Hak (Air) Atas Tanah[1]
Oleh:
Sutaryono[2]
Hingga
Medio April ini, kita semua harus tetap waspada menghadapi berbagai ancaman
bencana, utamanya bencana banjir dan tanah longsor. Bencana banjir dan tanah
longsor sejatinya adalah bencana yang terstruktur, dimana penyebab dan cara
penanganannya secara umum sudah diketahui khalayak luas. Hutan dieksploitasi,
kawasan yang sejuk di daerah atas dibangun, semakin berkurangnya luasan recharge area, alih fungsi lahan
pertanian ke non pertanian marak, menyempitnya ruang terbuka hijau, bantaran
sungai yang penuh dengan hunian, menumpuknya sampah di sepanjang sungai,
merupakan penyebab utama banjir dan tanah longsor.
Lantas,
bagaimana mengatasi ini semua agar intensitas banjir dan ancaman longsor dapat
dikurangi atau bahkan ditiadakan? Persoalan bencana adalah urusan Tuhan YME,
tetapi upaya antisipasi dan mengatasi bencana wajib dilakukan oleh
manusia.
Moral Alam
Keseimbangan
alam telah tertata sedemikian rupa mengikuti Moral Alam, yang bahasa keren-nya
disebut sebagai ekosentrisme, yakni pandangan yang mengutamakan kelestarian
alam dan lingkungan. Pandangan ini sering dihadapkan dengan antroposentrisme
yang mengagungkan
pemenuhan kebutuhan manusia dengan mengeksploitasi alam dan lingkungan. Pergeseran
pandangan ekosentrisme ke antroposetrisme inilah menjadikan lingkungan hidup
sebagai sebuah sistem equal menjadi ternafikan. Akibat berkurangnya atau
bahkan hilangnya keseimbangan lingkungan alam, maka kualitas lingkungan berkurang
dan berujung pada terjadinya berbagai bencana.
Berkenaan dengan hal di atas,
saatnya kita menengok kembali dan menempatkan moral alam sebagai pertimbangan
utama dalam proses-proses pembangunan. Satu hal yang penting adalah berkenaan
dengan hak atas tanah. Hak atas tanah sering hanya dimaknai sebagai hak
penguasaan dan pemilikan atas tanah, tanpa mempertimbangkan aspek yang lain.
Misalnya, hak milik dimaknai sebagai hak yang mutlak, padahal dalam perspektif land administration, hak tersebut
mengandung berbagai pembatasan. Sebagai contoh, tanah juga
mempunyai fungsi sosial dan harus dilepaskan manakala akan digunakan untuk
kepentingan umum.
Mengembalikan Hak Air
Dalam konteks bencana banjir
dan tanah longsor, hak atas tanah tidak hanya dimaknai sebagai hak penguasaan
dan pemilikan saja, mengingat dalam moral alam, air ditempatkan sebagai entitas
yang juga mempunyai hak. Air mempunyai hak untuk menguap, mengalir ke tempat
yang lebih rendah dan meresap ke dalam tanah. Persoalannya hak air atas tanah
agar bisa mengalir secara wajar telah diambil oleh masyarakat untuk rumah
tinggal dan tempat pembuangan sampah. Dalam hal ini adalah hak atas tanah pada
sempadan sungai. Tanah pada sempadan sungai, bukanlah hak negara atau bahkan
masyarakat, tetapi adalah hak air. Apabila hak air atas tanah (sempadan sungai)
diambil dan dihaki oleh pihak lain, maka air akan mengambil haknya melalui
banjir.
Demikian pula, hak air atas
ruang-ruang terbuka hijau dan zona resapan di daerah atas diambil untuk
berbagai macam bangunan, maka air akan mengambil haknya melalui rekahan-rekahan
yang masih ada, yang berujung pada tanah longsor.
Dalam konteks DIY, penataan
kawasan sempadan Sungai Code, Winongo dan Gajahwong melalui Konsep Mundur,
Munggah, Madhep Kali (M3K) (KR, 16-03-2016) merupakan langkah cerdas untuk
mengembalikan hak air sungai atas tanah. Tidak sekedar menata kawasan
permukiman pinggir kali pada ketiga
sungai yang menjadi langganan banjir dan lonsor, tetapi juga melindungi segenap
warga yang tinggal di sempadan sungai sekaligus memberikan sempadan sungai pada
yang berhak.
Untuk mengembalikan sempadan
sungai pada yang berhak, maka penataan hunian harus ‘mundur’ 10 – 15 m dari
sungai. Mengingat keterbatasan tanah, maka hunian dibuat ‘munggah’ dalam bentuk
rumah susun, dan menjadikan sungai sebagai ‘teras depan’ rumah atau ‘madhep
kali’ (KR, 16-03-2014). Penataan kawasan hunian pinggir kali ini, apabila dapat diwujudkan secara bersama-sama,
maka beberapa hal dapat dicapai seperti: (a) mengembalikan hak atas tanah
sempadan sungai pada air; (b) melindungi warga masyarakat dari ancaman banjir
dan longsor; (c) menciptakan lingkungan hunian yang bersih dan sehat.
Perwujudan ketiga hal ini, akan semakin mengukuhkan Keistimewaan Ngayogyakarta
Hadiningrat. Semoga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar