PENATAAN RUANG ISTIMEWA[1]
Oleh:
Sutaryono[2]
Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta adalah sebuah keniscayaan historis,
politis dan yuridis yang diaktualisasikan melalui UU 13/2012 tentang Keistimewaan DIY. Namun demikian, tujuan pengaturan Keistimewaan DIY yang meliputi: (a) terwujudnya
pemerintahan yang demokratis; (b) terwujudnya
kesejahteraan dan ketenteraman masyarakat;
(c) terwujudnya
tata pemerintahan dan tatanan sosial yang menjamin ke-bhinneka-tunggal-ika-an
dalam kerangka NKRI;
(d) terciptanya pemerintahan yang
baik; dan (e) terlembaganya peran dan tanggung
jawab Kasultanan dan Kadipaten dalam menjaga dan mengembangkan budaya
Yogyakarta yang merupakan warisan budaya bangsa; tidak begitu saja tercapai
tanpa inisiatif, kerja keras dan kerja kolaboratif antar segenap pemangku
kepentingan di DIY.
Salah satu kewenangan urusan
keistimewaan yang berkaitan erat dengan pembangunan DIY adalah urusan tata
ruang. Dalam konteks ini persoalan yang mengemuka adalah apakah tujuan keistimewaan
dapat dapat direalisasikan melalui pengaturan penataan ruang istimewa?
Bagaimana penataan ruang istimewa itu, apakah sesuai dengan UU 26/2007 tentang
Penataan Ruang atau mengikuti UU 13/2012, atau mendasarkan pada keduanya?
Pertanyaan di atas harus mendapatkan jawaban dan
alternatif solusi yang tepat agar kewenangan urusan tata ruang keistimewaan
dapat berkontribusi positif dalam pencapaian tujuan keistimewaan. Jawaban dan
alternatif solusi dapat diupayakan melalui pemahaman terhadap permasalahan
penataan ruang di DIY. Secara umum permasalahan dalam penataan ruang di DIY
dapat dibedakan menjadi permasalahan pada aras kebijakan dan implementasi
kebijakan. Permasalahan dalam aras kebijakan tata ruang di DIY
meliputi: (a) disparitas
kebutuhan pengaturan penataan ruang dengan ketersediaan regulasi; (b) tata ruang belum menjadi mainstream pengambil
kebijakan; (c) terbatasnya
ketersediaan data yang menjadi dasar dalam pengambilan kebijakan; (d) kelembagaan tata ruang belum efektif; (e) belum tersedianya instrumen pengendalian pemanfaatan ruang;
dan (f) terbatasnya ketersediaan
ruang terbuka hijau.
Permasalahan tata
ruang berkenaan dengan implementasi kebijakan meliputi: (a) Rencana
Tata Ruang Wilayah DIY belum dapat berfungsi sepenuhnya sebagai dasar
penyusunan program-program pembangunan dan panduan bagi masyarakat dalam pemanfaatan ruang; (b) belum optimalnya ketaatan
masyarakat terhadap rencana tata ruang; (c) masih adanya disparitas pembangunan antar wilayah; dan (d) belum
terpantaunya pelanggaran terhadap RTRW secara sistemik dan berkelanjutan.
Berbagai permasalahan
di atas dapat dijadikan pintu masuk untuk menginisiasi dan mewujudkan tata
ruang istimewa di DIY pada saat ini, mengingat: (a) saat ini sedang disusun
Kajian Lingkungan Hidup Srategis (KLHS) dalam rangka revisi perda RTRW DIY; (b)
raperdais penataan ruang tengah berproses; (c) road map pengendalian pemanfaatan ruang serta grand design pengelolaan dan pemanfaatan tanah kasultanan dan
kadipaten sebagai hal yang terkait dengan penataan ruang tengah dalam kajian;
serta (d) rancangan kelembagaan penataan ruang dan pertanahan tengah berproses.
Fakta di atas menunjukkan bahwa saat ini merupakan momentum yang tepat untuk
mewujudkan tata ruang istimewa. Hal ini didukung pula oleh adanya pergantian
pimpinan dan anggota legislatif baru dimana dinamika dan kontestasi politik
yang tinggi antara KMP dan KIH diharapkan mampu menjadi trigger dalam memperjuangkan kepentingan masyarakat dalam kerangka
keistimewaan.
Beberapa hal yang
perlu didiskusikan lebih dalam dan melibatkan khalayak luas dalam upaya
mewujudkan keistimewaan penataan ruang adalah: (a) perlunya mainstreaming tata ruang bagi segenap
pemangku kepentingan dalam pembangunan wilayah; (b) memadukan RTRW DIY dan
rencana tata ruang tanah kasultanan dan kadipaten menjadi RTRW Istimewa DIY
yang diatur dalam satu regulasi (perdais) berdasarkan UU 26/2007 dan UU 13/2012;
(c) perlunya Sistem Penataan Ruang Istimewa yang taat azas,
terintegrasi dengan jaringan Jogja Plan
dan dapat terimplementasi secara berkelanjutan pada seluruh wilayah DIY,
termasuk seluruh wilayah kabupaten/kota; (d) terbentuknya kelembagaan penataan
ruang yang full power, dan mampu
mengkoordinasikan penyelenggaraan penataan ruang istimewa DIY; (e) serta
menjadikan semangat hamemayu hayuning bawana,
sangkan paraning dumadi, manunggaling kawula gusti, serta tahta untuk rakyat dan harmonisasi lingkungan
sebagai dasar dalam pengambilan kebijakan dan implementasi
Penataan Ruang Istimewa DIY. Semoga.
[2] Dr. Sutaryono, Dosen pada
Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional (STPN) dan Pembangunan Wilayah Fakultas
Geografi UGM
Tidak ada komentar:
Posting Komentar