Reformasi Kebijakan Pangan[1]
Oleh: Sutaryono*
Pemerintah
melalui Kementerian Pertanian mengklaim bahwa tahun 2016 telah mampu
meningkatkan produksi pangan strategis dan menurunkan volume impor pangan
(Opini KR, 16-01-2017). Namun demikian, realitas menunjukkan bahwa gejolak
harga pangan yang disertai lebarnya kesenjangan harga pangan antar daerah masih
dirasakan hingga saat ini. Oleh karena itu, pemerintah memandang perlu
dilakukannya reformasi kebijakan pangan untuk meningkatkan produksi dan
mengoptimalkan pengelolaan pangan yang terintegrasi, konsisten, dan
berkelanjutan.
Reformasi kebijakan pangan tersebut diarahkan
untuk mengatasi lima tantangan utama, yakni: (1) peningkatan produksi dan
pasokan khususnya terkait dengan luas lahan, produktivitas, ketersediaan data,
insentif bagi petani, dan kebijakan impor; (2) pemenuhan infrastruktur
penunjang pertanian terutama terkait pengairan; (3) pembiayaan; (4) distribusi,
logistik dan tata niaga pangan; dan (5) efisiensi struktur pasar karena masih
panjangnya rantai perdagangan komoditi pangan.
Kebijakan Prioritas
Berdasarkan kelima tantangan di bidang
pangan, pemerintah mengupayakan kebijakan yang terdiri dari 5 prioritas. Pertama, mendorong peningkatan
produksi dan pasokan pangan, yakni melalui: (a) penerapan reforma agraria; (b) pengaturan waktu
produksi beras serta peningkatan kapasitas dan jumlah sarana dan prasarana
produksi; (c) penunjukkan
wilayah atau daerah untuk melakukan produksi komoditas tertentu disertai
peningkatan peran daerah untuk berinovasi dalam peningkatan produksi pangan;
serta (d) penguatan
kelembagaan petani melalui penerapan corporate atau cooperative
farming dan pembentukan Badan Usaha Milik Petani (BUMP).
Kedua, memperkuat fnfrastruktur pertanian, yang diprioritaskan pada:
(a) percepatan pembangunan proyek infrastruktur
penunjang produksi pangan; (b) percepatan pembangunan dan perbaikan irigasi; (c)
meningkatkan upaya fiskal dalam meningkatkan produktivitas pertanian. Ketiga,
mendorong peningkatan
pembiayaan di sektor pertanian, melalui:
(a)
perluasan dan peningkatan penyaluran KUR yang
didukung perluasan asuransi pertanian; (b) paket khusus pembiayaan untuk
mengurangi ketergantungan terhadap fiskal; (c) pengaturan dan optimalisasi
penggunaan Dana Alokasi Khusus (DAK) dan Dana Desa untuk pembangunan
infrastruktur pendukung produksi pertanian; (d) penyelesaian program sertifikasi
tanah.
Keempat, meningkatkan distribusi, logistik, dan
perbaikan tata niaga pangan, melalui: (a) pembenahan distribusi dan pemasaran, termasuk koordinasi
antardaerah dan pengembangan Toko Tani Indonesia (TTI); (b) optimalisasi peran
BUMN dan BUMD untuk meningkatkan distribusi komoditas pangan antar; (c)
pemanfaatan sistem informasi untuk mendukung
optimalisasi distribusi pangan; (d) pengaturan distribusi pangan melalui penguatan
pengaturan oleh pemerintah, serta penetapan kebijakan impor yang tepat waktu. Kelima,
membenahi struktur pasar,
melalui: (a) penguatan pengaturan distribusi pangan oleh Pemerintah; (b) optimalisasi
peran BULOG sebagai lembaga penyangga untuk mendukung stabilisasi harga pangan,
serta penyediaan alternatif pasokan komoditas strategis; (c) optimalisasi peran
Pemerintah Daerah dalam mendukung ketahanan pangan dan pengendalian inflasi
daerah, khususnya melalui Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID).
Hal yang menimbulkan pertanyaan berkenaan dengan
reformasi kebijakan di atas adalah penempatan reforma agraria sebagai agenda pendorong peningkatan produksi dan pasokan pangan.
Penempatan ini menunjukkan bahwa reforma agraria hanya dipandang sebagai
instrumen untuk peningkatan produksi belaka, bukan sebagai kebijakan untuk
penataan ulang penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan sumber-sumber
agraria dan tanah.
Reforma
Agraria Prasyarat Kebijakan Pangan
Agenda
Pemerintah untuk melakukan reformasi kebijakan pangan untuk mewujudkan daulat
pangan akan sulit terealisasi apabila agenda reforma agraria tidak ditempatkan
sebagai kebijakan nasional yang mengawali reformasi kebijakan pangan. Reforma
agraria tidak hanya dimaknai sebagai redistribusi tanah belaka, tetapi merupakan
agenda untuk mengurangi ketidakadilan dan ketimpangan penguasaan, pemilikan,
penggunaan dan pemanfaatan sumber-sumber agraria, utamanya tanah.
Ketersediaan
sumber-sumber agraria dan tanah bagi petani hanya dapat diwujudkan melalui upaya-upaya
asset reform (redistribusi tanah).
Sementara itu kemampuan untuk berproduksi, memasarkan produknya berikut
memperbaiki tata kelolanya akan terbantu melalui access reform. Kombinasi asset
reform dan access reform inilah yang
disebut sebagai reforma agraria yang diyakini mampu menciptakan keadilan,
menyelesaikan konflik dan sengketa, menciptakan lapangan kerja hingga
mewujudkan kedaulatan pangan.
Sebagai
bagian penting dari Nawacita Presiden dan Wakil Presiden, reforma agraria perlu
segera dijalankan agar reformasi kebijakan pangan dapat direalisasikan dan
berkontribusi dalam perwujudan kedaulatan pangan dan kesejahteraan masyarakat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar