Tata
Guna Tanah Yang Diabaikan[1]
Oleh:
Sutaryono[2]
Bencana
banjir dan tanah longsor yang terjadi di berbagai belahan dunia termasuk
Indonesia, sejatinya adalah bencana yang dapat diprediksikan. Pada
dasarnya semua orang dewasa yang waras, sangat memahami faktor-faktor penyebab
banjir dan tanah
longsor berikut cara mengantisipasinya. Meskipun sebagian di antaranya abai demi hasrat diri yang
menafikan kepentingan orang lain dan keberlanjutan lingkungan. Curah hujan yang
tinggi, berkurangnya zona resapan air,
terbangunnya kawasan perbukitan dan tidak
sesuainya potensi fisik wilayah dengan penggunaan dan pemanfaatannya, pasti
berakibat pada banjir dan tanah longsor.
Salah
satu aspek kunci yang dilupakan atau bahkan diabaikan dalam menjaga
keberlanjutan lingkungan adalah aspek tata guna tanah. Tata guna tanah dimaknai
sebagai struktur dan pola pemanfaatan tanah, baik yang direncanakan maupun yang
tidak direncanakan oleh manusia, yang meliputi persediaan tanah, peruntukan
tanah dan penggunaan tanah serta pemeliharaannya. Sangat jelas disini bahwa
struktur dan pola pemanfaatan tanah terdapat unsur pemeliharaan, yakni
mengupayakan keberlanjutan penggunaan dan pemanfaatan. Apabila hal ini
diupayakan dalam setiap aktivitas pemanfaatan tanah, niscaya bencana banjir dan
tanah longsor akan dapat diantisipasi.
Persoalan
utama penyebab
abainya terhadap tata guna tanah adalah semakin meningkatnya jumlah
penduduk yang membutuhkan tanah.
Akibatnya, kawasan sempadan sungai berubah menjadi hunian, lereng perbukitan
berubah menjadi lahan pertanian atau bahkan menjadi vila-vila mewah. Padahal
sesungguhnya setiap kawasan pasti memiliki karakteristik dan kemampuan tanah
yang berbeda-beda Secara teknis, kemampuan tanah dipengaruhi oleh
faktor-faktor: (1) kemiringan lereng; (2) kedalaman efektif tanah; (3) tekstur
tanah; (4) drainase; (5) erosi; dan (6) faktor pembatas. Apabila faktor-faktor kemampuan tanah ini diperhatikan
dalam pemanfaatan tanah niscaya keberlanjutannya akan terjaga.
Berdasarkan
faktor-faktor di atas, pada dasarnya setiap pemanfaatan tanah dapat dievaluasi kesesuaiannya. Pemanfaatan
yang sesuai (suitable) adalah tanah
yang dapat digunakan untuk penggunaan tertentu secara lestari tanpa atau
sedikit resiko kerusakan terhadap sumberdaya tanahnya, sedangkan yang tidak
sesuai (not suitable) adalah tanah yang
mempunyai pembatas sedemikian rupa sehingga mencegah terhadap suatu penggunaan
tertentu secara lestari. Oleh karena itu dapat dipastikan bahwa wilayah yang
mengalami banjir dan tanah longsor sebagian pemanfaatan tanahnya tidak sesuai
dengan kemampuannya. Sebagai contoh wilayah-wilayah yang terkena banjir dan
longsor adalah wilayah-wilayah perbukitan (KR, 29-09-2016) yang secara tata
guna tanah sudah berubah dari kawasan konservasi menjadi kawasan budidaya. Bahkan
di Jawa Tengah, dari 35 kabupaten/kota yang ada, terdapat 32 kabupaten yang
rawan longsor. Hal ini menunjukkan bahwa aspek tata guna tanah perlu dicermati
kembali agar ancaman banjir dan tanah longsor ini dapat diantisipasi.
Pengurangan resiko bencana banjir dan tanah longsor
pada dasarnya dapat diantisipasi melalui berbagai agenda, mengingat agenda pengurangan resiko bencana adalah investasi pembangunan.
Prinsip utama pengurangan resiko bencana banjir dan tanah longsor adalah
menjaga keseimbangan alam. Keseimbangan alam yang tertata sedemikian rupa sebagai sebuah sistem yang equal,
pasti terjaga keberlanjutannya. Tetapi
apabila keseimbangan tersebut terganggu, pasti kualitas lingkungan berkurang
dan berujung pada terjadinya bencana
banjir ataupun tanah longsor.
Secara
operasional berbagai agenda untuk mengantisipasi terjadinya banjir dan longsor
melalui perspektif tata guna tanah adalah: (1) melakukan penyesuaian penguasaan,
penggunaan dan pemanfaatan tanah yang tidak sesuai dengan kemampuan tanahnya,
melalui penataan
kembali, upaya
kemitraan maupun penyerahan dan pelepasan hak atas tanah kepada negara atau
pihak lain dengan penggantian
sesuai peraturan perundang-undangan; (2) menerapkan catur tertib pertanahan
dalam penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan tanah, yakni tertib hukum, tertib
administrasi, tertib penggunaan dan tertib pemeliharaan dan lingkungan hidup;
(3) menggalakkan
kembali reboisasi (penanaman pohon) pada tanah-tanah di kawasan perbukitan; (4)
melarang pemanfaatan tanah di kawasan konservasi dan menindak tegas bagi yang
melakukan pelanggaran; (5) menempatkan aspek tata guna tanah dan faktor-faktor
kemampuan tanah sebagai ‘ruh’ dalam penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan
tanah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar