Kembalinya Hutan Adat[1]
Oleh: Sutaryono[2]
Di penghujung tahun 2016 ini, kehadiran negara
betul-betul dirasakan oleh sebagain masyarakat hukum adat di Indonesia. Tidak
sekedar pengakuan terhadap eksistensi masyarakat hukum adat, tetapi lebih dari
itu. Negara melalui pemerintah yang berkuasa mengukuhkan dan menyerahkan
pengelolaan seluas 13.122 hektar kawasan hutan adat kepada 9 (Sembilan)
masyarakat hukum adat. Kesembilan wilayah hutan adat yang dikukuhkan tersebut
adalah Hutan Adat: (1) Desa Rantau Kermas Kabupaten Merangin, Jambi: (2)
Ammatoa Kajang Kabupaten Bulukumba, Sulsel; (3) Wana Posangke Kabupaten
Morowali Utara, Sulteng; (4) Kasepuhan Karang Kabupaten Lebak, Banten; (5)
Bukit Sembahyang, Kabupaten Kerinci, Jambi; (6) Bukit Tinggi Kabupaten Kerinci,
Jambi; (7) Tigo Luhah Permenti Yang Berenam Kabupaten Kerinci, Jambi; (8) Tigo
Luhah Kemantan Kabupaten Kerinci, Jambi; dan (9) Hutan Adat Pandumaan
Sipituhuta Kabupaten Humbang Hasundutan, Sumatera Utara.
Bentuk
Komitmen
Agenda pengukuhan dan penyerahan hak pengelolaah
hutan adat kepada masyarakat hukum adat tersebut merupakan bentuk komitmen Pemerintah Jokowi – JK untuk
merealisasikan janji Nawacita-nya. Paling tidak
memuat tiga komitmen di bidang keagrariaan yang hendak dilakukan, yakni: (1)
memberikan jaminan kepastian hukum hak
kepemilikan atas tanah, penyelesaian
sengketa tanah dan menentang
kriminalisasi penuntutan kembali hak tanah masyarakat; (2) peningkatan
kesejahteraan masyarakat dengan mendorong landreform
dan program kepemilikan tanah seluas 9 juta hektar; serta (3) mewujudkan kedaulatan pangan melalui
perbaikan jaringan irigasi dan pembukaan 1 juta hektar sawah baru. Agenda
tersebut secara jelas tertuang dalam RPJM Nasional 2015-2019, yakni
meningkatkan kesejahteraan rakyat melalui penyediaan tanah objek Reforma
Agraria sekurang-kurangnya 9 juta ha yang akan diredistribusikan pada rakyat
dan petani yang tidak memiliki tanah. Sejumlah 4,5 juta ha berasal dari
legalisasi asset dan 4,5 juta ha yang lain merupakan objek redistribusi tanah
(4,1 juta ha berasal dari pelepasan kawasan hutan).
Pengukuhan hutan adat tersebut merupakan langkah
awal pengembalian eksistensi dan pengelolaan hutan adat kepada masyarakat hukum
adat setelah selama ini eksistensi hutan adat tidak diakui oleh Undang-undang
Kehutanan.
Memberikan
Pengakuan
Berakhirnya dominasi negara melalui Undang-undang
Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan terhadap hutan adat bermula dari Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUUX/2012 yang menegaskan bahwa hutan hak adalah
hutan yang berada di atas tanah yang dibebani hak atas tanah dan hutan adat bukan lagi hutan negara. Klausul
‘Hutan adat adalah
hutan negara yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat’ dalam UU
Kehutanan dibatalkan. Konsekuensinya adalah hutan adat merupakan bagian dari hutan hak yang harus dilepaskan dari
kawasan hutan.
Pasca putusan MK
tersebut, sebagai tindaklanjutnya pada tahun 2014 telah disepakati Peraturan
Bersama (Perber) 4 Menteri, yakni Menteri Dalam Negeri, Menteri Kehutanan,
Menteri Pekerjaan Umum Dan Kepala BPN Tentang Tata Cara Penyelesaian Penguasaan
Tanah Yang Berada Dalam Kawasan Hutan. Namun demikian, Perber tersebut tidak
operasional. Argumen yang dikedepankan untuk tidak menjalankan agenda tersebut
adalah tidak dikenalnya Perber dalam hierarkhi peraturan perundang-undangan,
lemahnya koordinasi dan keterbatasan anggaran untuk agenda lintas sektor.
Empat tahun setelah
Putusan Mahkamah Konstitusi dan dua tahun setelah terbitnya Perber, tepatnya
tanggal 30 Desember 2016 Presiden Republik Indonesia memberikan pengakuan dan
menyerahkan pengelolaan hutan adat kepada masyarakat hukum adat. Momentum
tersebut menunjukkan bahwa Negara secara serius benar-benar mengakui eksistensi
masyarakat hukum adat sekaligus memberikan kembali ruang hidup-nya (hutan
adat), yang selama ini telah diambil oleh Negara. Lebih dari itu, Negara harus
mengikuti kebijakan ini dengan memberikan perlindungan berkenaan dengan
kepastian hak atas tanahnya, keberlanjutan pengelolaannya dan kelestarian
lingkungannya.
Kepastian haknya
perlu dilakukan melalui pendaftaran tanah agar kepastian hukum penguasaan
tanahnya tidak mudah diokupasi ataupun diklaim oleh badan hukum lain, utamanya
perusahaan-perusahaan besar yang selama ini diberikan hak secara luas oleh
Negara. Pendampingan dan fasilitasi dalam pengelolaan hutan perlu diberikan
agar keberlanjutan pengelolaan dan kelestarian lingkungannya dapat
terjaga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar