Reklamasi[1]
Oleh:
Sutaryono[2]
Persoalan
reklamasi di Teluk Jakarta masih terus diperbincangkan. Berbagai pro-kontra
reklamasi menyeruak menyusul tertangkap tangannya anggota legislatif yang
diduga terkait dengan upaya mempengaruhi kebijakan proyek pembuatan 17 pulau di
Teluk Jakarta. Proyek reklamasi, tanpa adanya praktik-praktik suap menyuap dan
korupsi-pun sudah pasti menimbulkan pro-kontra. Pengalaman reklamasi, sebagaimana
pernah dilakukan di Semarang,
Fak-Fak, Makasar, Manado maupun rencana reklamasi di Teluk Benoa selalu riuh dengan
pro-kontra. Isu utama munculnya pro-kontra adalah terkait kelestarian
lingkungan versus pertumbuhan ekonomi
dan pembangunan pro poor versus pro pemodal.
Urgensi Reklamasi
Keterbatasan tanah dan ruang serta beban kota yang semakin berat untuk menopang berbagai proyek pembangunan dijadikan argumen utama untuk pengembangan wilayah daratan
melalui reklamasi. Argumen ini dapat dimengerti mengingat kebutuhan lahan yang
semakin tinggi serta adanya kewajiban untuk mengendalikan alih fungsi lahan
pertanian ke non pertanian, menjadikan reklamasi sebagai pilihannya.
Dengan
argumen di atas, Pemda DKI Jakarta berkehendak untuk merealisasikan reklamasi dengan
metode terpisah, yakni membuat kawasan reklamasi seperti pulau baru dimana antara kawasan lama dengan kawasan baru masih dipisahkan
oleh laut. Tidak tanggung-tanggung pulau reklamasi yang akan
dibuat sejumlah 17 pulau (Pulau A sampai Pulau Q), dengan luas total 4.742 ha
dengan bekerjasama dengan 8 perusahaan poperty.
Landasan
yang digunakan adalah Keputusan Presiden 52/1995 tentang Reklmasi Pantai Utara
Jakarta, yang diperkuat dengan Peraturan Presiden 54/2008. Kontribusi yang akan
diperoleh Pemda DKI Jakarta dari proyek itu diperkirakan mencapai lebih dari
Rp. 48 trilliun. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah, apakah kontribusi
sebesar itu sepadan dengan kerusakan lingkungan dan kerugian masyarakat yang
terkena dampak? Inilah salah satu penyebab terjadinya pro-kontra terhadap
proyek reklamasi Teluk Jakarta.
Dampak
Reklamasi
Terlepas
dari silang sengketa kewenangan perijinan dan mekanisme amdal yang selama ini
diperdebatkan, proyek reklamasi baik metode menempel maupun terpisah pasti
memberikan dampak yang besar bagi kondisi lingkungan fisik, biotik maupun
lingkungan sosial. Dalam hal ini, menurut PP 16/2004, reklamasi adalah
pengurukan wilayah perairan guna memperluas ruang daratan, penggunaan dan
pemanfaatan tanahnya harus sesuai dengan RTRW. Meskipun area reklamasi telah
sesuai dengan RTRW, tetapi proyek reklamasi tetap memberikan dampak yang besar.
Pertama, kerusakan lingkungan fisik. Yakni
perubahan permukaan laut dari titik Nol menjadi positif, menjadikan limpasan
air permukaan tidak leluasa mengalir ke laut, akibatnya penggenangan di darat
meningkat, bahkan mempertinggi intensitas banjir. Apabila material yang
digunakan untuk urug berasal dari daratan, berakibat pada hilangnya zona resapan
air yang berimplikasi pada semakin
terbatasnya ketersediaan air tanah. Kedua,
kerusakan
lingkungan biotik. Yakni terancamnya kelestarian dan
keberlanjutan ekosistem pesisir dan lautan, pencemaran laut dan
degradasi ekosistem yang berakibat pada semakin langkanya berbagai jenis
biota laut. Ketiga, terganggunya lingkungan sosial.
Dalam konteks ini, wilayah pesisir dan laut yang awalnya merupakan ruang publik
dan masyarakat mudah mengaksesnya, berubah menjadi ruang privat yang eksklusif.
Ruang hidup dan penghidupan nelayan tradisional menjadi terganggu bahkan
terancam hilang akibat masifnya aktifitas yang berkaitan dengan proyek
reklamasi. Permasalahan ini akan terus berlangsung hingga pasca reklamasi. Kontestasi
ruang dan hak atas tanah pada pulau hasil reklamasi beserta kawasan sekitarnya
akan menambah kompleksitas permasalahan reklamasi. Hak atas tanah dan ruang
publik akan berhadap-hadapan dengan hak atas tanah dan ruang privat, yang
potensial berkembang menjadi konflik
Dalam
konteks reklamasi 17 pulau di Teluk Jakarta, penghentian sementara proyek
reklamasi dengan argumen perlunya sinkronisasi berbagai peraturan
perundang-undangan yang bertubrukan patut diapresiasi. Semestinya tidak hanya
sinkronisasi regulasi, tetapi kajian secara lengkap dan komprehensif terkait feasibility pembangunan pulau, analisis
dampak lingkungan, dan nasib masyarakat lokal perlu dilakukan kembali. Berbagai dampak reklamasi yang sudah terpetakan mesti
menjadi pertimbangan utama dalam menentukan keberlanjutan proyek reklamasi 17
pulau tersebut, agar reklamasi benar-benar diorientasikan untuk kepentingan
masyarakat serta keberlanjutan lingkungan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar