Pembaruan Agraria untuk Kedaulatan Pangan[1]
Oleh: Sutaryono*
Pemerintah
melalui Kementerian Pertanian mengklaim bahwa sepanjang tahun 2016 mampu
meningkatkan produksi pangan strategis sehingga volume impor menurun, bahkan
tidak ada impor untuk beras, cabai dan bawang merah. Di luar itu, pembangunan
pertanian diklaim telah berhasil meningkatkan kesejahteraan petani dan
dicita-citakan pada tahun 2045 menjadi lumbung pangan dunia. Sebagai sebuah nation state dengan mayoritas penduduknya bergantung di sektor agraria
dan potensi lahan pertanian berlimpah, kondisi di atas adalah sebuah
keniscayaan.
Masih dalam ingatan bahwa 5 tahun silam krisis
pangan sempat menghantui bangsa ini, dimana setiap tahun mengimpor lebih
200.000 ekor sapi, 40% kebutuhan gula, 50% kebutuhan garam, 71% kebutuhan
kedelai, 90% kebutuhan susu dan ratusan ribu - jutaan ton beras (KR, 28-8-2012).
Bahkan dalam pekan ini kita dikejutkan dengan melambungnya harga cabai,
meskipun telah diklaim bebas impor.
Berbeda dengan hal di atas, data Kementerian
Pertanian menunjukkan bahwa produksi padi tahun 2015 hingga 2016 naik 11%,
jagung naik 21,8%, cabai naik 2,3%, bawang merah naik 2,3%, daging sapi naik
5,31%, daging ayam naik 9,4%, telur ayam naik 13,6% dan beberapa komoditas
perkebunan juga mengalami kenaikan.
Implementasi
Program Nawacita
Keberhasilan diatas menunjukkan bahwa terdapat trend positif dalam implementasi Program
Nawacita di bidang pangan. Implementasi program yang memberikan pengaruh
positif dalam peningkatan produksi antara lain terealisasinya perbaikan saluran
irigasi seluas 3,05 juta hektar, asuransi pertanian untuk 674.650 ha (naik 100%),
pengembangan benih unggul seluas 2 juta ha serta pembangunan embung dan
dam-parit mencapai 3.771 unit. Data lain juga menunjukkan pergerakan yang
positif, seperti terbangunnya lumbung pangan perbatasan, pengembangan integrasi
jagung-sawit, kebijakan sapi indukan wajib bunting, pengendalian impor dan
pembangunan Toko Tani Indonesia.
Namun demikian, implementasi program tersebut belum
linear dengan program pembaruan agraria yang sering disebut dengan reforma agraria,
yakni peningkatkan
kesejahteraan melalui penyediaan tanah objek Reforma Agraria sekurang-kurangnya
9 juta ha yang akan diredistribusikan pada rakyat dan petani, perwujudan kedaulatan pangan
melalui pembukaan 1 juta hektar sawah baru serta jaminan kepastian hukum hak kepemilikan atas tanah dan penyelesaian sengketa dan konflik agraria.
Realisasi redistribusi tanah
untuk petani, baru mencapai 36.000 hektar dan konflik agraria justru meningkat
di tahun 2016. Berdasarkan catatan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), sedikitnya
terjadi 450 kasus sepanjang tahun 2016, padahal pada tahun 2015 tercatat hanya 252
kasus. Konflik tersebut terjadi pada wilayah dengan luas 1.265.027
hektar dan melibatkan 86.745 rumah tangga yang tersebar di semua provinsi. Kondisi tersebut menunjukkan
bahwa keberhasilan dalam peningkatan produksi pangan belum ditopang oleh agenda
pembaruan agraria yang merupakan prasyarat terwujudnya kedaulatan pangan.
Mewujudkan Kedaulatan Pangan
Keinginan
Pemerintah untuk daulat pangan sekaligus menjadikan Indonesia Lumbung Pangan
Dunia pada tahun 2045, akan sulit
terealisasi apabila agenda pembaruan agraria tidak diupayakan secara serius,
mengingat basis utama produksi pangan kita adalah tanah dan sumber-sumber
agraria lainnya. Kedaulatan pangan yang dimaknai sebagai suatu hak setiap
bangsa dan setiap rakyat untuk memproduksi pangan secara mandiri dan hak untuk
menetapkan sistem pertanian, peternakan, dan perikanan tanpa adanya subordinasi
dari kekuatan pasar, mensyaratkan ketersediaan tanah bagi petani untuk dapat
berproduksi secara memadai.
Ketersediaan
tanah bagi petani untuk berproduksi secara memadai hanya dapat diwujudkan
melalui redistribusi tanah melalui agenda pembaruan agraria. Dengan demikian untuk
dapat mewujudkan kedaulatan pangan, disamping melakukan langkah-langkah
peningkatan produksi dan perbaikan infrastruktur sebagaimana sudah dilakukan, diperlukan
kebijakan dan langkah-langkah yang mendorong terealisasikannya pembaruan
agraria, seperti: (1) menerbitkan regulasi yang mengatur pembaruan agraria/reforma agraria; (2) mempercepat
inventarisasi tanah-tanah objek reforma agraria; (3) mempercepat proses pemberian
asset tanah kepada masyarakat melalui redistribusi tanah yang diikuti dengan
fasilitasi akses terhadap permodalan dan pasar; (4) mengkonsolidasikan seluruh
pemangku kepentingan untuk mendukung agenda pembaruan agraria; dan (5) menjalankan
agenda pembaruan agrarian. Apabila agenda tersebut dapat direalisasikan, maka perwujudan kedaulatan pangan dan lumbung pangan
dunia menjadi sebuah keniscayaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar