Rabu, 24 Mei 2017
Sleman Smart Regency
Oleh: Sutaryono[2]
Tepat pada tanggal 15 Mei 2017 Kabupaten Sleman genap
berusia 101 tahun (1916-2017), yang diperingati dengan tema 'Dengan Hari Jadi
Ke-101 Kabupaten Sleman Kita Wujudkan Kehidupan Masyarakat yang Berdaya Saing dan
Berbudaya Menuju Sleman Smart Regency 2021. Tema ini sangat relevan dengan spirit keistimewaan
DIY, maupun Visi Kabupaten Sleman.
Smart Regency
Smart
regency
merupakan konsep kabupaten cerdas dalam pengembangan dan pengelolaan berbagai
sumberdaya secara efektif dan efisien dengan memanfaatkan kemajuan teknologi
informasi dan komunikasi. Konsep ini dikembangkan dari Smart City atau Kota Cerdas, yang dimaknai sebagai
kota yang menggunakan teknologi digital untuk meningkatkan performance-nya, mengurangi biaya dan konsumsi, serta terlibat lebih aktif
dan efektif dengan warganya. Paling tidak terdapat tiga parameter Kota Cerdas, yaitu
cerdas ekonomi, cerdas sosial, dan cerdas lingkungan.
Cerdas secara ekonomi, apabila sebuah kota
ditopang oleh perekonomian yang baik dengan memaksimalkan sumberdaya atau
potensi kota termasuk layanan Teknologi Informasi Komunikasi, tata kelola dan
peran Sumberdaya Manusia yang baik. Cerdas
secara sosial, apabila masyarakat dalam sebuah kota memiliki keamanan, kemudahan
dan kenyamanan dalam melakukan interaksi sosial dengan sesama masyarakat
ataupun dengan pemerintah. Secara lingkungan dinyatakan cerdas apabila warga
kotanya memiliki tempat tinggal yang layak huni, sehat, hemat dalam penggunaan
energi serta pengelolaan energi dengan dukungan layanan teknologi informasi dan peran SDM yang baik.
Dalam konteks Sleman, smart regency secara
garis besar akan diorientasikan dan diimplementasikan dalam tiga
parameter, yakni: (1)
pendidikan; (2)
kesehatan;
dan (3)
administrasi publik. Di
bidang pendidikan, smart
regency telah diaplikasikan melalui layanan pendaftaran peserta didik baru
dan transfer siswa yang telah berjalan secara online.
Selain itu, ujian nasional tingkat SMP yang
baru saja berlangsung, sudah dilakukan dengan Ujian Nasional Berbasis Komputer (UNBK).
Di bidang kesehatan,
Pemkab Sleman tengah membentuk sistem integrasi layanan fasilitas kesehatan. Saat
ini ada sekitar
10
fasilitas kesehatan yang siap masuk ke dalam sistem tersebut, baik
rumah sakit maupun puskesmas. Untuk bidang administrasi, beberapa layanan publik
Pemkab Sleman sudah berjalan secara online.
PR yang Belum Selesai
Smart regency yang hendak diwujudkan Kabupaten Sleman adalah
langkah maju yang perlu diapresiasi dan didukung. Namun demikian, pilihan
implementasi smart regency pada
bidang pendidikan, kesehatan dan administrasi publik tidaklah cukup, mengingat
salah satu hal terpenting dalam mewujudkan kota/kabupaten cerdas adalah cerdas kondisi
lingkungannya.
Dalam konteks ini,
ternyata Kabupaten Sleman sebagai daerah penyangga Kota Yogyakarta, memiliki seabrek permasalahan lingkungan dan
pembangunan wilayah, yakni: (1) tingginya alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian; (2) tidak terkendalinya pembangunan perumahan permukiman,
apartemen, hotel dan pusat perbelanjaan, yang banyak mendapatkan penolakan dari
warga; (3) regulasi pengendalian pertanahan dan pemanfaatan ruang yang belum memadai; (4) belum adanya
upaya penindakan dan penertiban terhadap pelanggaran pemanfaatan ruang; (5)
intensitas banjir akibat limpasan air hujan yang semakin meningkat; dan (6) semakin
berkurangnya zona resapan air yang berdampak pada semakin turunnya muka air
tanah di wilayah Sleman dan Kota Yogyakarta.
Berkenaan dengan berbagai
permasalahan tersebut, untuk menuju Sleman smart
regency perlu diprioritaskan agenda untuk menyelesaikan berbagai pekerjaan
rumah di bidang lingkungan, yakni: (1) mengedepankan semangat
Keistimewaan DIY dengan spirit hamemayu hayuning bawana, yakni pembangunan wilayah Sleman perlu diorientasikan untuk melindungi,
memelihara, serta menjaga keberlanjutan
lingkungan alam; (2) melakukan
pengendalian alih fungsi lahan pertanian
secara ketat, mempertahankan zona-zona resapan air dan menata kawasan sempadan
sungai sebagai kawasan konservasi
berbasis sistem informasi yang terbuka; dan (3) mempercepat
terbitnya regulasi tentang pengendalian pemanfaatan ruang serta mempertahankan atau menguatkan Peraturan Bupati 6/2016 tentang Penghentian
Sementara Usaha Hotel, Apartemen dan Kondotel, sampai dengan 31 Desember 2021.
Apabila hal di atas dapat diwujudkan, maka Sleman Smart Regency akan dapat direalisasikan
menyusul predikat Smart City yang
disandang Kota Yogyakarta pada tahun 2015. Semoga.
Kamis, 04 Mei 2017
Reformasi Kebijakan Pangan
Reformasi Kebijakan Pangan[1]
Oleh: Sutaryono*
Pemerintah
melalui Kementerian Pertanian mengklaim bahwa tahun 2016 telah mampu
meningkatkan produksi pangan strategis dan menurunkan volume impor pangan
(Opini KR, 16-01-2017). Namun demikian, realitas menunjukkan bahwa gejolak
harga pangan yang disertai lebarnya kesenjangan harga pangan antar daerah masih
dirasakan hingga saat ini. Oleh karena itu, pemerintah memandang perlu
dilakukannya reformasi kebijakan pangan untuk meningkatkan produksi dan
mengoptimalkan pengelolaan pangan yang terintegrasi, konsisten, dan
berkelanjutan.
Reformasi kebijakan pangan tersebut diarahkan
untuk mengatasi lima tantangan utama, yakni: (1) peningkatan produksi dan
pasokan khususnya terkait dengan luas lahan, produktivitas, ketersediaan data,
insentif bagi petani, dan kebijakan impor; (2) pemenuhan infrastruktur
penunjang pertanian terutama terkait pengairan; (3) pembiayaan; (4) distribusi,
logistik dan tata niaga pangan; dan (5) efisiensi struktur pasar karena masih
panjangnya rantai perdagangan komoditi pangan.
Kebijakan Prioritas
Berdasarkan kelima tantangan di bidang
pangan, pemerintah mengupayakan kebijakan yang terdiri dari 5 prioritas. Pertama, mendorong peningkatan
produksi dan pasokan pangan, yakni melalui: (a) penerapan reforma agraria; (b) pengaturan waktu
produksi beras serta peningkatan kapasitas dan jumlah sarana dan prasarana
produksi; (c) penunjukkan
wilayah atau daerah untuk melakukan produksi komoditas tertentu disertai
peningkatan peran daerah untuk berinovasi dalam peningkatan produksi pangan;
serta (d) penguatan
kelembagaan petani melalui penerapan corporate atau cooperative
farming dan pembentukan Badan Usaha Milik Petani (BUMP).
Kedua, memperkuat fnfrastruktur pertanian, yang diprioritaskan pada:
(a) percepatan pembangunan proyek infrastruktur
penunjang produksi pangan; (b) percepatan pembangunan dan perbaikan irigasi; (c)
meningkatkan upaya fiskal dalam meningkatkan produktivitas pertanian. Ketiga,
mendorong peningkatan
pembiayaan di sektor pertanian, melalui:
(a)
perluasan dan peningkatan penyaluran KUR yang
didukung perluasan asuransi pertanian; (b) paket khusus pembiayaan untuk
mengurangi ketergantungan terhadap fiskal; (c) pengaturan dan optimalisasi
penggunaan Dana Alokasi Khusus (DAK) dan Dana Desa untuk pembangunan
infrastruktur pendukung produksi pertanian; (d) penyelesaian program sertifikasi
tanah.
Keempat, meningkatkan distribusi, logistik, dan
perbaikan tata niaga pangan, melalui: (a) pembenahan distribusi dan pemasaran, termasuk koordinasi
antardaerah dan pengembangan Toko Tani Indonesia (TTI); (b) optimalisasi peran
BUMN dan BUMD untuk meningkatkan distribusi komoditas pangan antar; (c)
pemanfaatan sistem informasi untuk mendukung
optimalisasi distribusi pangan; (d) pengaturan distribusi pangan melalui penguatan
pengaturan oleh pemerintah, serta penetapan kebijakan impor yang tepat waktu. Kelima,
membenahi struktur pasar,
melalui: (a) penguatan pengaturan distribusi pangan oleh Pemerintah; (b) optimalisasi
peran BULOG sebagai lembaga penyangga untuk mendukung stabilisasi harga pangan,
serta penyediaan alternatif pasokan komoditas strategis; (c) optimalisasi peran
Pemerintah Daerah dalam mendukung ketahanan pangan dan pengendalian inflasi
daerah, khususnya melalui Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID).
Hal yang menimbulkan pertanyaan berkenaan dengan
reformasi kebijakan di atas adalah penempatan reforma agraria sebagai agenda pendorong peningkatan produksi dan pasokan pangan.
Penempatan ini menunjukkan bahwa reforma agraria hanya dipandang sebagai
instrumen untuk peningkatan produksi belaka, bukan sebagai kebijakan untuk
penataan ulang penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan sumber-sumber
agraria dan tanah.
Reforma
Agraria Prasyarat Kebijakan Pangan
Agenda
Pemerintah untuk melakukan reformasi kebijakan pangan untuk mewujudkan daulat
pangan akan sulit terealisasi apabila agenda reforma agraria tidak ditempatkan
sebagai kebijakan nasional yang mengawali reformasi kebijakan pangan. Reforma
agraria tidak hanya dimaknai sebagai redistribusi tanah belaka, tetapi merupakan
agenda untuk mengurangi ketidakadilan dan ketimpangan penguasaan, pemilikan,
penggunaan dan pemanfaatan sumber-sumber agraria, utamanya tanah.
Ketersediaan
sumber-sumber agraria dan tanah bagi petani hanya dapat diwujudkan melalui upaya-upaya
asset reform (redistribusi tanah).
Sementara itu kemampuan untuk berproduksi, memasarkan produknya berikut
memperbaiki tata kelolanya akan terbantu melalui access reform. Kombinasi asset
reform dan access reform inilah yang
disebut sebagai reforma agraria yang diyakini mampu menciptakan keadilan,
menyelesaikan konflik dan sengketa, menciptakan lapangan kerja hingga
mewujudkan kedaulatan pangan.
Sebagai
bagian penting dari Nawacita Presiden dan Wakil Presiden, reforma agraria perlu
segera dijalankan agar reformasi kebijakan pangan dapat direalisasikan dan
berkontribusi dalam perwujudan kedaulatan pangan dan kesejahteraan masyarakat.
Langganan:
Postingan (Atom)