Lahan Pangan Berkelanjutan[1]
Oleh:
Sutaryono[2]
Optimisme
Pemerintah untuk merealisasikan
swasembada pangan nasional akan dilakukan melalui percepatan penyediaan
infrastruktur pendukung pertanian. Betul, infrastruktur pendukung pertanian
mutlak diperlukan untuk mewujudkan swasembada pangan, tetapi ketersediaan lahan pertanian pangan yang memadai adalah prasyaratnya.
Mengapa? Data BPS menunjukkan bahwa luas lahan
pertanian pangan dari tahun ke tahun mengalami penurunan, rata-rata
pemilikan lahan oleh petani hanya 0,36 hektar, dan
terdapat lebih dari 11 juta rumah tangga petani tidak memiliki tanah. Hal yang merisaukan adalah konversi lahan pertanian ke non pertanian
tidak bisa dielakkan, dan intensitasnya semakin meningkat. Pertanyaannya,
bagaimana mungkin swasembada pangan dapat diwujudkan sementara lahan pertanian
pangan ketersediaannya semakin menurun?
Kebijakan Lahan Pangan Berkelanjutan
Untuk menunjang perwujudan swasembada pangan melalui ketersediaan lahan,
Pemerintah sudah menerbitkan UU 41/2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian
Pangan Berkelanjutan (PLP2B). Regulasi ini terbit dengan pertimbangan bahwa negara
menjamin hak atas pangan sebagai hak asasi setiap warga negara sehingga negara
berkewajiban menjamin kemandirian, ketahanan, dan kedaulatan pangan. Disamping itu disadari betul bahwa pertambahan
penduduk serta perkembangan ekonomi dan industri berdampak
pada
degradasi, alih fungsi, dan fragmentasi lahan pertanian pangan.
Namun demikian, upaya ‘pengamanan’ lahan pertanian pangan berkelanjutan
sesuai amanah UU di atas hingga kini belum menampakkan hasilnya. Konversi lahan
pertanian terus terjadi dan sulit dikendalikan. Konversi lahan pertanian secara nasional diperkirakan
mencapai lebih dari 100 ribu hektar per tahun atau seluas 270 lapangan bola
hilang setiap hari.
Konversi lahan pertanian ini berdampak pada: (a) hilangnya lahan
pertanian produktif, yang kontraproduktif dengan cita-cita swasembada pangan;
(b) ketergantungan impor pangan semakin meningkat; (c) harga pangan semakin
tinggi; (d) berkurangnya lapangan pekerjaan di sektor pertanian; (e) semakin meningkatnya
jumlah buruh tani dan petani tanpa tanah; dan (f) meningkatnya kerentanan sosial
dan pengangguran di perdesaan.
Berbagai dampak tersebut dapat diantisipasi dan dikurangi melalui
kebijakan pemerintah dalam perlindungan lahan pertanian pangan secara
berkelanjutan sesuai amanah UU 41/2009. Komitmen yang kuat sangat dibutuhkan,
utamanya bagi Kepala Daerah dan DPRD untuk menjalankan UU PLP2B melalui
kebijakan Penetapan Rencana Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan.
PLP2B dalam Bingkai Penataan Ruang
Komitmen perlindungan lahan pertanian harus dilakukan secara
terintegrasi dengan kebijakan pembangunan wilayah, utamanya adalah kebijakan
perencanaan pembangunan dan kebijakan penataan ruang.
Penetapan
Kawasan PLP2B harus dituangkan
dalam RPJP, RPJM, dan Rencana Tahunan baik pada level nasional,
provinsi, maupun kabupaten/kota. Penetapan
Kawasan PLP2B ini merupakan bagian dari penetapan RTRW, utamanya dalam bentuk rencana rinci tata ruang wilayah
kabupaten/kota. Dalam hal ini, penetapan lahan pertanian
pangan tersebut
menjadi dasar
dalam penyusunan Peraturan
Zonasi, yang
merupakan salah satu instrumen pengendalian pemanfaatan ruang.
Dalam konteks DIY, langkah progresif sudah dilakukan.
UU 41/2009 tentang PLP2B telah ditindaklanjuti dengan Perda Nomor 10/2011.
Sejumlah lebih dari 35 ribu hektar telah diorientasikan untuk penyediaan lahan
pertanian pangan berkelanjutan. Lahan tersebut berada di Sleman seluas 12.377 ha,
Bantul dengan luas paling kurang 13.000 ha, KulonProgo dengan luas
paling kurang 5.029 ha dan Gunungkidul dengan luas paling kurang 5.505 ha.
Meskipun belum sinkron dan
terakomodasi dalam RTRW Provinsi DIY dan RTRW Kabupaten, paling tidak komitmen
untuk menjalankan UU dan menyelamatkan lahan pertanian pangan sudah diwujudkan
melalui kebijakan. Langkah berikutnya adalah mengimplementasikan kebijakan
tersebut sembari menautkan Perda PLP2B ke dalam RTRW Provinsi DIY yang saat ini
tengah dalam proses revisi. Pada akhir tahun ini pula Dinas Pertanian DIY
tengah menyelesaikan Kajian Evaluasi Implementasi Perda 10/2011 tentang PLP2B.
Harapannya, kajian tersebut dapat mengidentifikasi dan merekomendasikan kawasan
lahan pertanian di wilayah DIY yang secara indikatif dapat ditetapkan sebagai
Kawasan PLP2B yang kemudian diinputkan dalam Revisi RTRW DIY. Dibutuhkan
komitmen yang kuat dari semua pemangku kepentingan untuk menyelamatkan lahan
pertanian pangan di DIY sebagai bagian dari implementasi filosofi hamemayu hayuning bawana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar