria. Hal tersebut
dimaksudkan bahwa pembaruan agraria harus diarahkan untuk meningkatkan taraf
hidup dan kesejahteraan rakyat dengan memperhatikan kelestarian
lingkungan. Amanah tersebut mensyaratkan
kepada penyelenggara negara untuk menjabarkannya ke dalam berbagai kebijakan
yang memungkinkan untuk dioperasionalisasikan oleh segenap pemangku kepentingan
di bidang keagrariaan.
Persoalan yang kemudian
mengedepan adalah bagaimana pembaruan agraria secara nasional dapat
diimplementasikan secara nyata ketika ide, gagasan dan diskursus pembaruan
selama ini kurang ‘membumi’, bahkan pemaknaan terhadap pembaruan agraria antara
elit bangsa ini masih silang sengkurat- kalau tidak dikatakan saling
bertentangan dan sarat berbagai kepentingan. Persoalan lainnya adalah bagaimana
mungkin pembaruan agraria ini dapat diwujudkan mengingat sebagian masyarakat
kita yang hidupnya bergantung pada sumberdaya agraria dalam kondisi tidak
berdaya. Pembaruan agraria, apapun bentuknya tidak akan terwujud secara
berkelanjutan apabila tidak didahului dengan upaya-upaya pemberdayaan. Betapa
tidak, di banyak kasus menunjukkan bahwa tanah obyek land reform yang sudah
didistribusikan kepada masyarakat tuna kisma dan petani gurem, tidak dalam
jangka waktu lama sudah beralih tangan. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian
asset tanah bagi masyarakat tuna kisma dan petani gurem tidak secara otomatis
meningkatkan kesejahteraan mereka. Inilah ketidakberdayaan, asset yang sudah
ditangan tidak dapat berperan sebagai stimulan untuk menjadi petani yang
mandiri dan mampu meningkatkan kesejahteraan. Realitas ini mendukung statemen
Gunawan Wiradi (2001), “meskipun inti reforma agraria adalah land reform, namun
dari perspektif HAM reforma agraria itu bukan sekedar redistribusi pemilikan,
penguasaan dan penggunaan tanah, melainkan harus ditunjang oleh seperangkat
infrastruktur agar mereka yang semula tuna kisma atau petani gurem mampu
menjadi pengusaha tani yang mandiri dan tidak terjerumus ke dalam utang”. Kata
kunci dari statemen tersebut adalah ’menjadi mampu’, yang berarti bahwa
sebelumnya tidak atau kurang mampu. Persoalannya adalah bagaimana memampukan
seseorang yang sebelumnya tidak atau kurang mampu?
Berbicara
reforma agraria harus didahului dengan pemberdayaan masyarakat, meskipun dapat
juga dipahami bahwa reforma agraria adalah upaya dalam pemberdayaan. Dalam
konteks ini penulis berkeyakinan bahwa pemberdayaan masyarakat adalah sebuah
prasyarat yang harus dipenuhi dalam reforma agraria. Hal ini dilatarbelakangi
bahwa masyarakat yang tidak berdaya diberikan stimulan berupa apapun, tetap
tidak akan berdaya – realitas pada kasus redistribusi tanah sudah menunjukkan
hal itu. Tetapi apabila masyarakat
diberdayakan lebih dahulu maka berbagai stimulan yang ada- apapun bentuknya-
akan dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan produktivitasnya yang muaranya
adalah peningkatan kesejahteraan.
Pemberdayaan
(empowerment) adalah kata benda,
sedangkan action-nya adalah kata kerja yaitu memberdayakan atau empowering.
Kalau ditilik lebih jauh lagi, pemberdayaan atau lebih tepatnya disebut sebagai
empowerment merupakan konsep yang lahir dari perkembangan pemikiran dan
budaya barat. Substansi dari konsep empowerment adalah emansipasi dan
liberalisasi serta penguasaan terhadap segala kekuasaan dan penguasaan
(Pranarka & Moeljarto, 1996). Implikasi dari adanya emansipasi dan
liberalisasi ini adalah sesuatu yang disebut sebagai pembebasan yakni
pembebasan manusia dari sebuah kungkungan kekuasaan yang melingkupinya melalui
proses empowerment of the powerless.
Dalam
konteks ini memberdayakan masyarakat adalah upaya untuk meningkatkan harkat dan
martabat lapisan masyarakat yang dalam kondisi sekarang tidak mampu untuk
melepaskan diri dari perangkap kemiskinan dan keterbelakangan. Dengan kata lain
memberdayakan adalah memampukan dan memandirikan masyarakat (Kartasasmita,
1996). Ini berarti bahwa pemberdayaan masyarakat adalah upaya untuk memampukan
dan memandirikan dengan mendorong, memotivasi dan membangkitkan kesadaran
terhadap potensi yang dimilikinya untuk lebih berdaya guna dan berhasil guna. Hal
ini dapat dimaknai bahwa pemberdayaan masyarakat itu salah satunya adalah bagaimana
merubah mind set seseorang dari perasaan tidak mampu, tidak bisa dan
tidak mungkin menjadi merasa mampu, bisa dan sangat mungkin untuk melakukan
perubahan. Adanya pencerahan pada masyarakat tuna kisma dan petani gurem akan
kekuatan dan potensi yang dimiliki dapat memberikan kesadaran bersama bahwa
perubahan menuju kesejahteraan adalah sebuah keniscayaan. Berkaitan dengan hal tersebut, Suharto (2005)
menyebutkan bahwa pemberdayaan adalah sebuah proses dan tujuan. Sebagai proses,
pemberdayaan adalah serangkaian kegiatan untuk memperkuat kekuasaan atau
keberdayaan kelompok lemah dalam masyarakat, termasuk kelompok miskin. Sebagai
tujuan pemberdayaan menunjuk pada keadaan atau hasil yang ingin dicapai oleh
sebuah perubahan sosial, yaitu masyarakat menjadi berdaya, mempunyai
pengetahuan dan kemampuan dalam memenuhi kebutuhan hidup, memiliki kepercayaan
diri, mampu menyampaikan aspirasi, mempunyai mata pencaharian, berpartisipasi
dalam kegiatan sosial dan mandiri dalam melaksanakan kehidupan.
Nah,
berdasarkan beberapa hal di atas dapat dimaknai bahwa setelah munculnya
kesadaran atas potensi dan kemampuan untuk meningkatkan derajat maka tumbuhlan
semangat untuk melakukan perubahan, mengingat perubahan ini adalah sebuah
proses sekaligus sebuah tujuan. Semangat melakukan perubahan inilah yang
kemudian di-support melalui apa yang
disebut dengan reforma agraria. Artinya, ketika masyarakat tuna kisma dan petani gurem
sudah memiliki semangat dan motivasi untuk maju maka inilah yang disebut
sebagai titik awal untuk menjadi berdaya. Dengan demikian maka reforma agraria
baru dapat diimplementasikan pada masyarakat yang secara pemikiran sudah
berdaya yang ditunjukkan oleh siapnya menerima dan mengelola sumberdaya agraria
yang diberikan dengan penuh semangat, untuk meningkatkan kesejahteraan
hidupnya. Pada kondisi inilah perlu segera didorong dengan agenda reforma
agraria yang berupa redistribusi tanah yang diikuti dengan infrastruktur
penunjangnya. Dengan harapan pemberian aset tanah kepada masyarakat tuna kisma
dan petani gurem tersebut benar-benar dimanfaatkan untuk meningkatkan
kesejahteraannya, bukan sekedar menerima tanah untu kemudian dialihtangankan
kepada pihak lain yang selama ini sering terjadi. Adapun infrastruktur
penunjang redistribusi tanah, menurut Gunawan Wiradi (2001) meliputi: (a)
jaminan hukum atas hak yang diberikan; (b) tersedianya kredit yang terjangkau;
(c) akses terhadap jasa-jasa advokasi; (d) akses terhadap informasi baru dan
teknologi; (e) pendidikan dan latihan; (f) akses terhadap bermacam sarana
produksi dan bantuan pemasaran.
Beberapa
hal inilah yang menjadi pemikiran penulis tentang pentingnya upaya-upaya
pemberdayaan masyarakat sebelum mengimplementasikan reforma agraria sebagai
sebuah agenda aksi untuk mengatasi persoalan ketimpangan struktur penguasaan
dan pemilikan tanah dan sumberdaya agraria di negeri ini. Dengan kata lain
pemberdayaan masyarakat adalah sebuah keharusan, agar reforma agraria nasional
dapat berjalan secara berkelanjutan. Semoga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar