Tegakkan Aturan Pembangunan
Hotel[1]
Oleh:
Sutaryono[2]
“Tak Ada Regulasi, Perang Tarif Hotel Kian
Memprihatinkan’ (KR, 27-6-2015), menunjukkan bukti nyata bahwa maraknya
pembangunan hotel di Yogyakarta perlu dicermati secara seksama dan hati-hati.
Meskipun sudah ada moratorium pembangunan hotel, tetapi fakta di lapangan
menunjukkan bahwa kegiatan pembangunan hotel masih nampak di sana-sini. Pembangunan
hotel seyogyanya tidak hanya untuk kepentingan investasi dan pendapatan daerah
semata, tetapi juga harus mempertimbangkan kondisi ekologis (ketersediaan ruang
& air), kenyamanan warga masyarakat, keberadaan bangunan cagar budaya serta
keberlanjutan Yogyakarta sebagai kota pendidikan dan daerah tujuan wisata.
Secara ekologis, ketersediaan ruang di Kota
Yogyakarta sudah semakin terbatas. Meskipun ketersediaan
Ruang Terbuka Hijau (RTH) Kota Yogyakarta sudah memenuhi persyaratan peraturan
perundang-undangan, yakni 31,65% yang terdiri dari RTH Publik sebesar 17,17%
dan RTH Privat sebesar 14,49%, tetapi ada kecenderungan mengalami penurunan
apabila tidak ada perlindungan secara kuat terhadap keberadaan RTH. Demikian
pula yang terjadi terhadap lahan pertanian yang semakin menyusut.
Berkenaan dengan sumberdaya air, kondisinya
semakin mengkhawatirkan. Berdasarkan penelitian Dinas PUP-ESDM DIY, penurunan
muka air tanah di Kawasan Perkotaan Yogyakarta terjadi secara permanen, dengan
rata-rata 20 – 30 cm per tahun. Salah satu penyebabnya adalah gencarnya
pembangunan fisik yang menggusur daerah resapan air serta eksploitasi air tanah oleh sejumlah hotel dalam
jumlah yang besar.
Munculnya isu ‘Jogja Asat’, ‘Jogja Ora Didol’
dan ‘Jogja Berhenti Nyaman’ menunjukkan gerahnya sebagian warga Yogya yang
kenyamanannya sudah mulai terganggu. Padahal kenyamanan sebuah wilayah adalah
harapan semua warga, yang sekaligus prasyarat teruwujudnya sustainable city. Chapin & Kaiser, (1979) menyebutkan bahwa
ruang kota/wilayah harus memiliki 4 (empat) fungsi, yakni: (1) works areas, lokasi yang berfungsi
sebagai tempat bekerja; (2) living areas,
lokasi yang berfungsi sebagai tempat tinggal; (3) shopping and leisure-time/entertainment center areas, lokasi yang
berfungsi untuk sarana prasarana dan fasilitas umum; dan (4) open space system and environmental
protection, lokasi yang berfungsi untuk ruang terbuka hijau dan pelestarian
lingkungan.
Keprihatinan
yang lain adalah diberitakannya pada berbagai media mengenai ‘musnah’-nya
bangunan cagar budaya akibat pembangunan sebuah hotel di tengah kota. Realitas
ini menunjukkan bahwa pembangunan hotel semakin mengkhawatirkan.
Semangat membangun hotel tidak diikuti
dengan peningkatan jumlah wisatawan, sehingga terjadi over supply kamar yang berujung pada perang tarif antara hotel (KR,
27-06-2015). Pertanyaan yang menggelitik adalah, mengapa sudah terjadi over supply kamar tetapi pembangunan
hotel masih terus berlangsung?
Berdasarkan data Perhimpunan Hotel dan
Restoran Indonesia (PHRI) DIY, saat ini terdapat 80 hotel berbintang (80 ribu
kamar) dan 1.100 hotel non bintang dengan sekitar 12 ribu kamar. Jumlah hotel
yang terus meningkat ternyata belum berkontribusi positif dalam peningkatan
pendapatan daerah, justru pendapatan pajak daerah dari hotel di Dinas Pajak dan
Pengelolaan Keuangan Kota Yogyakarta tidak mencapai target (KR, 27-06-2015).
Berkenaan dengan hal di atas, beberapa
hal yang perlu dilakukan oleh seluruh stake
holder yang berkepentingan terhadap keberadaan hotel adalah: (a) melakukan
kajian secara cermat kebutuhan dan ketersediaan kamar hotel (berbintang dan non
bintang), termasuk home stay, wisma,
losmen dan penginapan milik warga masyarakat, agar diketahui secara pasti masih
diperlukan pembangunan hotel baru atau tidak; (b) mengoptimalkan pemanfaatan home stay, wisma, losmen dan penginapan
milik warga masyarakat untuk menampung wisatawan, sebagai bagian keistimewaan
Yogyakarta sebagai destinasi wisata; (c) melindungi wilayah Yogyakarta dari
kerusakan ekologis yang semakin parah, utamanya ketersediaan RTH dan sumberdaya
air; (d) menjaga bangunan cagar budaya yang dilindungi dari berbagai ancaman
tumbuhnya bangunan modern, seperti hotel, apartemen dan mal; (e) memastikan
Yogya sebagai wilayah yang nyaman, baik bagi warga masyarakatnya maupun bagi
para pendatang dan wisatawan.
Kiranya filosofi hamemayu hayuning bawana masih mampu menjaga kelestarian dan
keberlanjutan Yogyakarta sebagai daerah istimewa, apabila betul-betul dijadikan
dasar dalam pembangunan, termasuk pembangunan hotel.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar