TRANSMIGRASI
DALAM POLITIK MERANTAU[1]
Oleh:
Sutaryono
Pengajar
Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional
Telaah kritis dan multiperspektif
yang dilakukan Riwanto Tirtosudarmo dalam buku ini, telah melampaui bingkai demografi sosial
dan politik yang menjadi bidang keahlian utamanya. Tidak hanya dalam buku ini, trajectory monumental berkenaan dengan
kebijakan dan dinamika kependudukan di Indonesia, telah Tirtosudarmo torehkan
dalam terbitan terdahulu. ‘Mencari Indonesia: Demografi-Politik Pasca Soeharto’
dan ‘Mencari Indonesia 2: Batas-Batas Rekayasa Sosial’ (LIPI, 2007&2010)’
merupakan dua buku utama yang secara substansial menjadi bagian utama dari buku
‘On the Politics of Migration: Indonesia and Beyond’ (LIPI, 2015).
Tirtosudarmo membagi buku ini
menjadi dua bagian, masing-masing terdiri dari enam chapter. Bagian pertama dikhususkan pada konteks ke-Indonesia-an.
Pada bagian ini, Tirtosudarmo memaknai transmigrasi sebagai sebuah kebijakan
ideologis yang mengalami kegagalan, yang ditunjukkan dengan berbagai konflik,
rekayasa demografi dan kebijakan desentralisasi yang dianggap tidak ada
kesetaraan antar daerah. Bagian kedua, dipaparkan mengenai people movement antar negara, yang
secara khusus membahas migran Indonesia ke Malaysia dan Jepang, serta diakhiri
dengan overview hubungan antara
migrasi, pembangunan dan security.
Kegagalan Agenda Transmigrasi
Kiprahnya yang panjang pada Pusat
Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan, (PMB-LIPI) menjadikan Tirtosudarmo
mempunyai perspektif yang lengkap dalam mengartikulasikan berbagai gagasannya. Dalam
perspektif politik, transmigrasi -salah satu bentuk migrasi di Indonesia-
dimaknai sebagai ideological policy. Pemerintah,
melalui elit birokrasi dan militer mempersepsikan transmigrasi tidak sekedar
program demografi dan ekonomi, tetapi sebuah program untuk membangun bangsa
yang merupakan bagian dari nation state building.
Bahkan untuk mensukseskannya pemerintah telah menekan
isu-isu kelas sosial, perbedaan ideologi,
suku, ras dan agama, agar tidak berkembang dan mengganggu pelaksanakan program
transmigrasi.
Dalam perspektif ekonomi, program
pemerataan penduduk dan pembangunan melalui transmigrasi belum secara siginificant memberikan peningkatan
kesejahteraan. Dalam hal ini, Tirtosudarmo berhasil menunjukkan bahwa kebijakan
resettlement penduduk melalui
transmigrasi telah mengalami kegagalan. Di tengah kebijakan percepatan
pembangunan ekonomi melalui industrialisasi di Jawa, kebijakan transmigrasi
dianggap sebagai kebijakan yang kontraproduktif, mengingat peningkatan peluang
penciptaan lapangan kerja di Jawa, tetapi mengirimkan tenaga kerja ke luar Jawa
yang peluang ekonominya ‘terbatas’.
Dalam perspektif sosial, program
transmigrasi pada akhirnya juga memunculkan konflik etnis di daerah tujuan. ‘Jawanisasi,
kolonisasi dan islamisasi’ yang direaliasikan melalui penempatan orang Jawa
pada berbagai jabatan sipil dan militer menjadi isu yang kontraproduktif dengan
tujuan transmigrasi. Isu itu pada
akhirnya termanifest dalam bentuk konflik di berbagai tujuan transmigrasi.
Merantau: Politik Demografi Yang Menjanjikan
‘Merantau’ –dalam resensi ini-
yang diartikan pergi ke negeri lain (untuk mencari penghidupan, ilmu, dan
sebagainya) atau pergi mencari penghidupan ke tempat yang tidak berapa jauh
(KBBI on line), sengaja dipilih untuk
memaknai ‘migration’, meskipun Tirtosudarmo (2010) mengkategorikan ‘merantau’
sebagai bentuk perpindahan penduduk yang bersifat tradisional. Apabila ditilik
dengan perspektif keruangan, lokusnya dapat dibaca sebagai ‘perantauan’
yakni negeri lain tempat mencari penghidupan.
Dalam
konteks ini, Tirtosudarmo secara jeli menemukan sebuah ironi di Nunukan
-wilayah perbatasan Indonesia-Malaysia di Kalimantan-. Merantau di negeri orang
yang dicita-citakan untuk merubah nasib ternyata justru menjadi petaka, pada
saat Pemerintah Malaysia menangkap dan mengenakan
denda bagi ribuan buruh migran Indonesia
yang tidak memiliki dokumen. Bahkan ribuan lainnya
memutuskan untuk melarikan diri melalui
berbagai jalur. Namun demikian gelombang pekerja
migran ke Malaysia dan negara-negara lain hingga saat ini masih terus
berlangsung.
Hal berbeda
justru terjadi di negeri Sakura. Pada saat industri otomotif berkembang pesat,
Jepang membutuhkan banyak tenaga kerja. Untuk memenuhinya, Jepang menerapkan
dua kebijakan sekaligus, yakni menetapkan visa khusus bagi tenaga kerja yang
memiliki darah Jepang dan mengeluarkan kebijakan program magang (Technical Internship Training Program)
bagi tenaga kerja muda dari negara lain, termasuk Indonesia. Politik migrasi
yang membatasi masuknya etnis di luar Jepang, justru dimanfaatkan oleh
‘perantau’ asal Minahasa yang merupakan keturunan Jepang untuk membentuk
komunitas baru yang didasarkan pada ikatan kekerabatan (kinship network) dan kesamaan dalam beragama.
Transmigrasi di Simpang Jalan
Dalam konteks ke-Indonesia-an,
naskah ini bukanlah naskah yang baru, tetapi masih sangat relevan, kontekstual dan
sangat bermanfaat untuk pengambilan kebijakan migrasi. Namun sayang sekali,
buku yang sangat kritis, reflektif dan bernuansa korektif ini belum secara
lugas diakhiri dengan alternatif penyelesaian masalah. Upaya pemerataan
pembangunan melalui pemerataan penduduk dengan skema transmigrasi yang dianggap
gagal belum mendapatkan alternatif ‘penggantinya’.
Padahal saat ini, pemerintah
melalui RPJMN-nya masih menempatkan pengembangan
kawasan perdesaan dan transmigrasi sebagai upaya pengurangan kesenjangan antarwilayah,
mengorientasikan kawasan transmigrasi sebagai pusat pertumbuhan baru yang dapat
mendukung upaya percepatan pembangunan daerah tertinggal dan pengembangan
kawasan perdesaan. Bahkan persoalan dari program transmigrasi yang belum
terselesaikan, utamanya adalah pensertifikatan tanah yang diperkirakan mencapai
4,5 juta ha, pada saat ini menjadi prioritas untuk diselesaikan. Meskipun
dibaca sebagai proyek yang gagal, ternyata program transmigrasi masih
diandalkan.
Pada akhir tulisan Tirtosudarmo
menawarkan konsep ‘Migration-Development-Security Nexus’, yang dimaknai bahwa jaminan
keamanan atas jaringan entitas aktual (nexus)
menjadi prioritas dan fondasi bagi proses pembangunan dan migrasi. Dalam hal
ini para scholars yang konsen dengan
persoalan migrasi ditantang untuk keluar dari teori-teori, paradigma dan
perspektif tradisional dan konvensional
yang dianggap bias pada kepentingan negara dan penguasa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar