Senin, 23 Januari 2017
Senin, 16 Januari 2017
Pembaruan Agraria untuk Kedaulatan Pangan
Pembaruan Agraria untuk Kedaulatan Pangan[1]
Oleh: Sutaryono*
Pemerintah
melalui Kementerian Pertanian mengklaim bahwa sepanjang tahun 2016 mampu
meningkatkan produksi pangan strategis sehingga volume impor menurun, bahkan
tidak ada impor untuk beras, cabai dan bawang merah. Di luar itu, pembangunan
pertanian diklaim telah berhasil meningkatkan kesejahteraan petani dan
dicita-citakan pada tahun 2045 menjadi lumbung pangan dunia. Sebagai sebuah nation state dengan mayoritas penduduknya bergantung di sektor agraria
dan potensi lahan pertanian berlimpah, kondisi di atas adalah sebuah
keniscayaan.
Masih dalam ingatan bahwa 5 tahun silam krisis
pangan sempat menghantui bangsa ini, dimana setiap tahun mengimpor lebih
200.000 ekor sapi, 40% kebutuhan gula, 50% kebutuhan garam, 71% kebutuhan
kedelai, 90% kebutuhan susu dan ratusan ribu - jutaan ton beras (KR, 28-8-2012).
Bahkan dalam pekan ini kita dikejutkan dengan melambungnya harga cabai,
meskipun telah diklaim bebas impor.
Berbeda dengan hal di atas, data Kementerian
Pertanian menunjukkan bahwa produksi padi tahun 2015 hingga 2016 naik 11%,
jagung naik 21,8%, cabai naik 2,3%, bawang merah naik 2,3%, daging sapi naik
5,31%, daging ayam naik 9,4%, telur ayam naik 13,6% dan beberapa komoditas
perkebunan juga mengalami kenaikan.
Implementasi
Program Nawacita
Keberhasilan diatas menunjukkan bahwa terdapat trend positif dalam implementasi Program
Nawacita di bidang pangan. Implementasi program yang memberikan pengaruh
positif dalam peningkatan produksi antara lain terealisasinya perbaikan saluran
irigasi seluas 3,05 juta hektar, asuransi pertanian untuk 674.650 ha (naik 100%),
pengembangan benih unggul seluas 2 juta ha serta pembangunan embung dan
dam-parit mencapai 3.771 unit. Data lain juga menunjukkan pergerakan yang
positif, seperti terbangunnya lumbung pangan perbatasan, pengembangan integrasi
jagung-sawit, kebijakan sapi indukan wajib bunting, pengendalian impor dan
pembangunan Toko Tani Indonesia.
Namun demikian, implementasi program tersebut belum
linear dengan program pembaruan agraria yang sering disebut dengan reforma agraria,
yakni peningkatkan
kesejahteraan melalui penyediaan tanah objek Reforma Agraria sekurang-kurangnya
9 juta ha yang akan diredistribusikan pada rakyat dan petani, perwujudan kedaulatan pangan
melalui pembukaan 1 juta hektar sawah baru serta jaminan kepastian hukum hak kepemilikan atas tanah dan penyelesaian sengketa dan konflik agraria.
Realisasi redistribusi tanah
untuk petani, baru mencapai 36.000 hektar dan konflik agraria justru meningkat
di tahun 2016. Berdasarkan catatan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), sedikitnya
terjadi 450 kasus sepanjang tahun 2016, padahal pada tahun 2015 tercatat hanya 252
kasus. Konflik tersebut terjadi pada wilayah dengan luas 1.265.027
hektar dan melibatkan 86.745 rumah tangga yang tersebar di semua provinsi. Kondisi tersebut menunjukkan
bahwa keberhasilan dalam peningkatan produksi pangan belum ditopang oleh agenda
pembaruan agraria yang merupakan prasyarat terwujudnya kedaulatan pangan.
Mewujudkan Kedaulatan Pangan
Keinginan
Pemerintah untuk daulat pangan sekaligus menjadikan Indonesia Lumbung Pangan
Dunia pada tahun 2045, akan sulit
terealisasi apabila agenda pembaruan agraria tidak diupayakan secara serius,
mengingat basis utama produksi pangan kita adalah tanah dan sumber-sumber
agraria lainnya. Kedaulatan pangan yang dimaknai sebagai suatu hak setiap
bangsa dan setiap rakyat untuk memproduksi pangan secara mandiri dan hak untuk
menetapkan sistem pertanian, peternakan, dan perikanan tanpa adanya subordinasi
dari kekuatan pasar, mensyaratkan ketersediaan tanah bagi petani untuk dapat
berproduksi secara memadai.
Ketersediaan
tanah bagi petani untuk berproduksi secara memadai hanya dapat diwujudkan
melalui redistribusi tanah melalui agenda pembaruan agraria. Dengan demikian untuk
dapat mewujudkan kedaulatan pangan, disamping melakukan langkah-langkah
peningkatan produksi dan perbaikan infrastruktur sebagaimana sudah dilakukan, diperlukan
kebijakan dan langkah-langkah yang mendorong terealisasikannya pembaruan
agraria, seperti: (1) menerbitkan regulasi yang mengatur pembaruan agraria/reforma agraria; (2) mempercepat
inventarisasi tanah-tanah objek reforma agraria; (3) mempercepat proses pemberian
asset tanah kepada masyarakat melalui redistribusi tanah yang diikuti dengan
fasilitasi akses terhadap permodalan dan pasar; (4) mengkonsolidasikan seluruh
pemangku kepentingan untuk mendukung agenda pembaruan agraria; dan (5) menjalankan
agenda pembaruan agrarian. Apabila agenda tersebut dapat direalisasikan, maka perwujudan kedaulatan pangan dan lumbung pangan
dunia menjadi sebuah keniscayaan.
Rabu, 04 Januari 2017
Kembalinya Hutan Adat
Kembalinya Hutan Adat[1]
Oleh: Sutaryono[2]
Di penghujung tahun 2016 ini, kehadiran negara
betul-betul dirasakan oleh sebagain masyarakat hukum adat di Indonesia. Tidak
sekedar pengakuan terhadap eksistensi masyarakat hukum adat, tetapi lebih dari
itu. Negara melalui pemerintah yang berkuasa mengukuhkan dan menyerahkan
pengelolaan seluas 13.122 hektar kawasan hutan adat kepada 9 (Sembilan)
masyarakat hukum adat. Kesembilan wilayah hutan adat yang dikukuhkan tersebut
adalah Hutan Adat: (1) Desa Rantau Kermas Kabupaten Merangin, Jambi: (2)
Ammatoa Kajang Kabupaten Bulukumba, Sulsel; (3) Wana Posangke Kabupaten
Morowali Utara, Sulteng; (4) Kasepuhan Karang Kabupaten Lebak, Banten; (5)
Bukit Sembahyang, Kabupaten Kerinci, Jambi; (6) Bukit Tinggi Kabupaten Kerinci,
Jambi; (7) Tigo Luhah Permenti Yang Berenam Kabupaten Kerinci, Jambi; (8) Tigo
Luhah Kemantan Kabupaten Kerinci, Jambi; dan (9) Hutan Adat Pandumaan
Sipituhuta Kabupaten Humbang Hasundutan, Sumatera Utara.
Bentuk
Komitmen
Agenda pengukuhan dan penyerahan hak pengelolaah
hutan adat kepada masyarakat hukum adat tersebut merupakan bentuk komitmen Pemerintah Jokowi – JK untuk
merealisasikan janji Nawacita-nya. Paling tidak
memuat tiga komitmen di bidang keagrariaan yang hendak dilakukan, yakni: (1)
memberikan jaminan kepastian hukum hak
kepemilikan atas tanah, penyelesaian
sengketa tanah dan menentang
kriminalisasi penuntutan kembali hak tanah masyarakat; (2) peningkatan
kesejahteraan masyarakat dengan mendorong landreform
dan program kepemilikan tanah seluas 9 juta hektar; serta (3) mewujudkan kedaulatan pangan melalui
perbaikan jaringan irigasi dan pembukaan 1 juta hektar sawah baru. Agenda
tersebut secara jelas tertuang dalam RPJM Nasional 2015-2019, yakni
meningkatkan kesejahteraan rakyat melalui penyediaan tanah objek Reforma
Agraria sekurang-kurangnya 9 juta ha yang akan diredistribusikan pada rakyat
dan petani yang tidak memiliki tanah. Sejumlah 4,5 juta ha berasal dari
legalisasi asset dan 4,5 juta ha yang lain merupakan objek redistribusi tanah
(4,1 juta ha berasal dari pelepasan kawasan hutan).
Pengukuhan hutan adat tersebut merupakan langkah
awal pengembalian eksistensi dan pengelolaan hutan adat kepada masyarakat hukum
adat setelah selama ini eksistensi hutan adat tidak diakui oleh Undang-undang
Kehutanan.
Memberikan
Pengakuan
Berakhirnya dominasi negara melalui Undang-undang
Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan terhadap hutan adat bermula dari Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUUX/2012 yang menegaskan bahwa hutan hak adalah
hutan yang berada di atas tanah yang dibebani hak atas tanah dan hutan adat bukan lagi hutan negara. Klausul
‘Hutan adat adalah
hutan negara yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat’ dalam UU
Kehutanan dibatalkan. Konsekuensinya adalah hutan adat merupakan bagian dari hutan hak yang harus dilepaskan dari
kawasan hutan.
Pasca putusan MK
tersebut, sebagai tindaklanjutnya pada tahun 2014 telah disepakati Peraturan
Bersama (Perber) 4 Menteri, yakni Menteri Dalam Negeri, Menteri Kehutanan,
Menteri Pekerjaan Umum Dan Kepala BPN Tentang Tata Cara Penyelesaian Penguasaan
Tanah Yang Berada Dalam Kawasan Hutan. Namun demikian, Perber tersebut tidak
operasional. Argumen yang dikedepankan untuk tidak menjalankan agenda tersebut
adalah tidak dikenalnya Perber dalam hierarkhi peraturan perundang-undangan,
lemahnya koordinasi dan keterbatasan anggaran untuk agenda lintas sektor.
Empat tahun setelah
Putusan Mahkamah Konstitusi dan dua tahun setelah terbitnya Perber, tepatnya
tanggal 30 Desember 2016 Presiden Republik Indonesia memberikan pengakuan dan
menyerahkan pengelolaan hutan adat kepada masyarakat hukum adat. Momentum
tersebut menunjukkan bahwa Negara secara serius benar-benar mengakui eksistensi
masyarakat hukum adat sekaligus memberikan kembali ruang hidup-nya (hutan
adat), yang selama ini telah diambil oleh Negara. Lebih dari itu, Negara harus
mengikuti kebijakan ini dengan memberikan perlindungan berkenaan dengan
kepastian hak atas tanahnya, keberlanjutan pengelolaannya dan kelestarian
lingkungannya.
Kepastian haknya
perlu dilakukan melalui pendaftaran tanah agar kepastian hukum penguasaan
tanahnya tidak mudah diokupasi ataupun diklaim oleh badan hukum lain, utamanya
perusahaan-perusahaan besar yang selama ini diberikan hak secara luas oleh
Negara. Pendampingan dan fasilitasi dalam pengelolaan hutan perlu diberikan
agar keberlanjutan pengelolaan dan kelestarian lingkungannya dapat
terjaga.
Langganan:
Postingan (Atom)