Daulat
Agraria[1]
Oleh:
Sutaryono[2]
Indonesia sebagai sebuah nation state, oleh para founding fathers-nya telah digariskan
bahwa kedaulatan negara harus diorientasikan untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan
seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Salah satu modal
utama untuk mencapai cita-cita luhur itu, secara tegas telah ditetapkan bahwa “bumi, air dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan
untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.
Inilah yang saya maksudkan sebagai daulat agraria.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI),
daulat diartikan sebaga kekuasaan;
pemerintahan, sedangkan berdaula adalah mempunyai kekuasaan tertinggi atas
suatu pemerintahan negara atau daerah. Dalam konteks ini, daulat agraria adalah
kekuasaan pemerintahan tertinggi terhadap bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan
alam yang terkandung di dalamnya. Pertanyaan yang perlu kita ajukan kembali
pada momentum 72 tahun Kemerdekaan RI ini adalah apakah kedaulatan negara sudah
menjadikan kita memiliki daulat agraria?
Media Refleksi
Pertanyaan di
atas patut menjadi bahan refleksi bersama bahwa realitas menunjukkan: (1) ketersediaan
pangan kita belum sepenuhnya mampu disediakan secara mandiri; (2) dengan
memiliki panjang pantai nomor dua di dunia dan dengan luas laut sekitar 3,2
juta km2, kita bermasalah dengan ketersediaan garam; (3) dengan luas daratan
sekitar 1,9 juta km2 kita bermasalah dengan petani landless dan impor pangan yang luar biasa; (4) dikenal dengan gemah ripah lohjinawi kita masih berkutat
dengan tingginya konflik agrarian; serta (5) realitas ujungnya adalah belum terwujudnya daulat agraria untuk
sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Kondisi di atas
sudah sangat dipahami oleh para pemimpin bangsa ini, utamanya oleh Presiden dan
wakilnya. Melalui Nawacita, tiga di antaranya sudah diorientasikan untuk
menjalankan daulat agraria demi sebesar-besar kemakmuran rakyat. Ketiga hal
tersebut adalah komitmen untuk: (1) menjamin kepastian hukum hak kepemilikan tanah,
penyelesaian sengketa tanah dan menentang kriminalisasi penuntutan kembali hak
tanah masyarakat; (2) mendorong
landreform dan program kepemilikan tanah 9 juta hektar; dan (3) pencetakan
1 juta hektar
lahan sawah baru di luar jawa dalam
rangka peningkatan produksi dan kemandirian pangan. Ketiga hal di atas sudah diimplementasikan
ke dalam agenda strategis pertanahan yang diemban oleh Kementerian Agraria dan
Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional melalui Reforma Agraria (RA), Percepatan
Pendaftaran Tanah Sistemtik Lengkap (PTSL) dan percepatan pengadaan tanah untuk
pembangunan infrastruktur yang diorientasikan untuk membuka dan memperluas
akses masyarakat terhadap aktivitas perekonomian, kesehatan, pendidikan maupun
pelayanan publik lainnya.
Namun demikian,
agenda strategis di atas mampu berkontribusi dalam perwujudan daulat agraria
untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat apabila mendapatkan dukungan dari
berbagai pihak yang berkepentingan, utamanya masyarakat pemilik tanah, kalangan
usahawan, pegiat (NGO), akademisi maupun unsur pemerintahan daerah. Tentu
dukungan tersebut dilakukan dalam bentuk yang berbeda-beda sesuai dengan
kapasitas dan kompetensi masing-masing.
Konteks Keistimewaan
Daulat agraria
dalam konteks Keistimewaan, sejatinya telah sejak lama diwujudkan di Daerah
Istimewa Yogyakarta. ‘Tanah untuk Rakyat’, yang selama ini digaungkan telah menunjukkan bahwa sejatinya tanah-tanah kasultanan
dan tanah-tanah kadipaten telah memberikan manfaat bagi pemerintah dan
masyarakat luas. Tanah-tanah tersebut telah digunakan oleh pemerintah, pemerintah desa, badan hukum dan
masyarakat untuk berbagai keperluan
seperti untuk perkantoran, fasilitas umum,
usaha komersial, gedung sekolah, balai desa, kantor polisi, kantor koramil, dan lain-lain (KR, 10-10-2012).
Sejalan dengan
itu Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan DIY dengan tegas mengamanahkan
bahwa pengelolaan dan pemanfaatan tanah Kasultanan dan tanah Kadipaten ditujukan untuk
sebesar-besarnya pengembangan kebudayaan, kepentingan sosial, dan kesejahteraan
masyarakat. Pembatasan pengelolaan dan pemanfaatan tanah kasultanan dan tanah
kadipaten tersebut menunjukkan adanya keberpihakan pada rakyat. Nah, daulat
agraria dalam konteks Keistimewaan DIY inilah yang perlu terus menerus dijaga,
dikawal dan dipastikan bahwa pengelolaan dan pemanfaatan tanah di DIY
benar-benar untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar