PENGARUSUTAMAAN TATA RUANG[1]
Oleh:
Sutaryono[2]
Salah
satu persoalan yang dapat ‘menjerumuskan’ kepala daerah ke bui adalah kebijakan
yang berhubungan dengan tata ruang, sebagaimana telah terjadi di beberapa
daerah. Hal ini menunjukkan bahwa ancaman pidana sebagaimana tertuang dalam UU
26/2007 tentang Penataan Ruang belum dipahami sepenuhnya, atau bahkan sama
sekali tidak diketahui. Kondisi ini diperparah dengan adanya kenyataan bahwa
tata ruang belum menjadi mainstream
(arus utama) dalam pengambilan kebijakan pembangunan oleh pihak-pihak terkait.
Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) belum menjadi guidence dalam pembangunan. Lebih memprihatinkan lagi ketika dokumen tata ruang
sudah ada,
tetapi belum menjadi acuan dalam perencanaan pembangunan.
Kondisi demikian, tidak boleh terjadi di DIY sebagai daerah
dengan predikat istimewa. Namun demikian isu ‘Yogya Berhenti Nyaman’ (KR, 6-1-2014) dan
munculnya statemen pelaku usaha yang
menyatakan bahwa pengaturan tata ruang melalui zoning hanya menyulitkan upaya-upaya investasi, adanya beragam
produk rencana tata ruang belum ditetapkan dengan perda/pergub- sehingga
memunculkan disparitas
kebutuhan pengaturan penataan ruang dengan ketersediaan regulasi semakin tinggi- serta
belum diterapkannya prinsip-prinsip one
area, one plan, one management dan one
regulation dalam pengembangan wilayah DIY, menunjukkan bahwa tata
ruang belum menjadi mainstream dalam
kebijakan pembangunan. Apabila hal ini tidak mendapatkan perhatian, maka
kekhawatiran ‘Yogya Berhenti Nyaman’ akan terwujud dan upaya meneguhkan
keistimewaan tata ruang menjadi terhambat.
Mengapa?
Salah satu kewenangan istimewa DIY berdasarkan UU 13/2012 adalah
urusan tata ruang. Artinya, keistimewaan urusan tata ruang ini harus
bisa dimanifestasikan ke dalam kebijakan penataan ruang yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Momentum revisi Perda DIY 2/2010 tentang RTRW DIY
yang sedang berproses merupakan saat yang tepat untuk melakukan sinkronisasi
RTRW berdasarkan UU 26/2007 tentang Penataan Ruang dan UU 13/2013 tentang
Keistimewaan DIY. Sinkronisasi untuk mewujudkan Penataan Ruang Istimewa di DIY
membutuhkan beberapa prasyarat penting yang perlu diinisiasi, didiskusikan, dan
disepakati dalam kerangka kebijakan pembangunan di DIY.
Pertama, pengarusutamaan (mainstreaming) tata ruang dalam
implementasi kebijakan pembangunan di DIY. Mainstreaming
tata ruang dalam
pembangunan ini diorientasikan agar setiap proses pengambilan kebijakan dan
implementasi kebijakan pembangunan yang mengalokasikan
dan memanfaatkan ruang harus menempatkan aspek tata ruang sebagai pertimbangan
utama. Ketaatan terhadap rencana tata ruang adalah mutlak diperlukan agar upaya
mewujudkan visi pembangunan DIY dapat dilakukan secara berkelanjutan. Mainstreaming tata ruang ini perlu dilakukan
terhadap seluruh stake holder yang
berkepentingan terhadap pembangunan wilayah di DIY, baik pada jajaran
pemerintahan (ekskutif dan legislatif), pelaku usaha maupun masyarakat luas.
Kedua, Pembangunan
Sistem Penataan Ruang Istimewa. Sistem Penataan Ruang Istimewa dimaknai sebagai
sistem proses perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang yang
taat azas, terintegrasi dan dapat terimplementasi secara berkelanjutan pada
seluruh wilayah Provinsi DIY, termasuk seluruh wilayah kabupaten/kota. Taat
azas dimaksudkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dalam
hal ini mengacu pada UU 26/2007 tentang Penataan Ruang dan UU 13/2012 tentang
Keistimewaan DIY. Terintegrasi diorientasikan mencakup seluruh sektor
pembangunan, baik yang dilakukan oleh pemerintah, swasta maupun masyarakat umum
yang terkontrol melalui sistem informasi yang terintegrasi langsung dengan
Sistem Aplikasi Jogja Plan. Dalam hal ini, setiap bentuk alokasi dan
pemanfaatan ruang untuk pembangunan akan terkontrol oleh sistem ini dan
terpantau langsung kelayakannya pada domain Sistem Aplikasi Jogja Plan. Dengan
demikian, maka ketaatan terhadap RTRW baik dalam proses perijinan pemanfaatan
ruang maupun dalam alokasi ruang untuk pembangunan dapat dikendalikan secara
tersistem, tidak tergantung pada orang per orang atau pada pejabat tertentu.
Ketiga, penguatan seluruh
pengaturan penataan ruang melalui kerangka kebijakan (perda/pergub) yang
mengikat seluruh stake holder yang
berkepentingan terhadap pemanfaatan ruang, termasuk seluruh pemerintah
kabupaten/kota di DIY.
Apabila ketiga hal
tersebut dapat diwujudkan, maka agenda keistimewaan-khususnya keistimewaan tata
ruang- dapat berproses secara produktif, konstruktif & semakin mengukuhkan
Keistimewaan Ngayogyakarta Hadiningrat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar