MENEGUHKAN TANAH KEISTIMEWAAN UNTUK
RAKYAT[1]
Oleh:
Dr. Sutaryono[2]
Akhir
bulan lalu, untuk kali kedua draf Perdais Pengelolaan dan Pemanfaatan Tanah
Kasultanan dan Tanah Kadipaten direlease di harian ini (KR, 30-06-2014). Perdais
ini adalah perdais yang paling ditunggu-tunggu oleh masyarakat luas pasca
terbitnya Perdais Nomor 1
Tahun 2013 Tentang Kewenangan Dalam Urusan
Keistimewaan DIY. Ditunggu-tunggu karena berhubungan dengan hajat
hidup banyak orang yang berkepentingan terhadap penguasaan, penggunaan dan
pemanfaatan tanah keistimewaan, khususnya tanah bukan keprabon.
Apapun bentuknya draf perdais ini
patut diapresiasi sebagai hasil kerja produktif yang mengedepankan spirit
keistimewaan untuk kesejahteraan rakyat. Mengapa? Karena realitas menunjukkan
bahwa berdasarkan subjek pengelolanya, tanah
keistimewaan (bukan keprabon) saat ini dimanfaatkan oleh pemerintah, desa,
badan hukum dan masyarakat untuk berbagai keperluan. Bentuk pemanfaatannya
bervariasi dengan
pemanfaatan paling tinggi terdapat pada institusi pemerintah, baik untuk
perkantoran, fasilitas umum, usaha komersial, gedung sekolah, balai desa,
kantor polisi dan kantor TNI (koramil). Hal ini menunjukkan bahwa
tanah keistimewaan sejatinya telah memberikan kontribusi dalam peningkatan
kesejahteraan masyarakat, termasuk dalam pelayanan institusi pemerintah kepada
masyarakat.
Spirit untuk kesejahteraan rakyat
tercermin pada asas kearifan lokal, kesejahteraan masyarakat dan diskriminasi
positif yang ditempatkan sebagai asas dalam pengelolaan dan pemanfaatan Tanah
Kasultanan dan Tanah Kadipaten. Pengaturan penatausahaan terhadap tanah
keistimewaan sebagai satu bab tersendiri menunjukkan kehati-hatian sekaligus
sebagai upaya penertiban dalam pengelolaan dan pemanfaatan tanah SG/PAG. Dalam
hal ini penatausahaan yang meliputi inventarisasi, identifikasi, verifikasi,
pemetaan dan pendaftaran tanah adalah titik krusial dalam pengelolaan dan
pemanfaatan SG/PAG. Menjadi titik
krusial karena saat ini beragam permasalahan berkenaan dengan tanah
keistimewaan, baik permasalahan fisik, sosial, budaya dan permasalahan yuridis
masih menggelayuti eksistensi tanah SG/PAG.
Secara
fisik permasalahan yang ada antara lain: batas fisik tanah keistimewaan belum sepenuhnya
dapat diidentifikasi secara jelas; belum adanya peta objek dan subjek serta
pihak-pihak yang berkepentingan terhadap pemanfaatan tanah keistimewaan; dan
sebagian tanah keistimewaan adalah tanah-tanah marjinal. Permasalahan sosial
yang dihadapi meliputi sebagian besar SG/PAG sudah dimanfaatkan oleh subjek
hak, baik pemerintah, TNI, POLRI, badan hukum, desa dan masyarakat; belum
adanya persepsi yang sama terhadap keberadaan tanah keistimewaan oleh stake
holder yang berkepentingan; serta upaya inventarisasi dan identifikasi tanah
keistimewaan, diinterpretasikan sebagai upaya menarik kembali tanah-tanah SG/PAG
ke Kasultanan dan Kadipaten.
Permasalahan
budaya berkenaan dengan nilai-nilai dasar keistimewaan tampaknya belum
terinternalisasi secara baik, ketika masih beragamnya persepsi masyarakat
terhadap tanah
keistimewaan, bahkan
hal ini terjadi pula pada aparat birokrasi. Pengakuan eksistensi
budaya kraton dan kadipaten berproses secara dinamis,
sehingga pemaknaannya menjadi berkembang dan memungkinkan munculnya berbagai
perbedaan persepsional antar pemangku kepentingan. Perbedaan persepsi
ini perlu mendapatkan perhatian agar tetap berkontribusi dalam meneguhkan
keistimewaan DIY.
Permasalahan
yuridis
yang perlu segera ditangani adalah: belum adanya definisi
yang jelas dan operasional tentang tanah keistimewaan, terutama tanah bukan
keprabon; terdapatnya tanah keistimewaan yang sudah diberikan hak kepada subjek hak berdasarkan UUPA, yang
secara legal formal terpenuhi segala persyaratannya; dan terbitnya perdais ini tidak serta merta membatalkan perbuatan hukum yang dilakukan terhadap SG/PAG yang pada saat perbuatan hukum itu dilakukan
dianggap sebagai tanah negara.
Beberapa permasalahan di atas menunjukkan bahwa betapa
strategisnya pengaturan pertanahan dalam raperda istimewa ini, yang
berimplikasi pada terakomodasinya seluruh elemen masyarakat, baik perorangan,
kelompok masyarakat, pemerintah, pemerintah desa maupun badan hukum yang selama
ini telah menguasai dan memanfaatkan tanah-tanah kasultanan dan kadipaten.
Mengingat secara
substansial, raperdais ini diorientasikan untuk pengembangan kebudayaan,
kepentingan sosial, dan kesejahteraan masyarakat, maka ruh ‘Tahta untuk Rakyat’
betul-betul menjiwai raperdais. Hal ini untuk memastikan bahwa
pengaturan tanah keistimewaan tetap memperhatikan kepentingan dan kesejahteraan
rakyat, sebagaimana telah ditunjukkan selama ini bahwa
sejatinya tanah-tanah kraton dan kadipaten telah memberikan manfaat bagi pemerintah dan masyarakat luas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar